FREE DOWNLOAD PICTURE
MORE INFO ABOUT WALLPAPER
Tuesday, December 29, 2009

METAFISIKA

    METAFISIKA

    Descartes, Dkk.

    Metode Descartes dalam metafisika dimulai dari pencariannya atas segala sesuatu yang 'jelas' dan 'berbeda', dan dari sinilah dia memulai pemikiran deduktifnya. Untuk memulai dengan pijakan yang kuat dia memperkenalkan 'metode keraguan', keraguan yang akan menjadi titik awal datangnya kepastian. Keraguan ini berbeda dengan para skeptis yang ragu untuk tetap ragu. Premis awal yang disusun oleh Descartes adalah "Saya ragu" yang kemudian dilanjutkan dengan "Ketika seseorang ragu dia pasti berpikir". Dan dari sana muncul proposisi "Ketika saya berpikir maka saya ada" atau 'Cogito Ergo Sum'. Inilah yang menjadi landasan dari filsafat Descartes untuk menyatakan keberadaan Tuhan atau realitas primer (res cogitans).

    Dalam membuktikan keberadaan Tuhan, Descartes menggunakan tiga argument dasar yaitu: "Cogito" telah memberikan kesadaran pada diriku sendiri atas keterbatasan diri dan ketidaksempurnaan keberadaan. Ini membuktikan bahwa aku tidak memberikan eksistensi pada diriku sendiri, dalam permasalahan tersebut, aku telah menyerahkan diriku pada sifat yang sempurna yang tidak kumiliki, dimana menjadi subyek yang diragukan. "Aku memiliki Ide kesempurnaan : jika aku tidak memilikinya, aku tidak akan pernah tahu bahwa aku tidak sempurna. Sekarang darimanakan datangnya ide kesempurnaan tersebut ? tidak dari diriku sendiri, karena aku tidak sempurna dan kesempurnaan tidak datang dari yang tidak sempurna.

    Jadi datangnya dari Sesuatu yang Sempurna, yaitu Tuhan. "Analisis daqri ide kesempurnaan melibatkan eksistensi dari Keberadaan yang Sempurna, bagai sebuah lembah yang termasuk dalam ide sebuah gunung,maka eksistensi juga termasuk dalam ide kesempurnaan tersebut.Hal ini merupakan pembeda antara filsafat sebelum Descartes atau filsafat klasik dan filsafat modern. Dari Descartes filsafat dituntut dari 'ilmu keberadaan' (science of being) menuju 'ilmu pemikiran' (science of thought/epistimologi). Di mana filsafat ini lebih di dalami oleh Kant dan filsuf idealisme lainnya. Karena pijakannya yang menggunakan rasio daripada pengalaman empiris maka Descartes dikenal sebagai filsuf rasionalis daratan bersama dengan Spinoza, dan Leibniz. Sementara tidak jauh dari jamannya dan tempatnya muncul tiga filsuf yang dikenal sebagai empiris-anglo saxon yaitu : Locke, Berkeley, dan Hume.

    Dunia menurut Descartes mempunyai karakterisasi sebagai perpanjangan (res extensa), yang tidak terbatas. Dalam perpanjangan ini, kekuatan Tuhan menempati kekuatan atau gaya dan pergerakan, yang ditentukan oleh prinsip kausalitas absolut. "Dunia adalah sebuah mesin besar", dunia anorganik, tumbuhan, binatang, dan bahkan manusia, sepanjang tubuhnya yang menjadi perhatian, adalah mesin yang diperintah oleh hukum pergerakan kausalitas. Kritik terhadap Filsafat Descartes Filsafat rasionalis Descartes yang mengandalkan rasionalitas mengabaikan pengalaman empiris sebagai dasar kebenaran, hal inilah yang ditolak oleh filsuf empirisme, yang pada waktu hampir bersamaan tumbuh di Inggris.


    Filsafat empirisme mengatakan bahwa bukanlah rasio yang menyusun kebenaran, akan tetapi pengalamanlah yang nantinya membawa manusia dalam kebenaran. John Locke, salah satu filsuf empirisme mengatakan bahwa manusia itu seperti tabula rasa yaitu kertas putih yang nantinya akan ditulisi dengan pengalamannya di dunia nyata. Dan inilah yang bertolak belakang dengan filsafat rasionalisme terutama Descartes. Setelah empirisme kritik timbul dari Spinoza, salah satu filsuf rasionalis yang berada di Belanda.

    Dengan pantheismenya dia membantah dualisme antara pemikiran dan tubuh yang dikemukakan oleh Descartes. Kritik yang sangat tajam justru disampaikan oleh Kant dalam karyanya "Critique of Pure Reason", di sini kant mengatakan bahwa kebenaran tidak dating dari rasio murni atau empiris murni melainkan gabungan dari keduanya yang dibedakan atas a priori dan a posteriori. Beberapa yang masih menjadi perdebatan tentang filsafat Descartes adalah metodenya yang meragukan segala sesuatu. Dari keragu-raguannya yang meragukan segala hal bahkan dia hamper mengatakan bahwa semuanya salah, dia mengajukan premis di mana dia memiliki ide tentang Tuhan sebagai keberadaan sempurna. Problematika ini sampai sekarang masih menjadi perdebatan hangat. Yang menjadi sorotan adalah inkonsistensi yang dilakukan Descartes dalam metodenya.

    Ketika menyatakan bahwa segalanya diragukan, pada saat yang sama dia memakai anggapan-anggapan rasio umum dan secara terus-menerus dia pergunakan. Seperti dalam 'Cogito Ergo Sum' yang menggunakan kontradiksi ini, dimana Descartes menempatkan 'berpikir' dan 'ragu' sebagai bukti keberadaannya atau eksistensinya. Karena pada pokoknya Descartes berpikiran bahwa tidak mungkin berpikirdan tidak berpikir atau eksis dan tidak eksis dapat terjadi bersamaan. Seharusnya ketika dia meragukan segalanya berpikir dan tidak berpikir atau eksis dan tidak eksis bisa saja terjadi dalam waktu yang bersamaan. Sehingga pernyataan nya tentang 'Cogito Ergo Sum' tidak memiliki nilai obyektif yang real.

    Kontradiksi pada pemikiran Descartes ini berakibat munculnya hasil yang ganda dalam setiap karya filsafatnya. Seperti dalam pembuktian keberadaanTuhan, sekaligus Descartes membuktikan bahwa eksistensi Tuhan itu sendiri tidak mungkin. Karena dengan metode keraguan yang menjadi landasan berpikirnya, maka seluruh karya filsafatnya diragukan secara fundamental dan inkonsisten. Ketertarikannya pada alat mekanik pada waktu itu membuat Descartes sangat terinspirasi oleh cara kerja alat-alat tersebut sehingga dia pun mengatakan bahwa dunia merupakan sebuah mesin besar yang bergerak di bawah hukum-hukum pergerakan kausalitas universal. Efek dari filsafatnya ini adalah termekanisasikannya seluruh aspek hidup manusia yang kemudian hari dikritik oleh para pemikir postmodern seperti Foucault, Lyotard, dan Marcuse. Akan tetapi dari semua kelemahan yang ditemukan dalam karyanya tersebut, Descartes merupakan pionir dalam filsafat modern yang berjasa bagi tumbuh berkembangnya ilmu pengetahuan dan filsafat modern.

    Aristoteles Teori Pengetahuan Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ? Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated).

    Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.

    Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek. Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemology (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah). Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nyadan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi.

    Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap.

    Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya. Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang. Filsafat

    Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. (dan masih konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan. Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan, tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam ,upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai. Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles.

    Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian. Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi. Mungkinkah Manusia itu Mempunyai Pengetahuan ? Masalah epistemologis yang sejak dahulu dan juga sekarang menjadi bahan kajian adalah, apakah berpengetahuan itu mungkin ? Apakah dunia (baca: realita) bisa diketahui ? Sekilas masalah ini konyol dan menggelikan. Tetapi terdapat beberapa orang yang mengingkari pengetahuan atau meragukan pengetahuan. Misalnya, bapak kaum sophis, Georgias, pernah dikutip darinya sebuah ungkapan berikut, "Segala sesuatu tidak ada. Jika adapun, maka tidak dapat diketahui, atau jika dapat diketahui, maka tidak bisa diinformasikan." Mereka mempunyai beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya.

    Pyrrho salah seorang dari mereka menyebutkan bahwa manusia ketika ingin mengetahui sesuatu menggunakan dua alat yakni, indra dan akal. Indra yang merupakan alat pengetahuan yang paling dasar mempunyai banyak kesalahan, baik indra penglihat, pendengar, peraba, pencium dan perasa. Mereka mengatakan satu indra saja mempunyai kesalahan ratusan. Jika demikian adanya, maka bagaimana pengetahuan lewat indra dapat dipercaya ? Demikian pula halnya dengan akal. Manusia seringkali salah dalam berpikir. Bukti yang paling jelas bahwa di antara para filusuf sendiri terdapat perbedaan yang jelas tidak mungkin semua benar pasti ada yang salah. Maka akalpun tidak dapat dipercaya. Oleh karena alat pengetahuan hanya dua saja dan keduanya mungkin bersalah, maka pengetahuan tidak dapat dipercaya.

    Pyrrho ketika berdalil bahwa pengetahuan tidak mungkin karena kasalahan-kesalahan yang indra dan akal, sebenarnya, ia telah mengetahui (baca: meyakini) bahwa pengetahuan tidak mungkin. Dan itu merupakan pengetahuan. Itu pertama. Kedua, ketika ia mengatakan bahwa indra dan akal seringkali bersalah, atau katakan, selalu bersalah, berarti ia mengetahui bahwa indra dan akal itu salah. Dan itu adalah pengetahuan juga. Alasan yang dikemukakan oleh Pyrrho tidak sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak mungkin. Alasan itu hanya dapat membuktikan bahwa ada kesalahan dalam akal dan indra tetapi tidak semua pengetahuan lewat keduanya salah. Oleh karen itu mesti ada cara agar akal dan indra tidak bersalah. Menurut Ibnu Sina, ada cara lain yang lebih efektif untuk menghadapi mereka, yaitu pukullah mereka. Kalau dia merasakan kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit (akhir dawa' kay). " Cogito, ergosum "-nya Descartes. Rene Descartes termasuk pemikir yang beraliran rasionalis. Ia cukup berjasa dalam membangkitkan kembali rasionalisme di barat. Muhammad aqir Shadr memasukkannya ke dalam kaum rasionalis.

    Ia termasuk pemikir yang pernah mengalami skeptisme akan pengetahuan dan realita, namun ia selamat dan bangkit menjadi seorang yang meyakini realita. Bangunan rasionalnya beranjak dari keraguan atas realita dan pengetahuan. Ia mencari dasar keyakinannya terhadap Tuhan, alam, jiwa dan kota Paris. Dia mendapatkan bahwa yang menjadi dasar atau alat keyakinan dan pengetahuannya adalah indra dan akal. Ternyata keduanya masih perlu didiskusikan, artinya keduanya tidak memberika hal yang pasti dan meyakinkan. Lantas dia berpikir bahwa segala sesuatu bisa diragukan, tetapi ia tidak bisa meragukan akan pikirannya. Dengan kata lain ia meyakini dan mengetahui bahwa dirinya ragu-ragu dan berpikir. Ungkapannya yang populer dan sekaligus fondasi keyakinan dan pengetahuannya adalah " Saya berpikir (baca : ragu-ragu), maka saya ada ". Argumentasinya akan realita menggunakan silogisme kategoris bentuk pertama, namun tanpa menyebutkan premis mayor. Saya berpikir, setiap yang berpikir ada, maka saya ada. Keraguan al Ghazzali

    Dari dunia Islam adalah Imam al Ghazzali yang pernah skeptis terhadap realita, namun iapun selamat dan menjadi pemikir besar dalam filsafat dan tashawwuf. Perkataannya yang populer adalah " Keraguan adalah kendaraan yang mengantarkan seseorang ke keyakinan ". Sumber Dana Alat Pengetahuan. Setelah pengetahuan itu sesuatu yang mungkin dan realistis, masalah yang dibahas dalam lliteratur-literatur epistimologi Islam adalah masalah yang berkaitan dengan sumber dan alat pengetahuan. Sesuai dengan hukum kausaliltas bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya, maka pengetahuan adalah sesuatu yang sifatnya aksidental -baik menurut teori recolection-nya Plato, teori Aristoteles yang rasionalis-paripatetik, teori iluminasi-nya Suhrawardi, dan filsafat-materialisnya kaum empiris- dan pasti mempunyai sebab atau sumber. Tentu yang dianggap sebagai sumber pengetahuan itu beragam dan berbeda sebagaimana beragam dan berbedanya aliran pemikiran manusia. Selain pengetahuan itu mempunyai sumber, juga seseorang ketika hendak mengadakan kontak dengan sumber-sumber itu, maka dia menggunakan alat.

    Para filusuf Islam menyebutkan beberapa sumber dan sekaligus alat pengetahuan, yaitu : Alam tabi'at atau alam fisik Alam Akal Analogi ( Tamtsil) Hati dan Ilham 1. Alam tabi'at atau alam fisik Manusia sebagai wujud yang materi, maka selama di alam materi ini ia tidak akan lepas dari hubungannya dengan materi secara interaktif, dan hubungannya dengan materi menuntutnya untuk menggunakan alat yang sifatnya materi pula, yakni indra (al hiss), karena sesuatu yang materi tidak bisa dirubah menjadi yang tidak materi (inmateri). Contoh yang paling konkrit dari hubungan dengan materi dengan cara yang sifatnya materi pula adalah aktivitas keseharian manusia di dunia ini, sepert makan, minum, hubungan suami istri dan lain sebagianya. Dengan demikian, alam tabi'at yang materi merupakan sumber pengetahuan yang "barangkali" paling awal dan indra merupakan alat untuk berpengetahuan yang sumbernya tabi'at. Tanpa indra manusia tidak dapat mengetahui alam tabi'at. Disebutkan bahwa, barang siapa tidak mempunyai satu indra maka ia tidak akan mengetahui sejumlah pengetahuan.

    Dalam filsafat Aristoteles klasik pengetahuan lewat indra termasuk dari enam pengetahuan yang aksioamatis (badihiyyat). Meski indra berperan sangat signifikan dalam berpengetahuan, namun indra hanya sebagai syarat yang lazim bukan syarat yang cukup. Peranan indra hanya memotret realita materi yang sifatnya parsial saja, dan untuk meng-generalisasi-kannya dibutuhkan akal. Malah dalam kajian filsafat Islam yang paling akhir, pengetahuan yang diperoleh melalui indra sebenarnya bukanlah lewat indra. Mereka mengatakan bahwa obyek Pengetahuan (al ma'lum) ada dua macam, yaitu, (1) obyek pengetahuan yang substansial dan (2) obyek,pengetahuan yang aksidental. Yang diketahui secara substansial oleh manusia adalah obyek yang ada dalam benak, sedang realita di luar diketahui olehnya hanya bersifat aksidental.

    Menurut pandangan ini, indra hanya merespon saja dari realita luar ke relita dalam. Pandangan Sensualisme (al-hissiyyin). Kaum sensualisme, khususnya John Locke, menganggap bahwa pengetahuan yang sah dan benar hanya lewat indra saja. Mereka mengatakan bahwa otak manusia ketika lahir dalam keadaan kosong dari segala bentuk pengetahuan, kemudian melalui indra realita-realita di luar tertanam dalam benak. Peranan akal hanya dua saja yaitu, menyusun dan memilah, dan meng-generalisasi. Jadi yang paling berperan adalah indra. Pengetahuan yang murni lewat akal tanpa indra tidak ada. Konskuensi dari pandangan ini adalah bahwa realita yang bukan materi atau yang tidak dapat bersentuhan dengan indra, maka tidak dapat diketahui, sehingga pada gilirannya mereka mengingkari hal-hal yang metafisik seperti Tuhan.
    Source URL: https://pokbongkoh.blogspot.com/2009/
    Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection

PERBANDINGAN LOGIKA DAN METAFISIKA

    logika vs metafisika

    Logika

    Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.

    Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.

    Logika sebagai ilmu pengetahuan

    Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan dimana obyek materialnya adalah berpikir (khususnya penalaran/proses penalaran) dan obyek formal logika adalah berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya.

    Logika sebagai cabang filsafat

    Logika adalah sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis disini berarti logika dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam usaha untuk memasarkan pikiran-pikirannya serta pendapat-pendapatnya, filsuf-filsuf Yunani kuno tidak jarang mencoba membantah pikiran yang lain dengan menunjukkan kesesatan penalarannya.

    Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematika.

    Penyelesaian masalah dalam kehidupan sehari-hari menuntut logika yang dilandasi dengan asas berpikir sistematis. Dalam mengkaji suatu bentuk permasalahan yang nanti akan di contohkan diperlukan cara berpikir yang logis, realistis, serta variable kualitatif-kuantitatif atau dalam hal ini “kasat mata” dapat divisualisasikan oleh indra dan dianalogikan secara abstrak dalam otak kita.

    Cara berpikir secara sistematis atau dengan ber-logika, seringkali berseberangan dengan pola pikir dari sudut metafisika. Suatu cara pandang terhadap masalah dengan mengedepankan aspek-aspek “gaib”, “tak kasat mata” yang jauh dari sistem analogi ilmiah untuk memandang suatu permasalahan.

    Pengertian Metafisika secara umum

    Metafisika (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik", φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?

    Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.

    Penggunaan istilah "metafisika" telah berkembang untuk merujuk pada "hal-hal yang di luar dunia fisik". "Toko buku metafisika", sebagai contoh, bukanlah menjual buku mengenai ontologi, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif, dan hal-hal sejenisnya.

    Contoh penelaahan kasus lewat perspektif Metafisika :

    Lewat kajian metafisika suatu media massa, pada tanggal 15 Agustus 2006 semburan Lumpur Lapindo akan berhenti atau membesar. Demikian kajian Teropong Metafisika Jatim Info, seputar bencana Lapindo. Disamping itu, Teropong Metafisika Jatim Info juga melihat saat ini ada yang telah menempuh penanggulanngan melalui pendekatan supranatural, bahkan dimunculkan oleh berbagai pihak. Person yang dilibatkan relatif banyak, lebih dari 40 paranormal.

    Persoalannya, hingga saat ini negosiasi dengan alam masih kelewat alot. Masing-masing bersikukuh atas keinginannya, dengan muatan beragam kepentingan dibelakangnya.
    Sekarang penguasa wilayah atau penjaga situs di kawasan Lapindo semakin marah, dan beringas karena semakin terganggu. Berbagai kejadian terkait semburan lumpur pun diperkirakan semakin banyak.

    Untuk segera mengakhiri "bencana" ini, maka dalam bernegosiasi dengan alam hendaknya berpijak pada demi kepentingan luas, bukan demi pihak-pihak tertentu. Keputusan kompromi harus segera diwujudkan. Apalagi, Teropong Metafisika melihat batas akhir negosiasi, dikabarkan pada bulan Puasa. Diperkirakan bila tidak terjadi kesepakatan dalam negosiasi, diprediksikan akan banyak korban.

    Dalam kaitan ini, warga Sidoarjo harap ekstra hati-hati. Evakuasi itu sendiri sebaiknya tidak terbatas pada lima desa antara lain Kelurahan Jatirejo, Desa Renokenongo, Kelurahan Siring di Kecamatan Porong, Desa Kedungbendo di Kecamatan Tanggulangin dan Desa Besuki di Kecamatan Jabon.

    Evakuasi ini sebaiknya juga tidak dibatasi radius. Hal ini mengingat kasus Lapindo erat kaitannya dengan peristiwa alam yang cenderung bergerak liar dan sulit diprediksi. Apalagi ketika banyak pihak memanfaatkan kesempatan, aji mumpung, untuk mencari keuntungan, kemurkaan ini sulit diharapkan untuk segera berakhir.

    Dalam contoh permasalahan diatas, terdapat beberapa aspek yang tidak sesuai dengan jalur berpikir logis, diantaranya :

    • Pendekatan supranatural

    Pendekatan supranatural merupakan suatu pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan secara gaib, atau melanggar batas-batas logika manusia karena sifat pendekatan tersebut yang “tak kasat mata”, sehingga menyebabkan pendekatan ini tidak dapat divisualisasikan lewat indra serta proses abstraksi logika lewat otak tidak berjalan.

    • Penguasa wilayah atau penjaga situs

    Penguasa wilayah atau penjaga situs, seringkali diibaratkan sebagai “sesosok mahluk yang bertugas untuk menjaga suatu wilayah tertentu”. Sekali lagi, Penguasa wilayah atau penjaga situs merupakan sebuah konsep dari paradigma metafisika yang “tak kasat mata”.

    Konsep-konsep yang ditawarkan dalam paradigma metafisika cenderung berbau gaib dan jauh dari alur logika manusia untuk berpikir dalam memecahkan suatu masalah. Sedangkan sebagai manusia dan individu yang terus menghadapi kemajuan zaman dan teknologi, dalam memandang permasalahan di perlukan logika dalam mengambil keputusan.

    Kegunaan logika

    1. Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren.

    2. Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif.

    3. Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri.

    4. Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan menggunakan asas-asas sistematis

    5. Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan berpkir, kekeliruan serta kesesatan.

    6. Mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian.

    Di dalam proses penemuan sains tersebut kita mengenal yang namanya metode ilmiah sebagai jalan untuk meraih hasil yang sesuai “standar” ke Ilmuan. Sains yang terus berkembang bisa dikatakan merupakan impac dari adanya revolusi industri yang terjadi di Eropa. Revolusi industri membawa perubahan besar dalam berbagai aspek. Corak-corak metodologis yang dikembangkan menyebabkan ilmu pengetahuan bersifat posivistik, deterministik, evolusionistik, sehingga segala sesuatu harus dijelaskan dengan metode kuantitatif dan eksperimental melalui observer.

    Metode ilmiah adalah cara atau prosedur yang digunakan dalam kegiatan untuk memperoleh pengetahuan secara ilmiah atau ilmu. Langkah-langkahnya: 1) penetapan atau perumusan masalah, 2) penyusunan kerangka berpikir, 3) perumusan hipotesis, 4) pengujian hipotesis, dan 5) penarikan kesimpulan.

    Metode ilmiah dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek studi dan bukan mencocokkan objek studi dengan metode. Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran itu bersumber pada rasio atau pada fakta. Paham rasionalisme menyatakan bahwa rasio adalah sumber kebenaran, sedangkan empirisme berpendapat bahwa fakta yang tertangkap melalui pengalaman merupakan sumber kebenaran. Tidak semua data dapat dikuantitatifkan dan dianalisis secara statistik. Misalnya, dalam penelitian deskriptif, eksploratif, studi kasus, menggunakan wawancara atau angket dan tidak harus menggunakan statistik. Metode penelitian seperti ini juga merupakan metode yang ilmiah.

    Dalam perkembangannya, metode ilmiah juga dimiliki oleh penelitian-penelitian sosial atau non IPA lainnya, meskipun langkah-langkahnya berbeda-beda. Hipotesis yang berupa pernyataan rasional perlu didukung oleh fakta-fakta empiris. Untuk itu fakta-fakta yang relevan harus dikumpulkan untuk menilai apakah hipotesis itu didukung oleh fakta-fakta atau tidak. Fakta-fakta yang berhasil dikumpulkan kemudian dianalisis dan diinterpretasikan melalui penelitian yang menggunakan eksperimen atau tanpa eksperimen untuk mengetahui apakah data empiris tadi mendukung atau tidak mendukung hipotesis itu.

    Source URL: https://pokbongkoh.blogspot.com/2009/
    Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection
Monday, December 28, 2009

Kaitan Antara Etika dan Ilmu Pengetahuan

    Kaitan Antara Etika dan Ilmu Pengetahuan

    Pendahuluan

    Sejauh ini hampir semua kemampuan pemikiran (thought) manusia didominasi oleh pendekatan filsafat. Pengetahuan manusia yang dihasilkan melalui proses berpikir selalu digunakannya untuk menyingkap tabir ketidaktahuan dan mencari solusi masalah kehidupan. Akan tetapi, sebelum sampai pada pembicaraan ilmu pengetahuan, seharusnya yang harus dibicarakan terlebih dahulu ialah mengenai bagaimana proses berpikir manusia (thinking process) sehingga dapat menghasilkan pengetahuan pada manusia. Pengetahuan pada manusia secara garis besar terbagi kedalam dua bagian. Pertama, konsepsi (tassawur) yaitu pengetahuan sederhana dan kedua, pembenaran (thasdiq) yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian . Artinya, proses berpikir yang manusia lakukan melalui dua tahapan yang saling melengkapi yaitu; pengetahuan yang pertama kali muncul berupa konsepsi (tassawur) atau pengetahuan sederhana dan seterusnya manusia melalui pikirannya melakukan pembenaran (thasdhiq) atau dari pengetahuan sederhana (tassawur) sampai kepada ilmu pengetahuan, pengetahuan sederhana itu diberi pembenaran sesuai dengan keyakinan manusia yang diyakininya. Selanjutnya, untuk memahami pengetahuan sebagai sesuatu yang natural (alamiah) dari sudut pandang manusia diperlukan uraian psikologi, yaitu penjelasan atau uraian tentang proses mental yang bersifat subjektif yang dikaitkan dengan hal-hal empirik yang bersifat objektif, dari hal itu diharapkan dapat berpengaruh pada penguasaan manusia terhadap data konkrit sehingga dapat mendukung pada pembenaran pengetahuan .
    Pergerakan yang dialami oleh pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran ilmu pengetahuan sehingga menjadi ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses sehingga ilmu pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan dan proses pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement) yang dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan. Dalam pembangungan ilmu pengetahuan juga diperlukan beberapa tiang penyangga agar ilmu pengetahuan dapat menjadi sebuah paham yang mengandung makna universalitas. Beberapa tiang penyangga dalam pembangunan ilmu pengetahuan itu sebenarnya berupa penilaian yang terdiri dari ontologi, epistemologi dan aksiologi . Perlunya penilaian dalam pembangunan ilmu pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu pengetahuan dapat diterima sebagai pembenaran secara umum. Sampai sejauh ini, didunia akademik panutan pembenaran ilmu pengetahuan dilandaskan pada proses berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu, proses berpikir di dunia ilmiah mempunyai cara-cara tersendiri sehingga dapat dijadikan pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar dunia ilmiah. Dengan alasan itu berpikir ilmiah dalam ilmu pengetahuan harus mengikuti cara filsafat pengetahuan atau epistemologi, sementara dalam epistemologi dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah disebut filsafat ilmu.

    Teori Pengetahuan

    Pengetahuan (knowledge atau ilmu) adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan "barangkali" keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
    Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
    Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek. Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah).
    Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
    Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.
    Filsafat
    Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
    Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai. Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.
    Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik.

    Peran Filsafat Ilmu Dalam Ilmu Pengetahuan

    Ilmu pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan ilmiah) harus diperoleh dengan cara sadar, melakukan sesuatu tehadap objek, didasarkan pada suatu sistem, prosesnya menggunakan cara yang lazim, mengikuti metode serta melakukannya dengan cara berurutan yang kemudian diakhiri dengan verifikasi atau pemeriksaan tentang kebenaran ilimiahnya (kesahihan). Dengan demikian pendekatan filsafat ilmu mempunyai implikasi pada sistematika pengetahuan sehingga memerlukan prosedur, harus memenuhi aspek metodologi, bersifat teknis dan normatif akademik. Pada kenyataannya filsafat ilmu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, perkembangannya seiring dengan pemikiran tertinggi yang dicapai manusia. Oleh karena itu filsafat sains modern yang ada sekarang merupakan output perkembangan filsafat ilmu terkini yang telah dihasilkan oleh pemikiran manusia. Filsafat ilmu dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran yang dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan, tokoh pemikir dalam filsafat ilmu yang telah mempengaruhi pemikiran sains modern yaitu Rene Descartes (aliran rasionalitas) dan John Locke (aliran empirikal) yang telah meletakkan dasar rasionalitas dan empirisme pada proses berpikir.
    Kemampuan rasional dalam proses berpikir dipergunakan sebagai alat penggali empiris sehingga terselenggara proses “create” ilmu pengetahuan. Akumulasi penelaahan empiris dengan menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional. Akan tetapi, salah satu kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak pada penafsiran cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga dalam pandangan yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang rasional. Oleh sebab itu, hakikat berpikir rasional sebenarnya merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir rasional ini menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis yang merupakan jawaban sementara. Kalau sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir secara rasional, maka dengan meningkatnya intensitas penelitian maka kecenderungan berpikir rasional ini akan beralih pada kecenderungan berpikir secara empiris. Dengan demikian penggabungan cara berpikir rasional dan cara berpikir empiris yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah hakikatnya merupakan implementasi dari metode ilmiah.
    Berdasarkan terminologi, empiris mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan pemerhatian atau eksperimen, bukan teori , atau sesuatu yang berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan) . Dengan demikian sesuatu yang empiris itu sangat tergantung kepada fakta (sesuatu yang benar dan dapat dibuktikan), hanya saja fakta yang dibuktikan melalui penginderaan dalam dunia nyata bukanlah fakta yang sudah sempurna telah diamati, melainkan penafsiran dari sebagian pengamatan. Terjadinya sebagian pengamatan pada fakta disebabkan oleh pengamatan manusia yang tidak sempurna sehingga mengakibatkan semua penafsiran manusia mengandung penambahan yang mungkin berubah dengan berubahnya pengamatan. Rasional mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan taakulan, menurut pertimbangan atau pikiran yang wajar, waras atau sesuatu yang dihasilkan menurut pikiran dan timbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok dengan akal, menurut rasio, menurut nisbah (patut). Dengan demikian rasionalitas mencakup dua sumber pengetahuan, yaitu; pertama, penginderaan (sensasi) dan kedua, sifat alami (fitrah) . Implikasi dari sensasi dan fitrah di atas bisa berpengaruh pada bentuk pemahaman rasional sebagai pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak hanya didapatkan dari proses penginderaan saja, karena proses penginderaan hanya merupakan upaya memahami empirikal. Sementara, pemahaman rasional mengandung makna bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan pengetahuan-pengetahuan yang tidak muncul dari hasil penginderaan saja.
    Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan.
    Dogma yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap benar dan seharusnya dapat diterima oleh orang ramai tanpa sebarang pertikaian atau pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan. Paradigma ialah lingkungan atau batasan pemikiran pada sesuatu masa yang dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan kesadaran yang ada atau model dalam ilmu pengetahuan, kerangka berpikir . Dari terminologi di atas dogma dan paradigma sebenarnya mempunyai kaitan makna, karena paradigma merupakan kata lain dari paradogma atau dogma primer. Dogma primer ialah prinsip dasar dan landasan aksiom yang kadar kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi, karena sudah self evident atau benar dengan sendirinya. Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma dalam membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila pengetahuan yang dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif maka kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai kesahihan. Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya.
    Kearifan memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia. Oleh karena itu kita tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan dapat berkembang oleh dirinya sendiri, jika kita memilih berpikir seperti itu maka sebenarnya kita telah berupaya memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab permasalahan kehidupan. Hal ini perlu dipahami secara bijak karena permasalahan kehidupan saat ini sudah mencapai pada suatu keadaan yang kritis, yaitu krisis yang kompleks dan multidimensi (intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian jika kita mempertanyakan penyesuaian apa yang dapat dilakukan ilmu pengetahuan dengan kenyataan kehidupan (realitas), maka perubahan paradigma ilmu pengetahuan merupakan jawaban untuk mengatasi krisis yang cukup serius.

    Tingkatan Aksiologi Pengetahuan

    Dalam filsafat ilmu, menurut Bertrand Russel, tahap ini disebut juga tahap manipulasi. Dalam tahap ini, ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman (ontologi dan epistemologi), melainkan juga untuk memanipulasi faktor-faktor yang terkait dengan alam untuk mengontrol dan mengarahkan proses-proses alam yang terjadi. Konsep ilmiah tentang gejala alam sifatnya abstrak menjelma bentuk jadi kongkret berupa teknologi, misalnya.
    Teknologi yang dapat diartikan sebagai penerapan konsep-konsep ilmiah untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis, dalam perjalan dan pencapaian-pencapaiannya, justru menimbulkan masalah lain. Eksesnya yang dapat disebutkan misalnya dehumanisasi, degradasi eksistensi kemanusiaan, dan pengrusakan lingkungan hidup. Sejarah kehidupan manusia memang telah mencatatkan bahwa Perang Dunia I dan II merupakan ajang pemanfaatan hasil temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaannya secara destruktif ini menimbulkan kontroversi. Pada satu sisi hal itu menimbulkan efek kehancuran pada manusia dan alam, sementara pada sisi lainnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian banyak dimanfaatkan dalam peperangan dan kehancuran alam adalah bagian dari rangkain perjalan ilmu untuk mengunkap hakikat gejala alam dan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sering melupakan faktor-faktor manusia. Misalnya, manusia mesti menyesuaikan diri terhadap teknologi-teknologi baru. Akhirnya, eksistensi manusia terpinggirkan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
    Bencana-bencana yang ditimbulkan oleh pamanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology) antara kerusakan ekologi. Banyak yang dapat disebutkan tentang kehancuran ekologi: kontaminasi air, udara, tanah, dampak rumah kaca, kepunahan spesies tumbuhan dan hewan, pengrusakan hutan, akumulasi limba-limba toksik, penipisan laporan ozon pada atmosfir bumi, kerusakan ekosistem lingkungan hidup, dan lain-lain. Lebih-lebih lagi, musuh kemanusiaan, yaitu perang. Perang Dunia I dan II yang meluluhlantakkan Eropa dan sejumlah kawasan di Asia dan Pasifik menggoreskan luka kemanusiaan. Berapa korban manusia berguguran akibat bom atom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki, Jepang. Atau kawasan Asia Tengah, yaitu Afganistan yang menjadi ajang ujicoba penemuan mutakhir teknologi perang buatan Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang Rusia).
    Pada akhirnya ilmuan memang tiba pada opsi-opsi: apakah ilmu pengetahuan netral dari segala nilai atau justru batas petualangan dan prospek pengembangan ilmu pengetahuan tidak boleh mengingkari suatu nilai, seperti nilai moral, religius, dan ideologi. Ilmu pengetahuan sudah sangat jauh tumbuh dan berkembang untuk dirinya sendiri, sementara teknologi atau ilmu pengetahuan terapan lain terus bergulir mengikuti logika dan perspektifnya sendiri—dalam hal ini tak ada nilai-nilai lain yang diizinkan memberikan kontribusi. Kecemasan tertinggi di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi ketika ilmu kedokteran berhasil menyelesaikan proyek eksperimennya mengembangkan janin dengan metode yang disebut “bayi tabung”.
    Lalu kemudian ternyata masih ada yang lebih mutakhir dari pada “bayi tabung” itu, yakni suksesnya para ilmuan merampungkan eksperimen kloningnya. Yang terakhir ini mengubah hakikat manusia secara dramatis; ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh manusia mampu menciptakan manusia juga. Bahkan, ilmu pengetahuan yang diproyeksi untuk membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya, justru berkembang dimana ilmu pengetahuan dan atau teknologi itu sendiri mengkreasikan tujuan-tujuan hidup itu sendiri.

    Pertentangan Aksiologis: Ilmuwan dan Humanis

    Kalangan humanis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan etis yang penting. Antara lain pertanyaan itu adalah: untuk apa sebenarnya ilmu harus dipergunakan? Dimanakah batas ilmu harusnya berkembang? Namun pertanyaan ini tidak urgen bagi ilmuan dan tidak merupakan tanggung jawab bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Penelaahan tujuan ilmu pengetahuan itu dikembangkan dan diterapkan, untuk tulisan ini, cukup penting. Karena ide dasar penerapan hasil-hasil ilmu pengetahuan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan penghidupan manusia. Seperti disebutkan sebelumnya, ekspektasi besar manusia pada ilmu pengetahuan bahwa itu dapat membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Namun yang terjadi kemudian adalah absuditas (paradoks): bahwa ilmu pengetahuan justru membiaskan kehancuran dan malapetaka bagi alam dan manusia (kehancuran itu telah disebutkan pada pragraf sebelumnya).
    Adakah ini berarti bahwa gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebaiknya cukup sampai di sini? Atau boleh dilanjutkan tetapi menurut konsideran dari otoritas-otoritas tertentu (bukan otoritas administratif dan institusi keagamaan atau ideologi)? Akan tetapi, bila ruang gerak prospek ilmu pengetahuan dan teknologi ini dipagari, berarti kita telah melangkah mundur hingga pada jamannya Galileo atau Socrates. Konsekuensinya, kemandirian ilmu pengetahuan untuk berkembang terkebiri, sementara problem yang muncul sesungguhnya tidak bersumber pada pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi itu.
    Untuk sementara, dasar ontologis, epistemologis dan aksiologis terbentuknya pengetahuan perlu diungkit kembali untuk mempetakan persoalan yang ditimbulkan oleh pencapaian-pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut dasar-dasar ini, suatu pengetahuan merupakan hasil kontemplasi yang menguak hakikat realitas alam dan manusia sebagai suatu obyek empiris (tahap ontologis). Ketika realitas yang berbentuk obyek itu berusaha dipahami dan dimengerti (diketahui), maka itulah tahap epistemologis. Intervensi kepentingan manusia dan nilai-nilai etika, moral, dan agama tidak ditemukan dalam tahap ini dan memang tidak relevan ditempatkan dalam proses itu. Ketika ada pertanyaan tentang manfaat pengetahuan itu bagi kehidupan manusia, berarti yang dimaksudkan adalah tahap aksiologis dari pengetahuan itu. Dalam tahap ini, persitwa alam dan manusia tidak lagi bergerak secara orisinal menurut kecenderungan alamiahnya, tetapi sudah merupakan proses yang artikulatif dan manipulatif. Dalam artian bahwa, kepentingan manusia sudah dapat berinfiltrasi ke dalam penerapan pengetahuan itu.
    Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keilmuan suatu pengetahuan yang kerap menimbulkan kontroversi dan paradoks. Hal ini dimungkinkan karena adanya kemampuan manusia melakukan artikulasi dan manipulasi terhadap kejadian-kejadian alam untuk kepentingannya. Kepentingan manusia sangat ditentukan oleh motif dan kesadaran yang pada manusia itu sendiri. Jadi, fokus persoalan ilmu pengetahuan pada tingkat aksiologis ini ada pada manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita tentang manusia akan sangat membantu memahami dan menyusun pengertian tentang bagaimana sebaiknya ilmu pengatahuan dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam tataran aksiologi. Sekaligus pula diperperterang kembali bahwa pertentangan antara kalangan humanis dan ilmuan pada abad ini adalah berkisar pada tingkatan aksiologis itu. Berbeda pada zamam Copernicus atau Galileo, di mana ilmuan bertentangan dan saling mempertahankan keyakinan dengan kalangan gerja pada tataran ontologis. Oleh karena itu, tuntutan kemanusiaan pada wilayah aksiologi ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendapat permakluman secara luas.

    Aspek Etika (Moral) Ilmu Pengetahuan

    Kembali, kita akan fokus pada manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri daru Freud yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id” adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani. Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
    Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya dalam pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu—atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan—amatlah nihil kebaikan yang diperoleh manusia, atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.
    Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
    Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di bawah filsafat moral . Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksananya (executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas ketika sang subyek berhadap opsi baik atau buruk—yang baik itulah materi kewajiban ekskutor dalam situasi ini.
    Peran Etika (Moral) Dan Dilema Yang Muncul
    Peranan moral akan sangat kentara ketika perkembangan ilmu terjadi pada saat tahap peralihan dari kontemplasi ke tahap manipulasi. Pada tahap kontemplasi, masalah moral berkaitan dengan metafisik keilmuan, sedangkan pada tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah itu sendiri. Dengan kata lain ketika ilmu dihadapkan pada kenyataan, maka yang dibicarakan adakah tentang aksiologi keilmuan.
    Sebelum menentukan sejauhmana peran moral dalam penggunaan ilmu atau teknologi, ada dua kelompok yang memandang hubungan antara ilmu dan moral. Kelompok pertama, memandang bahwa ilmu itu harus bersifat netral, bebas dari nilai-nilai ontologi dan aksiologi. Dalam hal ini, fungsi ilmuwan adalah menemukan pengetahuan selanjutnya terserah kepada orang lain untuk mempergunakan untuk tujuan baik atau buruk. Kelompok pertama ini ingin melanjutkan tradisi kenetralannya secara total seperti pada waktu Galileo. Kelompok kedua, berpendapat bahwa kenetralan terhadap nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Hal ini ditegaskan oleh Charles Darwin bahwa kesadaran kita akan moral dalam penggunakan ilmu kita sejogyanya menggunakan pikiran kita .
    Analisa perkembangan selanjutnya dengan apa yang sudah terjadi, kelompok yang mengedepankan nilai moral mengkhawatrirkan terjadinya de-humanisasi, di mana martabat manusia menjadi lebih rendah, manusia akan dijadikan obyek aplikasi teknologi kelimuan. Hal ini berkaitan peristiwa yang terjadi selama ini, yaitu : (1) Secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya Perang Dunia II. (2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan sangat esoterik (hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja) sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan. (3) Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaannya yang paling hakiki seperti pada revolusi genetika dan teknik perubahan sosial.
    Persoalan baru yang muncul saat menerapkan nilai moral ialah konflik yang menimbulkan dilema nurani mana yang baik, benar, yang mana yang tidak dan mana yang selayaknya. Disinilah, etika memainkan peranannya, etika berkaitan dengan “apa yang seharusnya” atau terkait dengan apa yang baik dan tidak baik untuk kita lakukan serta apa yang salah dan apa yang benar. Menurut J.Osdar, oleh filsuf Yunani kuno, Aristoteles, kata etika dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Kata moral punya arti sama dengan kosakata etika. Kata moral berasal dari bahasa Latin, yakni mos (jamaknya mores). Artinya kebiasaan, adat. Di sini kata moral dan etika punya arti sama.
    Dari pemahaman tersebut, maka etika menjadi acuan atau panduan bagi ilmu dalam realisasi pengembangannya. Untuk mengatasi konflik batin dikemukakan teori-teori etika yang bermaksud untuk menyediakan konsistensi dan koheren dalam mengambil keputusan–keputusan moral. Teori–teori etika tersebut adalah :
    1. Konsekuensialisme. Teori ini menjawab “apa yang harus kita lakukan”, dengan memandang konsekuensi dari bebagai jawaban. Ini berarti bahwa yang harus dianggap etis adalah konsekuensi yang membawa paling banyak hal yang menguntungkan, melebihi segala hal merugikan, atau yang mengakibatkan kebaikan terbesar bagi jumlah orang terbesar. Manfaat paling besar daru teori ini adalah bahwa teori ini sangat memperhatikan dampak aktual sebuah keputusan tertentu dan memperhatikan bagaimana orang terpengaruh. Kelemahan dari teori ini bahwa lingkungan tidak menyediakan standar untuk mengukur hasilnya.
    2. Deontologi, berasal dari kata Yunani deon yang berarti “kewajiban”. Teori ini menganut bahwa kewajiban dalam menentukan apakah tindakannya bersifat etis atau tidak, dijawab dengan kewajiban-kewajiban moral. Suatu perbuatan bersifat etis, bila memenuhi kewajiban atau berpegang pada tanggungjawab, Jadi yang paling penting adalah kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan, karena hanya dengan memperhatikan segi-segi moralitas ini dipastikan tidak akan menyalahkan moral. Manfaat paling besar yang dibawakan oleh etika deontologis adalah kejelasan dan kepastian. Problem terbesar adalah bahwa deontologi tidak peka terhadap konsekuensi-konsekuensi perbuatan. Dengan hanya berfokus pada kewajiban, barangkali orang tidak melihat beberapa aspek penting sebuah problem.
    3. Etika Hak. Teori ini memandang dengan menentukan hak dan tuntutan moral yang ada didalamnya, selanjutnya dilema-dilema ini dipecahkan dengan hirarkhi hak. Yang penting dalam hal ini adalah tuntutan moral seseorang yaitu haknya ditanggapi dengan sungguh-sungguh. Teori hak ini pantas dihargai terutama karena terkanannya pada nilai moral seorang manusia dan tuntutan moralnya dalam suatu situasi konflik etis. Selain itu teori ini juga menjelaskan bagiaman konflik hak antar individu. Teori ini menempatkan hak individu dalam pusat perhatian yang menerangkan bagaimana memecahklan konflik hak yang bisa timbul.
    4. Intuisionisme, teori ini berusaha memecahkan dilema-dilema etis dengan berpijak pada intuisi, yaitu kemungkinan yang dimiliki seseorang untuk mengetahui secara langsung apakah sesuatu baik atau buruk. Dengan demikian seorang intuisionis mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk berdasarkan perasaan moralnya, bukan berdasarkan situasi, kewajiban atau hak. Dengan intuisi kita dapat meramalkan kemungkinan-kemunginan yang terjadi tetapi kita tidak dapat mempertanggungjawabkan keputusan tersebut karena kita tidak dapat menjelaskan proses pengambilan keputusan.
    Etika menjadi acuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena penghormatan atas manusia. Sebagaimana dikemukakan, fisuf Jerman, Imanuel Kant, penghormatan kepada martabat manusia adalah suatu keharusan karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang merupakan tujuan pada dirinya, tidak boleh ditaklukkan untuk tujuan lain.

    Problematika Etika dan Tanggungjawab Ilmu Pengetahuan

    Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang letaknya di luar ilmu pengetahuan , dapat diungkapkan juga dengan rumusan singkat bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas . Namun demikian jelaslah kiranya bahwa kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan ketidakterikatan mutlak. Patutlah kita menyelidiki lebih lajut bagaimana kebebasan ini.
    Bila kata “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal: kemungkinan untuk memilih dan kemampuan atau hak subjek bersangkutan untuk memilih sendiri. Supaya terdapat kebebasan, harus ada penentuan sendiri dan bukan penentuan dari luar.
    Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan. Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal . Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
    Tanggungjawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan “menghancurkan” otonomi ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus akan memperkokoh eksistensi manusia.
    Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu di cegah perkembangannya, karena sudah jamaknya manusia ingin lebih baik, lebih nyaman, lebih lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi kalau melihat kenyataan bahwa manusia sekarang hidup dalam kondisi sosio-tekhnik yang semakin kompleks. Khususnya ilmu pengetahuan – berbentuk tekhnologi – pada masa sekarang tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi keinginan manusia. Sehingga seolah-olah sekarang ini tekhnologilah yang menguasai manusia bukan sebaliknya.
    Kita yakin adanya kenyataan bahwa antara ilmu pengetahuan theoria dengan penerapan praksisnya sukar sekali dipisahkan. Tetapi jelas karena sudah menyangkut relasi antar manusia yang bersifat nyata, dan bukan sekedar perbincangan teoritik “awang-awang” harus dikendalikan secara moral. Sebab ilmu pengetahuan dan penerapannya yang – yang berupa tekhnologi – apabila tidak tepat dalam mewujudkan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia akan dapat menimbulkan ketidakadilan karena ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, pengurangan kualitas manusia karena martabat manusia justru direndahkan dengan menjadi budak teknologi, kerisauan social yang mungkin sekali dapat memicu terjadinya penyakit sosial seperti meningkatnya tingkat kriminalitas, penggunaan obat bius yang tak terkendali, pelacuran dan sebagainya. Terjadi pula fenomena depersonalisasi, dehumanisasi, karena manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk spiritual. Bahkan dapat memicu konflik-konflik sosial- politik, karena menguasai ilmu pengetahuan (tekhnologi) dapat memperkuat posisi politik atau sebaliknya orang yang berebut posisi politik agar dapat menguasai aset ilmu dan tekhnologi. Semuanya mengisyaratkan pentingnya etika yang mengatur keseimbangan antar ilmu pengetahuan dengan manusia, antara manusia dengan lingkungan, antara industriawan selaku produsen dengan konsumen. Dalam bahasa Jacob lebih lanjut dikatakan bahwa ilu pengetahuan jangan sampai merugikan manusia dan lingkungan serta tidak boleh menimbulkan konflik internal maupun politik.
    Tanggungjawab ilmu pengetahuan menyangkut juga tanggungjawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dimasa lalu, sekarang, maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan-keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut tanggungjawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkan dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang baik, yang seharusnya ; baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksisitensi manusia secara utuh. Dalam bahasa Melsen : Tanggungjawab dalam ilmu pengetahuan menyangkut problem etis karena menyangkut ketegangan-ketegangan antara realitas yang ada dan realitas yang seharusnya ada.
    Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal yaitu membuat manusia rendah hati karena memberikan kejelasan tentang jagad raya, kedua mengingatkan bahwa kita masih bodoh dan masih banyak yang harus diketahui dan dipelajari. Ilmu pengetahuan tidak mengenal batas, asalkan manusia sendiri yang menyadari keterbatasannya. Ilmu pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah manusia secara mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat bergua bagi manusia.
    Keterbatasan ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya mengekor secara membabi buta kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu pengetahuan saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit ini. Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak untuk merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.
    Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan demikian, memerlukan visi moral yang tepat. Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat apa saja yang diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada “apa yang dapat diperbuat” olehnya tetapi perlu pertimbangan “apakah memang harus diperbuat dan apa yang seharusnya diperbuat” dalam rangka kedewasaan manusia yang utuh. Pada dasarnya mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu pengetahuan harus sampai kepada rumusan normatif yang berupa pedoman pengarah konkret, bagaimana keputusan tindakan manusia dibidang ilmu pengetahuan harus dilakukan. Moralitas sering dipandang banyak orang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan apabila harus diterapkan begitu saja terhadap masalah manusia konkret. Realitas permasalahan manusia yang bersifat konkret-empirik seolah-olah mempunyai “kekuasaan” untuk memaksa rumusan moral sebagai konsep abstrak menjabarkan kriteria-kriteria baik buruknya sehingga menjadi konsep normatif, secara nyata sesuai dengan daerah yang ditanganinya.
    Dewasa ini pengetahuan dan perbuatan, ilmu dan etika saling bertautan. Tidak ada pengetahuan yang pada akhirnya tidak terbentur pertanyaan, “apakah sesuatu itu baik atau jahat”. “Apa” yang dikejar oleh pengetahuan, menjelma menjadi “Bagaimana” dari etika. Etika dalam hal ini dapat diterangkan sebagai suatu penilaian yang memperbincangkan bagaimana tekhnik yang mengelola kelakuan manusia. Dengan demikian lapangan yang dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada sejumlah kaidah dari perorangan, mengenai yang halal dan yang haram. Tetapi berkembag menjadi sesuatu etika makro yang mampu merencanakan masyarakat sedemikian rupa sehingga manusia dapat belajar mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang dibangkitkannya sendiri.
    Terkait dengan keterbukaan yang disebutkan diatas, maka etika hanya menyebut peraturan-peraturan yang tidak pernah berubah, melainkan secara kritis mengajukan pertanyaan, bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap hasil-hasil tekhnologi moderen dan rekayasanya. Etika semacam itu tentu saja harus membuktikan kemampuannya menyelesaikan masalah manusia konkret. Tidak lagi sekedar memberikan isyarat dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam peristiwa aktual dan factual manusia, sehingga terjadi hubungan timbale balik dengan apa yang sebenarnya terjadi. Etika seperti itu berdasarkan “interaksi” antara keadaan etika sendiri dengan masalah-masalah yang mem-“bumi”.

    Penutup

    Berbicara etika sama artinya dengan berbicara tentang moral atau susila, mempelajari kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan lurus. Penilaian moral diukur dari sikap manusia sebagai pelakuknya, timbul pula perbedaan penafsiran. Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik berkembangnya ilmu (pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori etika, tetapi juga tidak bisa serta merta menjadi pegangan untuk mempertanggungjawaban pengambilan keputusan. Meski demikan, teori etika memberikan kerangka analisis bagi pengembangan ilmu agar tidak melanggar penghormatan terhadap martabat kemanusiaan
    Selain itu, pengembangan ilmu harus memperhitungkan perasaan moral dan bukannya berdasarkan situasi, kewajiban dan hak. Pengembangan ilmu harus berpijak pada proyeksi tentang kemungkinan yang secara etis dapat diterima oleh masyarakat atau individu-individu manusia selaku pengguna atau penerima hasil pengembangan ilmu (teknologi). Apa yang baik dan buruk dari hasil pengembangan ilmu harus dapat dipertanggungjawabkan pihak yang mengembangkan ilmu (ilmuwan ataupun penemu). Sebagaimana namanya, “intiusionisme” memang tidak bisa menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena berpijak pada intuisi. Ini dapat dimaknai, ilmuwan secara pribadi, menjadi penentu pertimbangan moral dari pengembangan ilmu tersebut.


    DAFTAR PUSTAKA
    Charis Zubeir, Ahmad. 2002. Kajian Filsafat Ilmu; Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia. Lembaga Studi Filsafat Islam; Yogyakarta
    Van Melsen, A. G. M.1992. Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita Terj. Dr. K. Bertens, PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta
    Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1995. Ed. ke 2. Jakarta: Balai Pustaka
    As-Shadr, Muhammad Baqir.1995. Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali. Bandung: Penerbit Mizan.
    Kamus Dewan. 1994. Ed. ke 3. Kuala Lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa.
    Rosenthal, Franz. 1997. Keagungan Ilmu Terj. Syed Muhamad Dawilah Syed Abdullah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
    Jujun S, Suriasumantri.,2003, “Filsasfat Ilmu”, sebuah pengantar populer. Pustaka Sinar Harapan: JakartaSource URL: https://pokbongkoh.blogspot.com/2009/
    Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection

ETIKA DARI SUDUT PANDANG ONTOLOGI, EPISTEMOLOI, DAN AKSIOLOGI

    ETIKA DARI SUDUT PANDANG ONTOLOGI, EPISTEMOLOI, DAN AKSIOLOGI


    1. Pendahuluan
    Ketika hidup dijalani, seorang manusia tidak akan terlepas dari keterikatan
    hubungan dengan manusia lainnya. Hal ini dapat dipahami karena ia adalah makhluk sosial. Tidak satupun yang merasa dan siap menghadapi kenyataan hidup seorang diri di tengah keramaian dan hiruk pikuknya dunia ini tanpa bantuan orang lain. Bahkan Islam mengajarkan akan pentingya hablun min Allah dan hablun min al naas (hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia) dan shilah al rahim (hubungan kasih sayang), sehingga tercipta kehidupan yang ideal dan harmonis.
    Namun, aktivitas yang dilakukan manusia dalam interaksi sosial itu tidak akan pernah lepas dan selalu bersinggungan dengan nilai-nilai, baik yang tertulis maupun tidak. Sehingga disadari ataupun tidak, dalam menjalani aktivitas hidupnya, selalu dilandaskan pada nilai-nilai dalam lingkup dirinya, orang lain dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
    Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat pun seyogyanya tidak terlepas dari nilai-nilai sebagai pengontrol/pengendali, agar tidak terjerembab ke dalam keangkaramurkaan dan nafsu serakah yang pada akhirnya akan menghancurkan dunia dan peradaban manusia itu sendiri. Iptek yang disenyawakan dengan nilai-nilai atau etika ilmiah niscaya akan membuahkan produk yang bermanfaat tanpa harus bermasalah dengan tatanan peradaban umat manusia.
    Pembahasan yang terkait dengan konsep nilai, sebanarnya merupakan kajian yang sangat erat secara substansial dengan persoalan etika. Kajian dalam persoalan ini biasanya mempertanyakan "apakah baik atau buruk", atau "bagaimana mestinya berbuat baik sehingga tujuan dapat dicapai dan bernilai". Menyikapi hal tersebut, dalam pembahasan makalah ini, akan dipaparkan tentang apa pengertian dan kajian etika ditinjau dari sudut pandang ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

    2. Nilai, Etika, dan Filsafat
    a. Nilai
    Nilai diartikan sebagai suatu keyakinan/kepercayaan yang berkaitan dengan cara bertingkah laku untuk mencapai tujuan akhir yang diinginkan oleh manusia dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Definisi tersebut adalah seperti yang disarikan dari pendapat para ahli ilmu pengetahuan yang tertarik dengan tingkah laku manusia dan konsep nilai.
    Beberapa diantaranya adalah:
    "Value is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct or end-state of existence." (Rokeach, 1973)
    "Value is a general beliefs about desirable or undesirable ways of behaving and about desirable or undesirable goals or end-states". (Feather, 1994)
    "Value is desirable transsituational goal, varying in importance, that serve as guiding principles in the life of a person or other social entity". (Schwartz, 1994)
    Schwartz (1994) menambahkan bahwa pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana nilai itu terbentuk. Dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, ia mengemukakan teori bahwa nilai berasal dari tuntutan manusia yang universal sifatnya yang direfleksikan dalam kebutuhan organisme, motif sosial (interaksi), dan tuntutan institusi sosial.
    Sekarang jika diperhatikan, sebenarnya kehidupan memaksa kita untuk mengadakan pilihan, mengukur sesuatu dari segi lebih baik atau lebih buruk dan untuk memberi formulasi tentang ukuran nilai. Kita memuji atau mencela, mengatakan bahwa suatu tindakan itu benar atau salah. Setiap individu mempunyai perasaan tentang nilai, sehingga setiap gerak langkah dan prilakunya harus dipertimbangkan apakah harus atau tidak perlu mempunyai ukuran, keyakinan, kesetiaan atau idealisme sebagai dasar untuk mengatur kehidupan. Begitu juga apakah ukuran-ukuran itu konsisten atau tidak, harus mengembangkan kehidupan atau merusaknya.
    Kita sadar betul bahwa menganggap sepi dari peran nilai berarti mempunyai gambaran yang keliru tentang manusia dan alamnya. Karena meskipun beberapa ilmuwan Barat menganggap pengetahuan yang dikembangkannya tidak tidak harus bersinggungan dengan nilai, seperti yang dikemukakan sekelompok ilmuwan bahwa filsafat dan ilmu bebas nilai (value free), namun ternyata ada beberapa cabang pengetahuan yang terkait dengan masalah nilai, misalnya ekonomi, etika, estetika, filsafat agama dan epistemology kebenaran. Semua ini pasti membutuhkan kaidah nilai. Meski demikian, bukan berarti cabang ilmu lainnya sama sekali tidak perlu berkaitan dengan nilai-nilai, sebab apapun disiplin dan cabang ilmunya, jika system dan proses konstruksinya terlepas dari kaidah nilai, maka dipastikan atau setidaknya dimungkinkan akan berdampak pada hilangnya nilai substantifnya. Dengan kata lain hal ini akan memberangus keluhuran martabat penggunanya.
    b. Etika
    Sementara etika, pada dasarnya merupakan penerapan dari nilai tentang baik buruk yang berfungsi sebagai norma atau kaidah tingkah laku dalam hubungannya dengan orang lain, sebagai ekspektasi atau yang diharapkan oleh masyarakat terhadap seseorang sesuai dengan status dan peranannya. Dilihat dari asal usul kata, etika berasal dari bahasa Yunani "ethos" yang berarti adat istiadat/kebiasaan yang baik. Pada perkembangannya, etika adalah studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan bagaimana mereka harus bertindak.
    Dalam teori nilai, etika dijadikan sebagai salah satu unsur penting dalam kajian filsafat. Ini berarti bahwa tingkah laku sosial manusia bertumpu pada system nilai yang berlaku, di manapun posisi dia berada. Peribahasa "dimana bumi dipijak, disitu langit dijungjung" barangkali sangat cocok menjadi gambaran diperlukannya penerapan etika.
    Etika dapat berfungsi sebagai penuntun pada setiap orang dalam mengadakan kontrol sosial. Karena etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formalnya adalah norma-norma kesusilaan manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik dalam suatu kondisi yang normative, yakni adanya pelibatan norma. Ketika bersinggungan dengan norma, maka muncullah pemikiran-pemikiran tentang etika itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Dr. Frans Magnis Suseno, bahwa etika memang tidak dapat menggantikan agama, tetapi di lain pihak tidak bertentangan dengan agama. Manusia akan menjadi baik sekalipun tidak mempunyai tuntunan sebagai mana disebut dalam Al Quran, yaitu dengan mengandalkan akal budi dan daya pikirannya untuk memecahkan masalah atau dengan kata lain kita sebut kebijaksanaan. Sehingga dengannya, kita dapat memilih mana yang baik dan mana pula yang buruk bagi kita.
    Namun perlu ditegaskan dalam diri kita bahwa Yang Maha Bijaksana hanyalah Allah, sehingga kebijaksanaanNya dalam mengatur dan menentukan sesuatu hal berada di atas kebijaksanaan kita. Oleh karenanya jika mungkin orang akan menjadi baik tanpa tuntunan Al Quran, maka "baiknya" adalah tidak baik, atau paling tidak menjadi "semu". Dalam Islam, semua urusan manusia, termasuk urusan segai baik dan buruk, jika tidak ada tuntunan dalam Al Quran, maka mesti dirujuk dalam al Hadits. Sedang urusan baru yang mungkin ditemukan pada abad modern dewasa ini, maka dasar tuntunannya adalah ijtihad qiyashi, yakni ijtihad dengan memperhatikan perbadingan qaidah ushul. Jadi, etika di sini yang penulis maksud, adalah etika yang didasarkan pada asas ruh Islam.

    c. Filsafat
    Dari segi semantik, filsafat dalam bahasa Yunani adalah "philosophia" yang diartikan sebagai cinta/suka kepada pengetahuan, hikmah/kebijaksanaan, atau kebenaran. Filsafat mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa. Karena ia merupakan hasil daya upaya manusia dengan akal budinya dalam memahami dan mendalami hakikat yang ada, maka ranah Tuhan, alam semesta, dan manusia itu sendiri menjadi sasaran dalam pengkajiannya.
    Dikaitkan dengan etika, maka filsafat merupakan induk pengayomnya. Ilmu-ilmu lain seperti: logika, metafisika, estetika, epistemologi, filsafat sejarah, sosiologi dan antropologi, dan lain-lain juga berada di naungannya. Dengan kata lain cabang-cabang ilmu yang dalam kajiannya memerlukan pola berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh dalam menemukan hakikat kebenaran segala sesuatu, merupakan kajian filsafat. Apapun yang dipelajari dalam etika, adalah nilai-nilai kebenaran dan hikmah. Karena ia adalah bagian dari filsafat, maka segala yang dipelajari dalam teori nilai (axiology) haruslah dilakukan secara mendalam dan sungguh-sungguh.

    3. Sistem Filsafat Moral
    Secara garis besar, sistem filsafat moral dibedakan dalam dua macam etika, yaitu etika bertujuan (teleologis) dan etika berkewajiban (deontologis). Dalam hal ini filsafat dipusatkan pada pemberdayaan nilai-nilai moralitas ilmu. Etika dipandang sebagai ruh dalam memberi batasan-batasan penggalian pengetahuan yang mendalam. Sehingga hasil yang didapat, baik secara empirik maupun rasional, menjadi bermakna karena adanya pengevaluasian terhadap nilai manfaatnya.
    a. Etika Bertujuan
    Dalam etika ini, sistem filsafat moral terbagi dalam beberapa aliran (isme). Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Ini karena tokoh pencetusnya menggunakan paradigma tujuan yang berbeda.
    1). Hedonisme
    Aliran ini berasumsi bahwa hal yang terbaik bagi manusia adalah kesenangan (hedone), yaitu segala apa yang dapat memuaskan keinginan kita. Aristippos (±433-355 SM) berpendapat bahwa yang baik adalah kesenangan karena fakta menunjukkan bahwa sejak kecil manusia tertarik akan kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. Sedangkan kesenangan itu bersifat badani yang hakikatnya adalah gerak. Ia juga bersifat aktual, bukan masa lau (ingatan) dan bukan pula masa yang akan datang (harapan), tetapi sekarang dan di sini. Termasuk bersifat individual, karena dialami oleh setiap individu. Meskipun dilakukan secara sosial, namun tetap saja kesenangan dirasakan oleh orang perorangan.
    Hal senada dikemukakan oleh Epikuros (341-270 SM). Ia menyebutkan bahwa kesenangan adalah tujuan kehidupan manusia. Namun demikian, katanya, yang terbaik dan terpenting adalah yang terbebas dari segala keinginan itu, tapi justru mencapai ketengan jiwa (ataraxia).
    2). Eudemonisme
    Dikatakan bahwa dalam tiap aktivitas, manusia mengejar tujuan dan tujuan akhir yang ingin dicapai adalah kebahagiaan (eudemonia). Agar hal ini dapat dicapai, maka diperlukan cara-cara untuk menjalankan fungsi rasio/akalnya. Sebagaimana digagas oleh Aristoteles (384-322 SM). Di sini kekuatan rasio manusia harus dibarengi dengan kekuatan moralnya. Sedemikian hingga eudemonia betul-betul terasa mendalam.
    3). Utilitarisme
    Prinsip aliran ini adalah kegunaan (utility). Jeremy Bentham (1748-1832) mengemukakan sebuah teori, yaitu kebahagiaan terbesar adalah berasal dari jumlah orang terbesar (the greatest happiness of the greatest number). Oleh karenanya penetapan kegunaan pun melalui kuantifikasi (the hedonistic number), yakni penentuan jumlah terbesar. Artinya suatu perbuatan dinilai baik, menurut paham ini, jika dapat meningkatkan kebahagiaan orang sebanyak mungkin.
    Namun John Stuart Mill (1806-1873), tokoh lain aliran ini, menambahkan bahwa kebahagiaan dan kesenangan tidak hanya diukur dengan kuantitasnya saja, tetapi juga perlu mempertimbangkan sisi kualitasnya. Dikatakannya bahwa kesenangan dan kebahagiaan itu ada yang bermutu tinggi ada pula yang rendah.
    Jadi, penilaian suatu perbuatan itu baik atau tidak dipengaruhi oleh penentuan kualitas dan kuantitas terhadap kesenangan dan ketidaksenangan.
    b. Etika Berkewajiban
    Salah seorang pakar etika deontologis, Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa yang baik itu adalah kehendak baik itu sendiri. Suatu kehendak menjadi baik karena bertindak menurut kewajiban. Kewajiban dimaksud adalah imperative category (perintah yang mewajibkan begitu saja, dan tanpa syarat). Ini nantinya menjadi hukum moral. Dikatakannya bahwa kebebasan bukan berarti bebas dari segala ikatan, tetapi tetap dengan taat pada hukum (moral).

    4. Implementasi Nilai Etik dalam Ilmu
    Telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa disukai atau tidak, nampaknya nilai-nilai etika dipandang perlu diimplementasikan pada setiap kegiatan ilmiah, sebagai penyeimbang agar produknya tidak mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan. Ilmu diharapkan menjadi melek moral. Sementara nilai diperlakukan bersenyawa dengan proses dan hasil kemajuan itu.
    Namun, dalam pertimbangannya, para ilmuwan berbeda pandangan terhadap apakah etika diperlukan dalam pekerjaan-pekerjaan ilmiah atau tidak. Apakah ilmu tidak menjadi stagnan atau mengalami kemunduran karena terlalu banyaknya pertimbangan nilai. Prof. DR. H. Cecep Sumarna (2008) membedakannya menjadi dua golongan. Pertama, ilmuwan yang menggunakan satu pertimbangan, berupa kebenaran dengan mengesampingkan semua pertimbangan nilai. Kedua, mereka yang menganggap perlunya memasukkan pertimbangan nilai-nilai etik dan nilai-nilai kesusilaan. Sehingga sisi utility(kegunaanya) terasa sebagai penyeimbang pertimbangan nilai kebenaran dalam setiap aplikasi ilmu.
    Bertolak dari pandangan para ilmuwan yang satu sama lain berbeda, dengan berbagai dalil alasan yang dikemukakannya, dapat kita pahami bahwa pemasukkan nilai etika ke dalam ilmu, diterima atau tidaknya, akan sangat berurusan dengan tujuan penciptaan ilmu itu sendiri. Ilmuwan yang tujuan penciptaannya memperhatikan segi kemanusiaan dan kesusialaan demi kebenaran tujuan penggunaannya, akan berupaya memasukkan nilai etik ke dalam ilmu. Faktor empirik dan rasional tidak dimentahkan dengan adanya nilai etik, tapi justru dijadikannya bernilai/bermartabat bagi kemaslahatan umat manusia. Pandangan bahwa ilmu harus bebas nilai (free value) adalah sebuah keangkuhan dalam berhubungan dengannya.
    Sedangkan ilmuwan yang tujuan penciptaannya harus steril dari nilai-nilai metafisik, akan berupaya membendung dan menafikan keterlibatan nilai etik. Penulis beranggapan kalangan ilmuwan pada golongan ini, melakukan dikotomi / pemisahan untuk suatu tujuan penciptaan tidak secara sosial atropogal, melainkan secara eksak matematis. Pertimbangan konotasi atas evaluasi ilmu dianggap tidak diperlukan sebagaimana dipergunakan oleh kalangan ilmuwan yang membolehkan.
    Fakta sejarah telah terbukti, proses dan pengawasan terhadap hasil rekayasa ilmu tidak selamanya dipergunakan dengan bebas dampak negatif. Sejak perang dunia kedua, bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima (Jepang) oleh sekutu dibawah pimpinan Amerika Serikat, berdampak negatif pada hilangnya sisi-sisi kemanusiaan dan rusaknya peradaban manusia. Obat bius jenis psikotroprika yang semestinya digunakan dalam pembedahan klinis, dengan lemahnya pengawasan yang menyeluruh, begitu juga teknologi kondom, karena bebas nilai moral dan tidak disertai dengan aturan yang jelas dan mengikat sebagai bentuk pengawasan, maka yang terjadi adalah penyalahgunaan (misuse).
    Kita patut berbangga karena ilmu pengetahuan telah dikembangkan sedemikian rupa. Ia banyak menawarkan jasa bagi pemenuhan hajat hidup manusia, baik bersifat primer (kebutuhan pokok), sekunder (kebutuhan penyerta/sampingan), ataupun tersier (kebutuhan luks kesenangan). Kesemuanya merupakan produk dari perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
    Di bidang kedokteran, dengan ditemukannya berbagai macam obat, termasuk antibiotika, membawa dampak bagi terselamatkannya jutaan manusia yang sakit. Di bidang pengayaan Uranium, tenaga muklir amat berjasa dalam pembangkit tenaga listrik. Di bidang militer, pengembangan peralatan senjata mutakhir, akan sangat membantu dalam pertahanan negara.
    Namun semua itu akan bernilai baik jika ilmu pengetahuan sebagai pilar utamanya dan hasil yang telah dikembangkan itu diikat dengan nilai. Dengan demikian tragedi dehumanisasi tidak akan menggejala. Majunya ilmu diharapkan mengikatnya nilai peradaban umat manusia.

    5. Manfaat Mempelajari Etika
    Seperti diibaratkan nasihat dokter kepada pasien dengan memberikan petunjuk/nasihat tentang apa yang boleh dan tidak berkenaan dengan penyakitnya, maka etika dapat membuat kita menjadi baik ataupun tidak bergantung pada kemauan kita mau mengikutinya atau tidak. Jika kita mau mentaati etika maka kita bisa menjadi manusia yang baik, jika tidak ia tidak akan berguna bagi kita. Yang jelas, manfaat yang diberikan begitu besar kepada siapapun yang mengikutinya. Ia dapat membukakan mata manusia untuk melihat baik dan buruk.
    Sebenarnya tujuan etika bukan hanya untuk mengetahui pandangan (teori) di dalamnya semata. Akan tetapi yang paling penting adalah agar mendorong kita supaya membentuk hidup bahagia, menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan serta memberikan manfaat kepada sesama manusia.

    6. Penutup
    Secara ontologi, etika dalam filsafat ilmu yang merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat, adalah bagian yang tak terpisahkan dalam peradaban umat manusia. Sifat dasarnya sangat kritis, karena selalu mempersoalkan norma-norma yang berlaku, menyelidiki dasar dari norma-norma tersebut, begitu juga siapapun yang menetapkan norma itu.
    Dari segi kegunaan (aksiologi), bahwa kehidupan manusia perlu ditopang dengan nilai-nilai etika, agar keberadaannya betul-betul dapat dinikmati dengan penuh arti. Dehumanisasi tidak perlu terjadi bilamana human (manusia) berikap legowo menetapkan etika kerja dan etika pengkajian ilmu. Itulah sebabnya mengapa kajian yang mendalam dan sungguh-sungguh ini dikemas dalam wadah filsafat.
    Kita bersyukur sebahagian para ilmuwan telah berani memfatwakan perlunya nilai etika dalam semua bidang dan sendi-sendi kehidupan. Meski sebagian yang lain menafikannya. Sebab yang terpenting adalah berpulang kepada kitanya, mau mengiktui etika atau tidak. Mudah-mudahan kesungguhan kita dalam pengamalannya itu akan beroleh manfaat yang besar dan tak hingga nilainya.
    Akhirnya mudah-mudahan makalah ini membawa percerahan baru bagi yang membacanya dalam memperoleh pemahaman tentang etika sebagai bagian dari filsafat ilmu.Source URL: https://pokbongkoh.blogspot.com/2009/
    Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection

FILSAFAT METAFISIKA DALAM FILSAFAT KOMUNIKASI

    FILSAFAT METAFISIKA DALAM FILSAFAT KOMUNIKASI

    Pentingnya metafisika bagi pembahasan filsafat komunikasi, dikutip pendapat Jujun S Suriasumantri dalam bukunya “Filsafat Ilmu” mengatakan bahwa metafisika merupakan suatu kajian tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran, dan hakikat kaitan zat dengan pikiran.

    Objek metafisika menurut Aristoteles, ada dua yakni :

    § Ada sebagai yang ada; ilmu pengetahuan mengkaji yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya, bahwa suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti kata tidak terkena perubahan, atau dapat diserapnya oleh panca indera. Metafisika disebut juga Ontologi.

    § Ada sebagai yang iLLahi; keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung pada yang lain, yakni TUHAN (iLLahi berarti yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera).

    Epistemologi; merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge).

    Epistemologi berkaitan dengan penguasaan pengetahuan dan lebih fundamental lagi bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan, tepat apabila dihubungkan dengan metodologi.

    Metode; adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang dan mapan, sistematik dan logis.

    Pada dasarnya metode ilmiah dilandasi :

    § Kerangka pemikiran yang logis;

    § Penjabaran hipotesis yang merupakan deduksi dan kerangka pemikiran;

    § Verifikasi terhadap hipotesis untuk menguji kebenarannya secara faktual.

    Jujun S Suriasumantri, mengemukakan akronim metode ilmiah yang dikenal sebagai logicohypotetico verifikasi, kerangka pemikiran yang logis mengandung argumentasi yang dalam menjabarkan penjelasannya mengenai suatu gejala bersifat rasional.

    Lanigan, mengatakan bahwa dalam prosesnya yang progresif dari kognisi menuju afeksi yang selanjutnya menuju konasi, epistemology berpijak pada salah satu atau lebih teori kebenaran.

    Dikenal empat teori kebenaran, sebagai berikut :

    1. Teori koherensi; suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.

    2. Teori korespondensi; suatu pernyataan adalah benar jikalau materi yang terkena oleh persyaratan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu.

    3. Teori pragmatik; suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.

    Aksiologi; asas mengenai cara bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan yang secara epistemologis diperoleh dan disusun. Aksiologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai-nilai seperti etika, estetika, atau agama.

    Dalam hubungannya dengan filsafat komunikasi, aksiologi adalah suatu kajian terhadap apa itu nilai-nilai manusiawi dan bagaimana cara melembagakannya atau mengekspresikannya.

    Jelaslah, pentingnya seorang komunikator untuk terlebih dahulu mempertimbangkan nilai (value judgement), apakah pesan yang akan dikomunikasikan etis atau tidak, estetis atau tidak.

    Logika; berkaitan dengan telaah terhadap asas-asas dan metode penalaran secara benar. Logika sangat penting dalam komunikasi, karena pemikiran harus dikomunikasikan, sebagai hasil dari proses berpikir logis.

    Source URL: https://pokbongkoh.blogspot.com/2009/
    Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection