FREE DOWNLOAD PICTURE
MORE INFO ABOUT WALLPAPER
Monday, November 30, 2009

PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI SOSIAL

    PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI SOSIAL

    Hasan Mustafa

    Pengantar :

    Tulisan ini disusun sebagai upaya membantu mahasiswa memahami isi mata kuliah Psikologi Sosial pada program studi Administrasi Negara Fisip Unpar. Acuan uraian ini adalah buku yang ditulis oleh James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, dan James Vander Zanden ( 1994), dilengkapi oleh sumber bacaan lain. Topik lain yang juga merupakan pokok bahasan dalam mata kuliah tersebut akan segera disusun. Semoga bermanfaat.

    Akar awal Psikologi Sosial

    Walau psikologi sosial merupakan disiplin yang telah lama ada ( sejak Plato dan Aristotle), namun secara resmi, disiplin ini menjadi satu ilmu yang mandiri baru sejak tahun 1908. Pada tahun itu ada dua buku teks yang terkenal yaitu “Introduction to Social Psychology” ditulis oleh William McDougall – seorang psikolog – dan “Social Psychology : An Outline and Source Book , ditulis oleh E.A. Ross – seorang sosiolog.

    Berdasarkan latar belakang penulisnya maka dapat dipahami bahwa psikologi sosial bisa di”claim” sebagai bagian dari psikologi, dan bisa juga sebagai bagian dari sosiologi.

    Psikologi sosial juga merupakan pokok bahasan dalam sosiologi karena dalam sosiologi dikenal ada dua perspektif utama, yaitu perspektif struktural makro yang menekankan kajian struktur sosial, dan perspektif mikro yang menekankan pada kajian individualistik dan psikologi sosial dalam menjelaskan variasi perilaku manusia.. Di Amerika disiplin ini banyak dibina oleh jurusan sosiologi – di American Sociological Association terdapat satu bagian yang dinamakan “social psychological section“, sedangkan di Indonesia, secara formal disiplin psikologi sosial di bawah binaan fakultas psikologi, namun dalam prakteknya tidak sedikit para pakar sosiologi yang juga menguasai disiplin ini sehingga dalam berbagai tulisannya, cara pandang psikologi sosial ikut mewarnainya.

    Apakah perbedaan di antara Sosiologi dan Psikologi ??

    Kita sering berpikir bahwa yang namanya dunia psikologi adalah dunia yang

    berkaitan dengan persoalan perasaan, motivasi, kepribadian, dan yang sejenisnya.

    Dan kalau berpikir tentang sosiologi, secara umum cenderung memikirkan persoalan

    kemasyarakatan. Kajian utama psikologi adalah pada persoalan kepribadian, mental,

    perilaku, dan dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia sebagai individu.

    Sosiologi lebih mengabdikan kajiannya pada budaya dan struktur sosial yang

    keduanya mempengaruhi interaksi, perilaku, dan kepribadian. Kedua bidang ilmu

    tersebut bertemu di daerah yang dinamakan psikologi sosial . Dengan demikian para

    psikolog berwenang merambah bidang ini, demikian pula para sosiolog. Namun

    karena perbedaan latar belakang maka para psikolog akan menekankan pengaruh

    situasi sosial terhadap proses dasar psikologikal – persepsi kognisi emosi dan

    2

    Pertanyaan yang paling mendasar yang senantiasa menjadi kajian dalam psikologi

    sosial adalah : ” Bagaimana kita dapat menjelaskan pengaruh orang lain terhadap perilaku

    kita?’”. Misalnya di Prancis, para analis sosial sering mengajukan pertanyaan mengapa

    pada saat revolusi Prancis, perilaku orang menjadi cenderung emosional ketimbang

    rasional? Demikian juga di Jerman dan Amerika Serikat dilakukan studi tentang

    kehadiran orang lain dalam memacu prestasi seseorang . Misalnya ketika seorang anak

    belajar seorang diri dan belajar dalam kelompok, bisa menunjukan prestasi lebih baik

    dibandingkan ketika mereka belajar sendiri. Gordon Allport (1968) menjelaskan bahwa

    seorang boleh disebut sebagai psikolog sosial jika dia “berupaya memahami,

    menjelaskan, dan memprediksi bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individuindividu

    dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang

    dilihatnya, atau bahkan hanya dibayangkannya”

    Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan

    pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instinkinstink

    biologis – lalu dikenal dengan penjelasan “nature” - dan (2) perilaku bukan

    diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka -

    3

    dikenal dengan penjelasan “nurture”. Penjelasan “nature” dirumuskan oleh ilmuwan

    Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya

    dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang

    diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung

    percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada pandangan ini

    (instinktif).

    Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber

    perilaku sosial. Misalnya William James, seorang psikolog percaya bahwa walau instink

    merupakan hal yang mempengaruhi perilaku sosial, namun penjelasan utama cenderung

    ke arah kebiasaan - yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang

    kehidupan seseorang. Hal ini memunculkan “nurture explanation”. Tokoh lain yang juga

    seorang psikolog sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar

    muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah

    atau diubah oleh lingkungan – “situasi kita” – termasuk tentunya orang lain.

    Berbagai alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan tersebut kemudian

    memunculkan berbagai perspektif dalam psikologi sosial – seperangkat asumsi dasar

    tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa

    digunakan untuk memahami perilaku sosial. Ada empat perspektif, yaitu : perilaku

    (behavioral perspectives) , kognitif (cognitive perspectives), stuktural (structural

    perspectives), dan interaksionis (interactionist perspectives).

    Perspektif perilaku dan kognitif lebih banyak digunakan oleh para psikolog sosial

    yang berakar pada psikologi. Mereka sering menawarkan jawaban yang berbeda atas

    sebuah pertanyaan : “Seberapa besar perhatian yang seharusnya diberikan oleh para

    psikolog sosial pada kegiatan mental dalam upayanya memahami perilaku sosial?”.

    Perspektif perilaku menekankan, bahwa untuk dapat lebih memahami perilaku seseorang,

    seyogianya kita mengabaikan informasi tentang apa yang dipikirkan oleh seseorang.

    Lebih baik kita memfokuskan pada perilaku seseorang yang dapat diuji oleh pengamatan

    kita sendiri. Dengan mempertimbangkan proses mental seseorang, kita tidak terbantu

    memahami perilaku orang tersebut, karena seringkali proses mental tidak reliabel untuk

    memprediksi perilaku. Misalnya tidak semua orang yang berpikiran negatif tentang

    sesuatu, akan juga berperilaku negatif. Orang yang bersikap negatif terhadap bangsa A

    4

    misalnya, belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan bangsa A tersebut.

    Intinya pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan sesuatu yang bisa menjelaskan

    perilaku seseorang.

    Sebaliknya, perspektif kognitif menekankan pada pandangan bahwa kita tidak bisa

    memahami perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka. Manusia tidak

    menanggapi lingkungannya secara otomatis. Perilaku mereka tergantung pada bagaimana

    mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Jadi untuk memperoleh informasi yang

    bisa dipercaya maka proses mental seseorang merupakan hal utama yang bisa

    menjelaskan perilaku sosial seseorang.

    Perspektif struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial

    yang berasal dari disiplin sosiologi. Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah : “

    Sejauhmana kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi sosial ?”. Perspektif

    struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat dimengerti dengan sangat baik

    jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi

    terhadap harapan orang-orang lain. Seorang mahasiswa rajin belajar, karena masyarakat

    mengharapkan agar yang namanya mahasiswa senantiasa rajin belajar. Seorang ayah rajin

    bekerja mencari nafkah guna menghidupi keluarganya. Mengapa ? Karena masyarakat

    mengharapkan dia berperilaku seperti itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai

    “seorang ayah”. Perspektif interaksionis lebih menekankan bahwa manusia merupakan

    agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan mereka yang membangun

    harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama lainnya untuk membentuk

    interaksi dan harapannya. Untuk lebih jelas, di bawah ini diuraikan satu persatu keempat

    prespektif dalam psikologi sosial.

    1. Perspektif Perilaku (Behavioral Perspective)

    Pendekatan ini awalnya diperkenalkan oleh John B. Watson (1941, 1919).

    Pendekatan ini cukup banyak mendapat perhatian dalam psikologi di antara tahun 1920-

    an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan agar

    pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif dalam

    memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada

    pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi. Watson menolak informasi instinktif semacam itu,

    5

    yang menurutnya bersifat “mistik”, “mentalistik”, dan “subyektif”. Dalam psikologi

    obyektif maka fokusnya harus pada sesuatu yang “dapat diamati” (observable), yaitu

    pada “apa yang dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings)”. Dalam hal ini

    pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya bahwa

    proses mental dan juga perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan perilaku

    sosial.

    Para “behaviorist” memasukan perilaku ke dalam satu unit yang dinamakan

    “tanggapan” (responses), dan lingkungan ke dalam unit “rangsangan” (stimuli). Menurut

    penganut paham perilaku, satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu

    sama lainnya, dan menghasilkan satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah

    rangsangan ” seorang teman datang “, lalu memunculkan tanggapan misalnya, “tersenyum”.

    Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman yang datang kepadanya. Para

    behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan tanggapan dapat dihubungkan tanpa

    mengacu pada pertimbangan mental yang ada dalam diri seseorang. Jadi tidak terlalu

    mengejutkan jika para behaviorisme tersebut dikategorikan sebagai pihak yang

    menggunakan pendekatan “kotak hitam (black-box)” . Rangsangan masuk ke sebuah

    kotak (box) dan menghasilkan tanggapan. Mekanisme di dalam kotak hitam tadi -

    srtuktur internal atau proses mental yang mengolah rangsangan dan tanggapan – karena

    tidak dapat dilihat secara langsung (not directly observable), bukanlah bidang kajian para

    behavioris tradisional.

    Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974) membantu mengubah fokus behaviorisme

    melalui percobaan yang dinamakan “operant behavior” dan “reinforcement“. Yang

    dimaksud dengan “operant condition” adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu

    lingkungan dengan cara tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam

    lingkungan tersebut. Misalnya, jika kita tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi,

    lalu secara umum, akan menghasilkan senyuman yang datangnya dari orang lain tersebut.

    Dalam kasus ini, tersenyum kepada orang lain tersebut merupakan “operant behavior“.

    Yang dimaksud dengan “reinforcement” adalah proses di mana akibat atau perubahan

    yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa datang . Misalnya,

    jika kapan saja kita selalu tersenyum kepada orang asing (yang belum kita kenal

    sebelumnya), dan mereka tersenyum kembali kepada kita, maka muncul kemungkinan

    6

    bahwa jika di kemudian hari kita bertemu orang asing maka kita akan tersenyum. Perlu

    diketahui, reinforcement atau penguat, bisa bersifat positif dan negatif. Contoh di atas

    merupakan penguat positif. Contoh penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita

    bertemu dengan orang asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau

    bahkan menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang asing

    kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja).

    Dalam pendekatan perilaku terdapat teori-teori yang mencoba menjelaskan secara

    lebih mendalam mengapa fenomena sosial yang diutarakan dalam pendekatan perilaku

    bisa terjadi. Beberapa teori antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning

    Theory) dan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).

    a. Teori Pembelajaran Sosial.

    Di tahun 1941, dua orang psikolog – Neil Miller dan John Dollard – dalam laporan

    hasil percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak

    disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut

    mengindikasikan bahwa kita belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan

    tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink.

    Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan “social learning ” -

    “pembelajaran sosial”. Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita

    merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan

    memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar

    mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka “para individu harus

    dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa

    yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.”,

    demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.

    Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar

    meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen.

    Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan

    orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan

    ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari

    (learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya,

    7

    anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang

    sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku “baru” melalui

    pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain

    tertentu, karena kita mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain

    tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di

    masa lampau.

    Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963),

    mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui

    peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui

    peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita

    bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan

    akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut

    “observational learning” – pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan

    Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai

    perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya

    melalui film atau bahkan film karton.

    Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial seyogianya

    diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang benarbenar

    melulu menggunakan pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan pertimbangan

    proses mental, perlu dipikirkan ulang. Menurut versi Bandura, maka teori pembelajaran

    sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan

    melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara

    pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku

    kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan

    observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.

    b. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)

    Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah

    psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961),

    Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke

    dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh

    8

    imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan

    suatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial, teori pertukaran sosial

    pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling

    mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang

    lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling

    mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan

    (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui

    adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan

    keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas

    pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya,

    pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akan

    langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku

    seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi

    dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak

    ditampilkan.

    Berdasarkan keyakinan tersebut Homans dalam bukunya “Elementary Forms of Social

    Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua

    tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu

    memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu

    tadi “. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan

    berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi

    tersebut berbunyi : “Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin

    besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip

    dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” – aturan yang mengatakan bahwa

    sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan

    dengan prinsip tersebut berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang

    lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan

    pengorbanan yang telah dikeluarkannya – makin tingghi pengorbanan, makin tinggi

    imbalannya – dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan

    investasinya - makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”.

    9

    Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial

    seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses

    mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan

    hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan.

    2. Perspektif Kognitif (The Cognitive Perspective)

    Kita telah memberikan indikasi bahwa kebiasaan (habit) merupakan penjelasan

    alternatif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial seseorang di samping

    instink (instinct). Namun beberapa analis sosial percaya bahwa kalau hanya kedua hal

    tersebut (kebiasaan dan instink) yang dijadikan dasar, maka dipandang terlampau ekstrem

    - karena mengabaikan kegiatan mental manusia.

    Seorang psikolog James Baldwin (1897) menyatakan bahwa paling sedikit ada dua

    bentuk peniruan, satu didasarkan pada kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan pada

    wawasan kita atas diri kita sendiri dan atas orang lain yang perilakunya kita tiru. Walau

    dengan konsep yang berbeda seorang sosiolog Charles Cooley (1902) sepaham dengan

    pandangan Baldwin. Keduanya memfokuskan perhatian mereka kepada perilaku sosial

    yang melibatkan proses mental atau kognitif .

    Kemudian banyak para psikolog sosial menggunakan konsep sikap (attitude) untuk

    memahami proses mental atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan Florian

    Znaniecki mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap, yang diartikannya

    sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan aktual dan potensial individu

    dalam dunia sosial”. Sikap merupakan predisposisi perilaku. Beberapa teori yang

    melandasi perpektif ini antara lain adalah Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi

    dan Konsistensi Sikap (Concistency Attitude and Attribution Theory), dan Teori Kognisi

    Kontemporer.

    a. Teori Medan (Field Theory)

    Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935,1936) mengkaji perilaku sosial melalui

    pendekatan konsep “medan”/”field” atau “ruang kehidupan” – life space. Untuk

    memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog

    memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (instink dan kebiasaan), bebas -

    10

    lepas dari pengaruh situasi di mana individu melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang

    sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan tentang perilaku yang tidak

    memperhitungkan faktor situasi, tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa

    psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun,

    kesemuanya itu merupakan fungsi dari “ruang kehidupan”- individu dan lingkungan

    dipandang sebagai sebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya

    “ruang kehidupan” merupakan juga merupakan determinan bagi tindakan, impian,

    harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknakan “ruang kehidupan” sebagai seluruh

    peristiwa (masa lampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam

    satu situasi tertentu.

    Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan

    konteks – lingkungan di mana perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan

    berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu

    bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep “gestalt”

    dalam psikologi yang memandang bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak

    bisa terlepas satu sama lainnya. Misalnya, kalau kita melihat bangunan, kita tidak

    melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita

    mempelajari perilaku individu, kita tidak bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari

    konteks di mana individu tersebut berada.

    b. Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap ( Attitude Consistency and Attribution

    Theory)

    Fritz Heider (1946, 1958), seorang psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita

    cenderung mengorganisasikan sikap kita, sehingga tidak menimbulkan konflik.

    Contohnya, jika kita setuju pada hak seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga

    orang-orang lain, maka sikap kita tersebut konsisten atau seimbang (balance). Namun

    jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga orang-orang di

    sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi tidak seimbang

    (imbalance). Akibatnya kita merasa tertekan (stress), kurang nyaman, dan kemudian kita

    akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan orang-orang di sekitar kita,

    misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak sepenuhnya setuju pada aborsi.

    11

    Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi lebih nyaman. Intinya sikap kita

    senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang lain agar terjadi keseimbangan karena

    dalam situasi itu, kita menjadi lebih nyaman.

    Heider juga menyatakan bahwa kita mengorganisir pikiran-pikiran kita dalam

    kerangka “sebab dan akibat”. Agar supaya bisa meneruskan kegiatan kita dan

    mencocokannya dengan orang-orang di sekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk

    memutuskan penyebab perilaku kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep

    “causal attribution” - proses penjelasan tentang penyebab suatu perilaku. Mengapa Tono

    pindah ke kota lain ?, Mengapa Ari keluar dari sekolah ?. Kita bisa menjelaskan perilaku

    sosial dari Tono dan Ari jika kita mengetahui penyebabnya. Dalam kehidupan seharihari,

    kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal

    (internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau

    personal, dan penyebab external (external causality) terdapat dalam lingkungan atau

    situasi.

    c. Teori Kognitif Kontemporer

    Dalam tahun 1980-an, konsep kognisi, sebagian besarnya mewarnai konsep sikap.

    Istilah “kognisi” digunakan untuk menunjukan adanya proses mental dalam diri

    seseorang sebelum melakukan tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang manusia

    sebagai agen yang secara aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan

    informasi. Kita secara aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah, dan

    mengambil keputusan. Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui

    struktur kognitif yang diberi istilah “schema” (Markus dan Zajonc, 1985 ; Morgan dan

    Schwalbe, 1990; Fiske and Taylor, 1991). Struktur tersebut berperan sebagai kerangka

    yang dapat menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial yang kita miliki. Jadi

    struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan lingkungan, dan

    membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan yang kita miliki

    diasumsikan terdiri atas struktur pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya.

    Intinya, teori-teori kognitif memusatkan pada bagaiamana kita memproses informasi

    yang datangnya dari lingkungan ke dalam struktur mental kita Teori-teori kognitif

    percaya bahwa kita tidak bisa memahami perilaku sosial tanpa memperoleh informasi

    12

    tentang proses mental yang bisa dipercaya, karena informasi tentang hal yang obyektif,

    lingkungan eksternal belum mencukupi.

    3. Perspektif Struktural

    Telah kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam

    hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang

    dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3)

    juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik

    mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat dengan individu. William James

    dan John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga

    mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok – yaitu adatistiadat

    masyarakat – atau strutur sosial . Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri

    atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur

    sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi

    berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami

    kehidupan sosial yang telah terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak struktur

    sosial atas “diri” (self) – perasaan kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat

    mempengaruhi diri – self.

    Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat

    mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individuindividu

    ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu

    siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki,

    perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita tergantung pada peran yang kita

    lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang melandasi persektif strukturan adalah

    Teori Peran (Role Theory), Teori Pernyataan – Harapan (Expectation-States Theory), dan

    Posmodernisme (Postmodernism)

    a. Teori Peran (Role Theory)

    Walau Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya

    dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah

    mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam

    13

    terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh

    budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama

    yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini,

    seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang

    tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai

    dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah

    seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien

    yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial

    Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas

    penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan

    bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk

    mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam

    masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi

    murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia

    delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada

    usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda. Usia

    sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas

    tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age

    grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanakkanak,

    masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai

    bermacam-macam pembagian lagi.

    b. Teori Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)

    Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Berger dan rekan-rekannya di Universitas

    Stanford pada tahun 1972. Jika pada teori peran lebih mengkaji pada skala makro, yaitu

    peran yang ditetapkan oleh masyarakat, maka pada teori ini berfokus pada kelompok

    kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini, anggota-anggota kelompok membentuk

    harapan-harapan atas dirinya sendiri dan diri anggota lain, sesuai dengan tugas-tugas

    yang relevan dengan kemampuan mereka, dan harapan-harapan tersebut mempengaruhi

    gaya interaksi di antara anggota-anggota kelompok tadi. Sudah tentu atribut yang paling

    berpengaruh terhadap munculnya kinerja yang diharapkan adalah yang berkaitan dengan

    14

    ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota kelompok dituntut memiliki motivasi dan

    ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang

    diharapkan bisa ditampilkan sebaik mungkin.

    Bagaimanapun juga, kita sering kekurangan informasi tentang kemampuan yang

    berkaitan dengan tugas yang relevan, dan bahkan ketika kita memiliki informasi, yang

    muncul adalah bahwa kita juga harus mendasarkan harapan kita pada atribut pribadi dan

    kelompok seperti : jenis kelamin, ras, dan usia. Dalam beberapa masyarakat tertentu,

    beberapa atribut pribadi dinilai lebih penting daripada atribut lainnya. Untuk menjadi

    pemimpin, jenis kelamin kadang lebih diprioritaskan ketimbang kemampuan. Di

    Indonesia, untuk menjadi presiden, ras merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi.

    Berger menyebut gejala tersebut sebagai “difusi karakteristik status”; karakteristik status

    mempengaruhi harapan kelompok kerja. Status laki-laki lebih tinggi dibanding

    perempuan dalam soal menjadi pemimpin, warganegara pribumi asli lebih diberi tempat

    menduduki jabatan presiden. Difusi karakteristik status tersebut ( jenis kelamin, ras, usia,

    dan lainnya) dengan demikian, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap interaksi sosial.

    c. Posmodernisme (Postmodernism)

    Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku

    sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa

    psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme

    atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia

    modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat

    modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya,

    konsep diri, atau jati diri. (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991) .

    Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk

    kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra

    diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan..

    Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul

    bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi

    pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau

    modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang

    15

    bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa

    dihasilkannya.

    Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga

    sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang

    mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup.

    Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh seberapa besar

    kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “ pilihan

    kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan

    seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita

    dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap

    musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh

    musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap”

    menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap”, dia bukan

    remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di

    sekelilingnya , bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya

    lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.

    Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi

    perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi

    perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial – pola interaksi yang

    sedang terjadi dalam masyarakat – sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga

    penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang

    pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur

    sosial yang menekannya.

    4. Perspektif Interaksionis (Interactionist Perspective)

    Seorang sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934) yang mengajar

    psiokologi sosial pada departemen filsafat Universitas Chicago, mengembangkan teori

    ini. Mead percaya bahwa keanggotaan kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan

    perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Dalam waktu yang bersamaan,

    dia juga mengakui bahwa individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu

    kelompok, mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang

    16

    juga berbeda. Misalnya, perilaku pemimpin berbeda dengan pengikutnya. Dalam kasus

    ini, Mead tampak juga seorang strukturis. Namun dia juga menentang pandangan bahwa

    perilaku kita melulu dipengaruhi oleh lingkungan sosial atau struktur sosial. Sebaliknya

    Mead percaya bahwa kita sebagai bagian dari lingkungan sosial tersebut juga telah

    membantu menciptakan lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa

    walau kita sadar akan adanya sikap bersama dalam suatu kelompok/masyarakat, namun

    hal tersebut tidaklah berarti bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya.

    Mead juga tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa untuk bisa

    memahami perilaku sosial, maka yang harus dikaji adalah hanya aspek eksternal

    (perilaku yang teramati) saja. Dia menyarankan agar aspek internal (mental) sama

    pentingnya dengan aspek eksternal untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek

    internal dan eksternal atas dua atau lebih individu yang berinteraksi, maka dia menyebut

    aliran perilakunya dengan nama “social behaviorism”. Dalam perspektif interaksionis ada

    beberapa teori yang layak untuk dibahas yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic

    Interaction Theory), dan Teori Identitas (Identity Theory).

    a. Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory)

    Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami

    perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia

    lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu

    dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam

    terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang

    terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti

    penting” ( a significant symbol”). Kata-kata dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik,

    bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang

    bermakna.

    Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi

    mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang

    dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian

    isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya

    17

    dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran,

    perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.

    Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan

    apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan

    bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin

    terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya

    yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara

    mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang

    menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak

    lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan

    merencanakan cara tindakan mereka.

    Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang :

    orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki

    tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai

    dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan

    perilaku orang lain.

    b. Teori Identitas (Identity Theory)

    Teori Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan

    perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur

    sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai

    dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial

    membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif

    struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik terhadap teori

    peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas individu.

    Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri/self

    (dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi

    dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda

    dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki

    banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk

    18

    interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku

    pihak yang berinteraksi dengan kita.

    Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu sebagai pihak

    yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun harapan-harapan sosial.

    Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun jika

    hanya struktur sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal

    tersebut kurang memadai.

    RANGKUMAN

    Telah kita bahas empat perspektif dalam psikologi sosial. Yang dimaksud dengan

    perspektif adalah asumsi-asumsi dasar yang paling banyak sumbangannya kepada

    pendekatan psikologi sosial. Perspektif perilaku menyatakan bahwa perilaku sosial kita

    paling baik dijelaskan melalui perilaku yang secara langsung dapat diamati dan

    lingkungan yang menyebabkan perilaku kita berubah. Perspektif kognitif menjelaskan

    perilaku sosial kita dengan cara memusatkan pada bagaimana kita menyusun mental

    (pikiran, perasaan) dan memproses informasi yang datangnya dari lingkungan . Kedua

    perspektif tersebut banyak dikemukakan oleh para psikolog sosial yang berlatar belakang

    psikologi.

    Di samping kedua perspektif di atas, ada dua perspektif lain yang sebagian besarnya

    diutarakan oleh para psikolog sosial yang berlatas belakang sosiologi. Perspektif

    struktural memusatkan perhatian pada proses sosialisasi, yaitu proses di mana perilaku

    kita dibentuk oleh peran yang beraneka ragam dan selalu berubah, yang dirancang oleh

    masyarakat kita. Perspektif interaksionis memusatkan perhatiannya pada proses

    interaksi yang mempengaruhi perilaku sosial kita. Perbedaan utama di antara kedua

    perspektif terakhir tadi adalah pada pihak mana yang berpengaruh paling besar terhadap

    pembentukan perilaku. Kaum strukturalis cenderung meletakan struktur sosial (makro)

    sebagai determinan perilaku sosial individu, sedangkan kaum interaksionis lebih

    memandang individu (mikro) merupakan agen yang aktif dalam membentuk perilakunya

    sendiri.

    Karena banyaknya teori yang dikemukakan untuk menjelaskan perilaku sosial maka

    seringkali muncul pertanyaan : “Teori mana yang paling benar ?” atau “teori mana yang

    19

    terbaik?” . Hampir seluruh psikolog sosial akan menjawab bahwa tidak ada teori yang

    salah atau yang paling baik, atau paling jelek. Setiap teori mempunyai keterbatasan dalam

    aplikasinya. Misalnya dalam mempelajari agresi (salah satu bentuk perilaku sosial), para

    behavioris bisa memusatkan pada pengalaman belajar yang mendorong terjadinya

    perilaku agresif – pada bagaimana orang tua, guru, dan pihak-pihak lain yang memberi

    perlakuan positif pada perilaku agresif. Bagi yang tertarik pada perspektif kognitif maka

    obyek kajiannya adalah pada bagaimana seseorang mempersepsi, interpretasi, dan

    berpikir tentang perilaku agresif. Seorang psikolog sosial yang ingin menggunakan teori

    medan akan mengkaji perilaku agresif dengan cara melihat hubungan antara karakteristik

    individu dengan situasi di mana perilaku agresif tersebut ditampilkan. Para teoritisi

    pertukaran sosial bisa memusatkan pada adanya imbalan sosial terhadap individu yang

    menampilkan perilaku agresif. Jika memakai kacamata teori peran, perilaku agresif atau

    tidak agresif ditampilkan oleh seseorang karena harapan-harapan sosial yang melekat

    pada posisi sosialnya harus dipenuhi.

    Demikianlah, setiap teori bisa digunakan untuk menjadi pendekatan yang efektif tidak

    untuk semua aspek perilaku. Teori peran lebih efektif untuk menjelaskan perilaku X

    dibanding dengan teori yang berperspektif kognitif, misalnya.

    Buku Acuan :

    Theories of Social Psychology – Marvin E. Shaw / Philip R. Costanzo, Second Edition,

    1985, McGraw-Hill, Inc.

    Thinking Sociologically, Sheldon Goldenberg, 1987, Wadsworth, Inc.

    Social Psychology, James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, James Vander Zanden, Fifth

    Edition, 1994, McGraw-Hill, Inc.

    Sociology, Concepts and Uses , Jonathan H. Tuner, 1994. McGraw-Hill Inc.

    20

    Social Psychology, Kay Deaux, Lawrence S. Wrightsman, Fifth Edition, 1988,

    Wadsworth, Inc.Source URL: https://pokbongkoh.blogspot.com/2009/11/
    Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection