Oleh : Prof.Dr. Abdul Gani Abdullah, SH
1. Pendahuluan
Pada tanggal 24 Mei2004, Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Pemerintah telah menyetujuibersama Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan menjadi Undang-Undang. Undang-undang tersebut merupakanundang-undang organik, karena melaksanakan secara tegas perintah Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22A yang menyatakan bahwaketentuan mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur denganundang-undang.
UUD 1945, Pasal20 ayat (5): “ Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersamatersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjakrancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebutsah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Dalam halPresiden tidak menandatanganinya sampai dengan batas waktu yang ditetapkanUndang-Undang Dasar 1945, dan Menteri Sekretaris Negara tidak pula menjalankankewajiban konstitusional untuk mengundangkannya dalam Lembaran Negara RepublikIndonesia, telah mendorong timbulnya perbincangan publik yang melahirkanberbagai tanggapan.
Sebagianberpendapat bahwa berdasarkan konstitusi suatu rancangan undang-undang yangtelah memperoleh persetujuan bersama DPR dan Presiden namun Presiden tidakmenandatanganinya setelah melampaui batas waktu 30 hari, maka rancangantersebut sah menjadi undang-undang, hanya tidak memiliki kekuatan hukummengikat orang banyak (legally binding force) jika belum dimuat dalamLembaran Negara Republik Indonesia dan tidak ada nomornya.
2. PembentukanUndang-Undang dalam Konstitusi
Sebagai telaahsejarah perundang-undangan (wetshistorie), dapat dikemukakan bahwa sejakproklamasi 17 Agustus 1945, Republik Indonesia telah melewati 4 kali berlakunyaUndang-Undang Dasar, yaitu: (1) Undang-Undang Dasar 1945;
UUD 1945(sebelum perubahan) tidak menjelaskan tentang pembentukan undang-undang denganlengkap, melainkan hanya menegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaanmembentuk undang-undang dengan persetujuan DPR
Konstitusi RIS(1950) yang terdiri dari 197 pasal dan UUDS (1950) yang terdiri dari 146 pasalmengatur tentang pembentukan undang-undang. Pasal 127 – Pasal 143 KonstitusiRIS memuat Bagian II tentang “Perundang-undangan” yang mengatur tentangkekuasaan perundang-undangan federal.
UUD 1945mengalami empat kali perubahan fundamental dalam waktu relatif sangat pendek.Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diberi wewenang untuk mengubah danmenetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat (1), sebagai perwujudan keinginanrakyat untuk melakukan reformasi di bidang hukum.
Perubahan UUD1945 sangat mempengaruhi mekanisme penyelenggaraan negara dan urusanpemerintahan, sehingga berbagai lembaga negara diwajibkan untuk melakukanpembenahan yang menyangkut fungsinya untuk disesuaikan dengan perubahantersebut.
Berkaitan denganpembentukan undang-undang yang melibatkan fungsi DPR dan Presiden, terdapatberbagai landasan pengaturan baru dalam UUD 1945 (setelah perubahan) antaralain sebagai berikut:
a. beralihnya kekuasaan membentuk undang-undang dariPresiden kepada DPR (Pasal 20 ayat (1) walaupun setiap rancangan undang-undangdibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat(2);
b. kewajiban Presiden mengesahkan rancangan undang-undangmenjadi undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.(Pasal 20 ayat (4);
c. sahnya undang-undang setelah lewat waktu 30 hari sejakpersetujuan bersama atas rancangan undang-undang dalam hal RUU tersebut tidakdisahkan oleh Presiden (Pasal20 ayat 5);
d. kewajiban mengundangkan undang-undang (Pasal 20 ayat (5).
e. adanya undang-undang organik yang mengatur tentang tatacara pembentukan undang-undang (Pasal 22A); dan
f. tugas pengundangan peraturan perundang-undangandiserahkan kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturanperundang-undangan. (Pasal 48).
3. Undang-undang tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan
Memenuhi amanatPasal 22A UUD 1945 dan Pasal 6 TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber HukumdanTata Urutan Peraturan Perundang-undangan, DPR bersama dengan Presiden telahmembentuk Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan yang telah mendapat persetujuan bersama pada tanggal 24 Mei2004. Pada dasarnya UU P3 dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang bakumengenai tata cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Substansi UU P3terdiri 13 bab dan 58 pasal disertai penjelasan umum dan pasal perpasal danlampiran yang berisi teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yangdahulunya dimuat dalam Keppres No. 44/1999 setelah diadakan modifikasi danpenyempurnaan.
Secara umumdapat dikatakan bahwa UU P3 memuat ketentuan mengenai asas peraturanperundang-undangan (asas pembentukan, materi muatan, jenis dan hierarki ),materi muatan, pembentukan peraturan perundang-undangan, pembahasan danpengesahan, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, pengundangan danpenyebarluasan, dan partisipasi masyarakat dalam penyiapan atau pembahasanrancangan undang-undangan rancangan peraturan daerah.
UU P3meningkatkan status berbagai pengaturan yang terdapat dalam Keputusan PresidenNomor 188 tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang,dan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan PeraturanPerundang-undangan (dimuat dalam lampiran UU P3), dan Keputusan Menteri DalamNegeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 mengenai mekanisme penyusunanrancangan peraturan perundang-undangan di daerah dan berbagai produk lain yangpernah ada yang sifatnya mengatur tentang teknik penyusunan peraturanperundang-undangan. Ini berarti bahwa sudah ada undang-undang yang mengaturtentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dan berdasarkan Pasal 54 UUP3, semua teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang pernah ada harusberpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam UU P3.
UU P3 mengikatPemerintah, Pemerintah Daerah, DPR, MPR, Mahkamah Agung, BPK, Bank Indonesia,Mahkamah Konstitusi, menteri, kepala badan, lembaga dan komisi yang setingkatdan yang lainnya dalam tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan untukmenaatinya. Ketentuan UU P3 yang mengatur tentang asas, jenis dan hierarki,materi muatan, pembentukan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan danpenyebarluasan peraturan perundang-undangan menjadi landasan bagi kebijakanunifikasi pembentukan peraturan perundang-undangan di seluruh Indonesia,sehingga proses penyusunan dan pembahasan RUU dan Raperda makin lebih sederhanakarena sudah ada pedoman mengenai proses dan teknik yang harus ditaati.
4. Asas, Jenis, danMateri
Ada 7 “asaspembentukan peraturan perundang-undangan” yang dicantumkan dalam dalam Pasal 5huruf a s/d g. Di samping itu ada 10 “asas materi muatan peraturanperundang-undangan” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a s/d j. Asas pembentukanperturan perundang-undangan lahir dari asas negara berdasar hukum,
Van der Vliesmembahas asas P3 dan menyebutnya sebagai “beginselen van behooorlijkeregelgeving” (asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yangbaik). Asas berkaitan dengan norma yang harus terwujud dalam perbuatanpemerintahan dan yang dapat dipaksakan berlakunya oleh hakim. Misalnya asastentang perlakuan yang sama terhadap semua warganegara (gelijkheidsbeginsel).
Dikaitkan denganhukum administrasi, asas P3 dibedakan pada asas yang berkaitan dengan:
a. proses persiapan dan pembentukan keputusan (hetprocess van voorbereiding en besluitvorming);
b. asas yang berkaitan dengan motivasi dan pembentukankeputusan (de motivering en inrichting van het besluitvorming); dan
c. asas isi keputusan (de inhoud van het besluit).
Ketiga asas diatas lebih dititiberatkan pada asas formal P3 yang dapat dirumuskan lagisebagai berikut:
a. asas terwujudnya suatu peraturan (de totstandkomingvan een regel);
b. asas sistematika dan pengundangan (pengumuman) suatuperaturan (de systematiek en bekendmaking van een regel);
c. asas kemendesakan dan tujuan dari peraturan (denoodzaak en de doelstelling van een regel); dan
d. asas isi (muatan) suatu peraturan (de inhoud van eenregel).
Tidak dicantumkannyaasas alasan (motivasi) pembentukan peraturan perundang-undangan secaraeksplisit dalam UUP mungkin dimaksudkan karena asas tersebut sudah inklusifdalam asas tentang kejelasan tujuan dalam Pasal 5 huruf a yang dalampenjelasannya disebutkan bahwa setiap P3 harus mempunyai tujuan yang jelas yanghendak dicapai. Asas motivasi lebih mencerminkan tentang kehendak yangsebenarnya dari P3 yang sangat mungkin ditumpangi atau disusupi olehkepentingan kelompok tertentu atau berlatar belakang KKN seperti yang banyakdisinyalir akhir-akhir ini.
Dalam UU P3,apakah asas undang-undang harus tercantum secara eksplisit dalam batang tubuh?Pembentuk undang-undang mungkin memerlukan pencantuman asas, dan jika demikianasas dapat dimasukkan dalam bab “ketentuan” umum dan bukan dalam tersendiri.Namun ketentuan umum sebaiknya hanya “mencerminkan “ asas, maksud dan tujuan.
UU P3 telahmenyelesaikan perbincangan sekitar masalah jenis peraturan perundang-undangansecara cukup memuaskan. Selama ini masih dipersoalkan tentang kedudukan“keputusan menteri” yang secara eksplisit tidak tercantum sebagai jenisperaturan perundang-undangan menurut TAP MPR No. III Tahun 2000 tentang SumberTertib Hukum. Jenis Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3ditetapkan 5 jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang tidakdicantumkan “peraturan menteri” di dalamnya. Namun dalam Pasal 7 ayat (4)dinyatakan:
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud padaayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjangdiperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”
Penjelasan ayat 4) menyebutkan secara luas tentang jenis peraturanperundang-undangan, sehingga meliputi semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkanoleh MPR, DPR, DPRD, MA, MK, BPK, BI, Menteri, kepala badan, lembaga, ataukomisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau Pemerintah atasperintah undang-undang, DPRD, Gubernur, BupatiWalikota, Kepala Desa atau yangsetingkat.
Dengan demikian, selain UUD, UU/Perpu, PP, Peraturan Presiden, dan Perda,terdapat banyak jenis peraturan perundang-undangan yang lain dengan kualifikasisebagai berikut:
a. diakuikeberadaannya;
b. mempunyaikekuatan hukum mengikat;
c. dibentukatas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ; dan
d. dibentukoleh badan yang diberi kewenangan.
Dalamjenis dan hierarki tersebut terdapat instrumen hukum yang disebut “peraturanpresiden” (yang digunakan dalam masa orde lama) pengganti dari “keputusanpresiden” yang bersifat mengatur. Penggantian instrumen hukum tersebut tentudimaksudkan untuk menyederhanakan penyebutan jenis peraturan perundang-undangandan untuk menghindari peran ganda keputusan presiden, baik yang bersifatmengatur (regeling) maupun yang bersifat penetapan (beschikking).Disadari bahwa penggantian itu dikritik oleh sejumlah ahli perundang-undangankarena pengaturan yang lama (keputusan presiden yang bersifat mengatur) masihcukup valid.
UUP3 memberikan pedoman pasti tentang materi muatan bagi Undang-Undang, PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, Peraturan Desa/yang setingkat, dan materi muatan ketentuanpidana. Hal ini perlu dipertimbangkan dengan teliti oleh pembentuk rancanganundang-undang. Khusus untuk materi Peraturan Presiden, disebutkan bahwa materiPeraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang ataumateri untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Sepintas lalu terlihat bahwa PeraturanPresiden tidak bersumber dari Pasal 4 ayat (1) yaitu peraturan yang dikeluarkanPresiden untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar,melainkan adalah materi muatan delegasian dari Undang-Undang atau materimelaksanakan Peraturan Pemerintah. Jika demikian, pemikiran mengenai materimuatan Peraturan Presiden memang berbeda dengan paradigma konsepsionalKeputusan Presiden yang bersumber dari Pasal 4 ayat (1).
5. Pengharmonisasian,Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi RUU
SubstansiPasal 18 ayat (2) tentang pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsiRUU mirip dengan substansi Keppres No. 188/1998. Tugas koordinasi masih tetapdibebankan kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturanperundang-undangan.
Pasal18 mengandung konsekuensi bahwa rancangan undang-undang harus melewatimekanisme tertentu, yaitu pembahasan bersama Panitia Antar Departemen (PAD)agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan dalam sebuah RUU. Menteri dibidang perundang-undangan diserahi tugas koordinasi sesuai dengan tugas pokokdan fungsinya sebagai pembantu Presiden dalam penyelenggaraan urusanpemerintahan di bidang hukum pembinaan hukum nasional.
Bagaimanajika instansi pemerintah yang memprakarsai RUU tidak menempuh prosedurtersebut? Bagaimana pula dengan prosedur yang harus ditempuh dalam rangkamempersiapkan rancangan peraturan daerah? Memang tidak ada pengaturan yangtegas memberikan semacam sanksi. Sebab hal itu sepenuhnya tergantung kepadakewenangan Presiden, apakah masih akan menerima sebuah rancangan undang-undangyang akan disampaikan kepada DPR tanpa memenuhi ketentuan Pasal 18 ataumenolaknya?
Menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non-departemen yang berfungsisebgai pembantu Presiden seharusnya menyadari bahwa kewajiban Pasal 18dimaksudkan sebagai upaya pengawasan bersama oleh Panitia Antar Departemen yangbersifat mencegah terhadap kemungkinan sebuah rancangan mengandung cacathukum(preventief toezicht), yang tidak terlihat dengan jeli olehdepartemen pemrakarsa. UUD 1945 memang memberikan peluang bahwa rancangan yangtidak disetujui oleh Panitia Antar Departemen dapat diteruskan ke DPR sebagaiusul hak inisiatif, namun produk awal (initial draft) yang dikirimkantersebut mungkin akan mengandung berbagai norma yang berbenturan denganperaturan perundang-undangan dari departemen lain (conflicting norms),sehingga akan menyulitkan Presiden atau menteri yang bersangkutan dalampelaksanaannya. Sangat terbuka kemungkinan bagi para pihak yang merasadirugikan untuk mengajukan gugatan terhadap sebuah undang-undang yang“bermasalah” (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi, seperti yangbanyak terjadi akhir-akhir ini.
6. Pengesahan,Pengundangan dan Penyebarluasan
Pasal 37 s/d Pasal 39 memberi dua kemungkinan tentangpengesahan, yaitu
(1) pengesahan dengan pembubuhan tanda tangan oleh Presiden terhadaprancangan undang-undang yang disampaikan oleh DPR; atau
(2) pengesahan tanpa pembubuhan tanda tangan oleh Presiden, jikatelah melewati waktu paling lambat 30 hari sejak rancangan undang-undangdisetujui bersama.
Untuk kasus kedua tanda pengesahan berbunyi: “Undang-Undang inidinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945.”
UU P3 tidak menjelaskan tentang langkah-langkah yang seyogyanyadilakukan Presiden dalam hal dia tidak setuju atau menolak sebuah rancanganundang-undang yang telah disetujui bersama. Sebagai perbandingan dalam mekanisperundang-undangan menurut Konstitusi RIS (Pasal 138) dan UUDS, walaupun dalamsistem pemerintahan yang berbeda, Presiden berkewajiban memberitahukan kepadaDPR jika dia merasa masih ada keberatan terhadap rancangan undang-undang yangdisampaikan oleh DPR.
Pengundangan (bekendmaking) peraturan perundang-undangandilakukan dengan menempatkan peraturan perundang-undangan pada: Lembaran NegaraRI, Berita Negara RI, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. (Pasal 45). Pengundanganperaturan perundang-undangan yang ditempatkan dalam Lembaran Negara atau dalamBerita Negara dilakukan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidangperundang-undangan. (Pasal 48)
Ketentuan mengenai pengundangan tidak secara tegas menyebutkan statusTambahan Lembaran Negara yang selama ini berlaku sebagai tempat pengundanganbagi penjelasan peraturan perundang-undangan. Apakah ini berarti bahwa untukmasa akan datang tidak dikenal lagi Tambahan Lembaran Negara?
Penyebarluasan (afkondiging) peraturan perundang-undangan yangdiundangkan dalam Lembaran Negara dan Berita Negara dibebankan kepadaPemerintah, sedangkan penyebarluasan Peraturan Daerah dan peraturan di bawahnyayang dimuat dalam Berita Daerah dibebankan kepada Pemerintah Daerah.
Fungsi penyebarluasan sebenarnya tidak termasuk dalam prosespembentukan peraturan perundang-undangan, walaupun terkait dengan teori fictieleer yang masih dianut dalam frasa penutup sebuah undang-undang “agar setiaporang mengetahuinya”, karena pada umumnya masyarakat mengetahui adanyaundang-undang bukan dari Lembaran Negara atau Lembaran Daerah melainkan daripemberitaan mass-media atau publikasi khusus perundang-undangan.
7. Penutupdan Saran
UUP3 merupakan master piece di bidang perundang-undangan dan diharapkansebagai handboek wetgeving bagi para perancang peraturanperundang-undangan. Tentu terdapat beberapa titik kelemahan dalam UU P3 yangmungkin akan menimbulkan perbedaan tafsir di kalangan penggunanya. Berbagaipermasalahan yang muncul dalam rangka pemahaman UU P3 seperti diuraikan dalammakalah ini sama sekali bukan merupakan alasan untuk tidak menaati ketentuanyang terdapat di dalamnya. Justeru berbagai titik-titik lemah itu membukapeluang bagi para analis ilmu perundang-undangan untuk melahirkan berbagaikarya akademis guna menggantikan berbagai tulisan sebelumnya.
UUP3 melahirkan berbagai paradigma konsepsional baru yang harus dijelaskan kepadamasyarakat luas, dan untuk itu memerlukan masa transisi yang cukup lama.Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (atau nama lain dalam kabinet baru)dibebankan tugas yang cukup berat. Tidak hanya tugas mensosialisasikan UU P3melainkan juga kewajiban mempersiapkan berbagai infrastruktur dan sarana yangdiperlukan untuk menunjang pelaksanaannya.
Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection
0 comments:
Post a Comment