- Sebagai pelanjutan atau pengembangan dari bidang kajian sastra dan linguistik (Odin, 1990:25-28).
- Secara teoretis, sinemasastra adalahbidang kajian sinema yang berbasiskanpada sastra masih bertumpu pada aspekkomparatisme teks dengan visualitassinematografi (Metz, 1977: 117-118).
- Sasaran kajian sinema naratif adalahmengangkat majas-majas makna(hubungan antara keseluruhan penanda dengan keseluruhan tinanda) yangmenjadi sifat khas sinema dan penelitianseperti ini adalah penelitian semiologi tingkat pertama (berbasiskan linguistik struktural) yang mengutamakan analisis sintagmatik pada tingkat kemungkinan perbedaan modelnya dalam hubungannya dengan pengoperasian alur cerita (Madiyant, 1998:70).
- Penelitian yang dikerjakan oleh Jacques Aumont, dkk (Esthétique du film, ‘Estetika Film’, 1983) menolak pendapat bahwa teori film hanya mungkin diberangkatkan dari film itu sendiri sebab teori-teori dari luar film sekedar menjelaskan aspek-aspek skunder film yang pada hakikatnya tidak esensial. Aumont berteori bahwa film adalah suatu tempat yang mempertemukan pelbagai unsur yang terkadang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan sinematografi. Untuk mendekati sinema, Aumont mengajukan teori bahwa teori sinema lebih sering diasimilasikan dengan pendekatan estetik dan dari pemahaman ini Aumont menyusun teori estetika sinema melalui disiplin-disiplin linguistik, psikoanalisis, ekonomi politik, ideologi, ikonologi, dst. Dengan teorinya ini Aumont ingin menggapai sinema sebagai bangunan logika, konstruksi psikologi persepsi, dan teori seni.
- Penelitian Roger Odin (Cinéma et production de sens ‘Sinema dan Produksi Makna’, 1990) mencoba lebih fokus lagi dengan membasiskan film sebagai produk bahasa. Dengan proposisinya itu Odin membangun pendekatan disipliner objek sinema melalui pendekatan semio-linguistique. Pendekatan Odin bermaksud mengurai mekanisme produksi makna dan memahamkan bagai film mungkin dipahami.
- Christian Metz (Le signifiant imaginaire ‘Penanda Imajiner’, 1977) memandang hubungan antara penonton dengan sinema cukup kompleks karena institusi film berpokok pada dua sistem: film dan teks. Ketika film diciptakan, aktorlah yang menguasai film, tetapi ketika film diputar sebagai produk masal, penontonlah yang hadir di dalam aktor. Dengan demikian, sinema sebagai sebuah bidang kajian agaknya lebih mementingkan kehadiran penonton sebagai ‘pembaca’, sebagai kehadiran yang menghadirkan dan memberi makna pada film.
- Landasan Teori Sebagai media rekam, film menyajikan gambar figuratif dalam bentuk objek-objek fotografis yang dekat dengan kehidupan manusia. Gambar gerak figuratif, secara semiotik, dapat disebut tanda tingkat pertama, sedangkan tanda tingkat keduanya ada pada gerakan gambar itu sendiri (Garsies, 1993:15-16). Akan tetapi, pernyataan tersebut tidak dapat dijadikan suatu prioritas suatu langkah awal, terutama yang berkaitan dengan strategi naratif. Untuk itu, diperlukan pilihan dengan cermat apa yang menjadi prioritas secara semiotik pada dataran naratif. Pluralitas material yang terdapat pada sinema naratif, pada hakikatnya, bersifat heterogen dan mampu memproduksi pelbagai tanda yang berbeda. Tanda-tanda itu tersebar dalam 165 Humaniora Volume XV, No. 2/2003 Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual tiga kelas utama: tanda ikonik, tanda linguistik, dan tanda musikal (Aumont, 1983: 65-66).
- Pembahasan
- Paramasastra Sinema: Ketika sinema sebagai suatu kreasi artistik mulai diperkenalkan di Prancis, selepas PD II, ada usaha-usaha untuk membangun paramasastra sinema (grammaires du cinéma) dalam rangka memahami sinema seni yang bergantung pada bahasa. Pendekatan sinema dalam model itu sangat menekankan upayanya pada pembentukan paramasastra (estetika) normatif. Melalui pendekatan estetika normatif tersebut, bahasa sinema tidak dioposisikan dengan sistem bahasa, tetapi justru beroposisi dengan sastra. Usaha ini, untuk sementara, dipandang masih menganutsuatu logika berpikir yang lazim. Artinya, paramasastra sinema tersebut dalam faktanya selalu berakhir pada rumusan bagaimana membuat film yang baik dan benar. Pendekatan model ini membekali peminat sinema (dan sineas) sederet panjang daftar ketidakbakuan, kekeliruan yang harus dijauhi, dan kesalahan-kesalahan fatal yang tidak boleh dilakukan—agar sutradara jangan terlalu sembrono mencetak efek-efek stilistika khusus.
- Pintu Pertama Sinema: SemiopragmatikKekeliruan kaum tradisionalis dalammendekati sinema tidak lain sebetulnyabagian dari upayanya membangun kebenaranseni penayangan suatu zaman. Kebenaran fakta ini terlihat dari definisi yangdisusun Bataille (1978): ”Paramasastrasinema mempelajari kaidah-kaidah senipenayangan gagasan yang baik dan benar dalam rangkaian gambar animasi—yangmembentuk film”.Kebenaran yang ingin dibangun adalah kebenaran yang secara gramatikal pengeliruanrealitas riil sebab sebelumnya telah disepakati bahwa bahasa sinema bukanlah bahasa verbal. Sebagai perangkat ekspresi, bahasa sinema agaknya lebih tepat disebut sebagai bahasa universal. Sedemikian universalnya sehingga kata-kata tidak lagi mampu membungkus kebenaran universal dengan sewenang-wenang. Membaca keris dalam salah satu adegan film Bulan Tertusuk Ilalang karya Garin Nugroho, resepsi yang amat mungkin dirasakan adalah menelanjangi estetika normatif kultur kekerasan Jawa. Demikian juga dalam membaca Bukan suPermen, komedi televisual Deddy Mizwar, resepsi atas kebebasan sineas dalam komedi berniat menertawakan kesaktian para kyai. Pertanyaan yang kemudian muncul: dari mana sinema bisa dipahami sebagai bahasa? Ada sejumlah pintu yang mungkin dapat dimasuki. Pintu pertama yang mungkin dimasukiadalah semiopragmatik (semio-linguistik) versi Roger Odin, yakni versi yang mencoba memandang atau memahami film secara semiologis dengan pendekatan kebahasaan. Sebagai pendekatan, semiopragmatik cukup bergantung pada linguistik struktural model Saussure. Dalam tata kerjanya, pendekatan ini tidak lagi membicarakan penggunaan bahasa (sinema), tetapi justru mencoba memahami mekanisme bahasa (sinema). Dengan kata lain, memahami sinema melalui semiopragmatik mengimplikasikanbahwa segala sesuatu yang amat penting dalam sinema harus diuji terlebih dulu kepentingannya. Jika sesuatu yang penting secara sinematografis, tetapi tidak mengungkap relevansi semiolinguistik, hal itu akan disisihkan, misalnya permasalahan ekonomi (sinema sebagai industri), permasalahan administrasi (bagaimana berfungsinya organisasi-organisasi besar yang menguasai perfilman), permasalahan teknologi (konsepsi kamera, proyektor, film negatifnya), permasalahan sosiologi publiknya (bagaimana pengaruh film terhadap penontonnya, siapa sajakah penontonnya, dan seterusnya. Metz menegaskan bahwa semiopragmatik sinema mencoba membatasi objeknya sebatas pada keseluruhan film. Dalam pengertian ini, semiopragmatik membangun 166 Humaniora Volume XV, No. 2/2003 Muslikh Madiyant sebuah dikotomi fakta, yakni fakta sinematografis dan fakta filmis. Pada penyebutan fakta filmis telah dikenal sebelumnya sejumlah pendekatan, misalnya pendekatan sosiologis (film sebagai refleksi atau produk masyarakatnya), historis (sejarah suatu genre atau penelitian evolutifkarya-karya seorang sineas, atau bahkan analisis film-film periode historis tertentu), psikoanalisis (film sebagai konstruksi fantasme), estetika (film sebagai karya seni), dan seterusnya. Posisi yang dipilih semiopragmatik dalam pemahaman ini adalah dimensi kebahasaan fakta-fakta filmis. Dalam pilihan tersebut semiopragmatik harus menghadapi semacam percabangan objek. Pertama, penelitian yang mencoba memandang film sebagai karya senyatanya dalam pautannya untuk mempertegas singularitas dan totalitas penandaannya melahirkan suatu cabang yang dinamai analisis teks film. Kedua, penelitian yang mementingkan perspektif teori dalam upayanya untuk menjelaskan mekanisme-mekanisme produksi makna yang merupakan totalitas film melahirkan cabang berikutnya yang dinamai analisis bahasa sinema. Perbedaan yang mungkin diterka dari dua pendekatan di atas terdapat pada perbedaan dataran alamnya. Meskipun kelak perbedaan ini akan melahirkan banyak permasalahan, meskipun pula perbedaan itu akan memunculkan ragam-ragam model eksplikatif, agaknya analisis bahasa relatif lebih berpeluang. Dalih yang dapat diangkat dari pernyataan itu, analisis bahasa sinemamerupakan suatu kesungguhan upaya untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fungsifungsi (proses) suatu produksi makna pembentukkarya. Analisis tekstual film yang mendasarkan diri pada kerja interpretatif dihadang semacam kendala kriterium. Maksudnya, kriterium tekstual film belum ditemukan. Satu-satunya pintu kriterium yang mungkin dimasuki adalah kriterium internal yang, diakui atau tidak, memiliki suatu konsistensi validitas kriterium, yakni koherensif (analisisnya diharapkan tidak melawan asumsiasumsinya) dan ketuntasannya (memperhitungkan totalitas unsur penanda teks). Hanya saja, kriterium terakhir ini cenderung menitik pada aspek horisonnya, bukannyapada aspek objektifnya. Berdasarkan fakta di atas, satu-satunya kriterium evaluasi analisis tekstual adalah produktivitasnya. Analisis tekstual sebuah film hanya akan memiliki raison-d’êtrenya jika—dalam hal ini pembacaan filmnya berada pada visi penonton—memberi peulang suatu produksi pengetahuan riil. Hal itu bisa dicapai dengan menemukan sistem penandaan baru (analisisnya disetarakan dengan model pembacaan penonton, tetapi lebih variatif), atau pula dengan memahami semaksimal mungkin aspek-aspek tertentu sistem film. Analisis demikian kelak menjadi suatu metapembacaan yang mencoba mengangkat proses produksi makna dan situasi batin. Kedua sasaran tujuan ini tidak dapat dikatakan eksklusif karena keduanya mampu membentuk analisis dengan validitas memadai jika keduanya dipadukan. Masalah yang akan muncul dalam kasus analisis tekstual film bukan lagi pada perdebatan ilmiah dan tidak ilmiah, tetapi pada daya retorikanya, pada perangkat pemahaman sebuah teks dan pada kapasitas yang mampu menciptakan secara intersubjektif pengontrolan wacana pada teks yang dimanfaatkan sebagai sumber data (Eco, 1988:11). Antara analisis bahasa sinematografi dan analisis teks memang dipisahkan oleh pendekatan masing-masing dalam rangka membangun ambisi ilmiahnya karena telah dipahami bahwa derajat ilmiah antarilmu di luar semiologi tidaklah sama. Terlebih lagi jika ilmu tersebut dalam kinerjanya menjalankan kegiatan interpretasi.
- Prinsip Penandaan Kode Sinema:Kode dalam pemahaman ini adalah sejumlah konfigurasi penanda yang berpautan langsung dengan suatu tipe (materi) ekspresinya. Pada pengertian ini terbetik suatu gagasan bahwa bahasa sinema adalah sebuah kode. Ringkasnya, penelitian tentang bahasa sinema adalah penelitian kode-kode yang mengintervensi bahasa. 167 Humaniora Volume XV, No. 2/2003 Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual Untuk memahaminya, terlebih dulu harus ditemukan prinsip-prinsip relevansinya dengan analisis bahasa dalam terminologi kode-kode. Roger Odin menawarkan sejumlah prinsip seperti berikut. Prinsip I : tidak mencampuradukkan pendekatan sistematik dengan pendekatan estetik (normatif). Prinsip II: tidak mencampuradukkan kode dengan sistem tekstual. Penelitian sistem tekstual bertautan dengan analisis tekstual (pesan-pesan film), penelitian kode-kode bertautan dengan analisis bahasa sinema. Prinsip III: semua bahasa harus dideskripsikan sebagai kombinasi kode-kode. Prinsip IV: kode-kode tidak tersedia sebelum analisis; analisis didahului oleh satuan-satuan bentukan yang bukan satuan-satuan teramati. Prinsip V: konstruksi kode-kode harus diadaptasikan pada relevansi penelitian. Kelima prinsip relevansi kode sinema tersebut di atas, secara implisit mempertaruhkan daya intuitif yang dimiliki penonton dalam hal fungsi-fungsi bahasa sinema. Namun,anehnya, justru intuisi yang selama ini membongkar mekanisme produksi suatu pengecohan (makna)—dan inilah, jika mau diakui, salah satu sasaran dan daya tarik penelitian bidang-bidang semiologi. Penelitian teks dan resepsinya dalam model Roger Odin—bagaimana bahasa menandai, memproduksi makna dan membentuk perangkat untuk mempengaruhi orang lain—sejatinya memang suatu pragmatisme. Isme tersebut tidak meletakkan penonton/ pembaca sebagai penonton/pembaca riil, tetapi sebagai institusi yang berperan penting dalam menghadirkan film sebagai sinema. Peluang yang mungkin dipetik dari semiopragmatik Odin, menurut persepi peneliti, adalah dimungkinkannya pengembangan pragmatik pada materi ekspresi lain.
163 Humaniora Volume XV, No. 2/2003
Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual
* Hasil penelitian dengan Dana Masyarakat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada,
2002
** Doctorandus, Magister Humaniora, Staff Pengajar Jurusan Sastra Prancis, Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
SINEMASASTRA: MENCARI BAHASA
DI DALAM TEKS VISUAL*
Muslikh Madiyant**
1. Pengantar
ajian sastra di Indonesia selama tiga dasawarsa belakangan sudah mencakup pengembangan teori, kritik, dan sejarah. Pada perkembangan ini, kajian sastra di negeri kita belum menaruh perhatian secara memadai pada bidang penelitian yang bersifat lebih khusus dan sistematis, yakni sastra bandingan (komparatisme). Kenyataan ini dapat dimengerti jika disadari bahwa untuk memasuki bidang komparatisme dituntut sejumlah perangkat dasar yang cukup memadai pula. Dia harus seorang sejarawan sastra transnasional; dia harus memiliki informasi sastra asing secara memadai; memiliki pengetahuan secara luas ekspresiekspresi seni di luar sastra, memiliki
kemampuan membaca teks atau ekspresi tidak dalam bahasa ibunya (Madiyant, 1996:16-18). Kaitan pernyataan di atas dengan perubahan nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya memiliki relevansi signifikan, dalam arti di lingkungan wacana pengetahuan baru ini amat mungkin dikembangkan bidang-bidang kajian yang baru yang selama ini terabaikan. Data dan fakta dapat berbicara dalam hal ini. Selama tiga tahun (enam semester) peneliti menyampaikan kuliah ‘sinemasastra’ pada tiga angkatan mahasiswa Sastra Roman, sambutan yang diperoleh cukup signifikan. Dari tiga angkatan ini telah dihasilkan dua skripsi bertopik sinemasastra. Sambutan tersebut dapat dijadikan indikator terterimanya bidang kajian baru di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya. Faktor-faktor terterimanya kajian sinemasastra karena bidang ini meliputi beberapa aspek seperti berikut.
Dari uraian-uraian di atas terdapat beberapa ancangan pemikiran yang teridentifikasi antara lain: (a) seberapa jauh peluang sinemasastra menjadi kajian di lingkup ilmu-ilmu humaniora, dan, (b) seberapa jauh ilmu-ilmu humaniora memberi dukungan ilmiah terhadap bidang kajian sinema yang berbasiskan sastra. 164 Humaniora Volume XV, No. 2/2003 Muslikh Madiyant Pengembangan kajian sinema yang berbasiskan sastra di perguruan tinggi kurang diperhitungkan kepantasannya sebagai bidang baru yang memberi angin segar bagi peragaman studi-studi ilmu budaya. Hal ini dapat terjadi oleh karena para peneliti sebelumnya lebih melihat sinema sebagai simbol budaya yang gagal mewakili esensi permasalahan-permasalahan pembangunan (a), atau melihat sinema sebagai sekedar simbol hegemoni suatu kebudayaan instan (b), dan yang tak kalah penting mendudukkan sinema semata sebagai produk massal yang gagal merengkuh penontonnya di tengahtengah kemajemukan khalayaknya (c). Pengembangan kajian sinema berbasiskan sastra, dalam tulisan ini, diyakini memiliki harapan besar dalam mengungkap fungsi dan sistem tanda seni pada ekspresi sinematografis.
3. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang sinema Indonesia yang berwujud teori/analisis skripsi, tesis, makalah, artikel, laporan penelitian, dan sebagainya tidak disangsikan jumlahnya. Dari sekian penelitian tersebut yang berkaitan dengan penelitian ini adalah seperti berikut:
upaya membangun bahasa sinematografi.
Termasuk dalam upaya ini adalah
menunjukkan mekanisme-mekanisme
produksi makna dan memahami film
untuk dapat dipahami.
Secara gamblang dapat dikatakan
bahwa semiolinguistik adalah cabang dari
semiologi. Sebagai istilah yang terlanjur
dikenal, definisi semiologi yang dipahamkan
dalam penelitian ini adalah ilmu yang meneliti
totalitas tanda (Barthes, 1957).
Pilihan dasar teori tersebut merupakan
suatu keputusan langkah karena semiologi
bukanlah satu dan tidak pula hanya satusatunya.
Dengan kata lain, membicarakan
semiologi menuntut suatu penyikapan. Pada
batas-batas tertentu, pengertian tanda dalam
semiologi kini sudah mengalami semacam
korosi dan pada batas-batas tertentu lainnya,
kata meneliti menyembunyikan keragaman
objek penelitian dan metode yang rumit.
Meskipun demikian, sebelumnya harus
sama disepakati bahwa tradisi semiologi
(atau semiotik) memiliki dua tokoh besar. Di
Eropa kita mengenal Ferdinand de Saussure
(1857-1913) dan di Amerika kita mengenal
Charles Sanders Pierce (1839-1914).
Menurut Saussure (1988:33), semiologi
merupakan suatu perluasan dari linguistik:
Bahasa merupakan sistem tanda
yang mengantarkan gagasan-gagasan
dan sistem tersebut dapat ditilik pada
tulisan, alfabet, ritus-ritus simbolik,
bentuk-bentuk kesantunan, sinyalsinyal
militer, dsb. Dalam posisi ini,
bahasa merupakan pokok terpenting
dalam sistem-sistem tersebut. Maka
dengan sendirinya kita dapat menerima
kehadiran ilmu yang meneliti kehidupan
tanda-tanda di tengah-tengah masyarakat.
Ilmu ini akan menjadi bagian dari
psikologi umum dan dinamai semiologi
(semion, tanda—Yunani). Ilmu ini akan
mengajarkan kepada kita terdiri dari apa
sajakah tanda-tanda itu dan kaidahkaidah
apakah yang dimainkannya.
Karena ilmu itu belum lagi ada, kita
tidak bisa mengatakannya seperti apa;
tetapi, ilmu itu berhak untuk mengada
karena tempatnya sudah dipersiapkan
sebelumnya.
Sedangkan bagi Pierce (1978:120),
semiotika merupakan logika:
Logika, dalam arti luas, hanya
akan memunculkan satu nama lain,
yakni semiotika, yakni semacam doktrin
tanda yang bersifat remi dan informal.
168 Humaniora Volume XV, No. 2/2003
Muslikh Madiyant
Di tengah persimpangan dua konsepsi
terkemuka ini, Roland Barthes sempat
tergoda dalamkeraguan.
Konsepsi pertama membangun semiologi
sebagai suatu metode analisis-kritik
kebiaasaan-kebiasan atau kelazimankelaziman
sosial karena diperlakukan
sebagai produsen penandaan (lebih jauh lihat
dalam Mythologies, 1957).
Konsepsi kedua menciptakan semacam
translinguistik karena konsepsi ini ‘merebut’
satuan-satuan terbesar penandaan wacana.
Inilah yang kelak menyebabkan semiologi
muncul sebagai suatu pengalihan lingusitikftastik
dengan memanfaatkan sebuah
lingusitik yang meneliti tipe-tipe produksi
teks. Lazim, jika kemudian orang membicarakan
semiotik wacana, semiotik puisi,
semiotik naratif, dst.
Dari upaya-upaya pengembangan itu
harus ditambahkan lagi dengan upaya A.J.
Greimas yang mengembangkan semiotik
sebagai suatu teori umum tentang sistemsistem
penandaan yang mampu mengurai
proses-prose produksi makna (proses ini
bermain dalam bahasa-bahasa verbal, nonverbal,
atau dalam kenyataan sehari-hari)—
yang pada saat bersamaan, proses semiologis
itu oleh Umberto Eco dipandang
sebagai bentuk paling konkret pada filsafat
bahasa seperti yang pernah dipikirkan oleh
Cassirer, Husserl, atau Wittgentein (1988:
14)—yang kelak berkembang dalam semiologi
kognitif yang diilhami oleh kecerdasan artifisial
(Michel Colin), semiologi katastrofis (Jean
Petitot) yang digayutkan dengan teori
matematika René Thom.
Kemajemukan ini diharapkan tidak
membingungkan, sekurang-kurangnya pada
dataran objek sasarannya. Sebagian semiolog
mencoba membatasi diri pada fenomenafenomena
komunikatif dalam arti yang akan
hanya dipedulikan adalah proses penyampaian
informasi yang menggunakan sistemsistem
konvensional secara eksplisit seperti
rambu-rambu lalu lintas, nomor telepon,
sinyal militer, simbol kimia dan matematika,
tanda-tanda grafis, semafor, nomor jalur bus,
kamar hotel, dsb. Tokoh-tokoh paling
representatif dalam semiologi komunikasi ini
antara lain George Mounin, Eric Buyssens,
Luis J. Prieto, dan Jeanne Martinet.
Beberapa semiolog yang kurang setuju
terhadap pembatasan objek penelitian
semiologi membangun semiologi penandaan
dalam rangka menemukan sebuah ilmu yang
secara total mampu meneliti produk-prosuk
makna dalam masyarakat. Di barisan ini
Barthes (1957:79) berdiri terdepan.
.... semiologi memiliki objek
penelitian berupa sistem tanda apa saja,
baik dalam wujud substansial dan
nonsubstansial seperti gambar, tindaktanduk,
bunyi melodius, benda-benda,
dan substansi kompleks yang dapat
ditemukan dalam ritus-ritus, protokolprotokol
atau pertunjukan. Pada hakikatnya,
semua itu membangun sistem
penandaan.
Sejatinya, di jantung semiologi sinema,
semiolinguistik hanya salah satu pendekatan
saja. Pendekatan-pendekatan di luar
semiolinguistik agaknya terlalu bertele-tele
jika disertakan dalam pembicaraan ini,
terutama semiopsikoanalisis. Alasan yang
mungkin dikemukakan rasanya masuk akal.
Pertama, mahasiswa Ilmu Budaya
sudah dibekali dasar-dasar linguistik.
Logisnya, adalah lazim jika mempelajari
sesuatu yang telah dikenali dari pada yang
tidak dikenali sama sekali.
Kedua, mempelajari semiopsikoanalisis
menuntut suatu perubahan konseptual
pedagogisnya. Berbeda halnya jika yang
dipelajari adalah semiolinguistik.
Ketiga, mempelajari semiolinguistik
merupakan suatu usaha pendekatan privilese
dengan dasar pemikiran: di satu pihak
bahasa merupakan sistem tanda bahasa
yang paling dikenali dewasa ini dan, di pihak
lain, pemikiran ini memang mendasarkan diri
pada salah satu pemikiran Saussure (1972:
101): “ilmu bahasa dapat dijadikan sebagai
sumbernya sumber semiologi, meskipun di
dalamnya bahasa manusia hanya merupakan
salah satu sistemnya saja”.
Perbedaan peristilahan antara semiotik
dan semiologi berkaitan dengan masalah
kebiasaan. Di Prancis, penyebutan semiotik
selalu dihubungkan dengan teori makna yang
dikembangkan Greimas. Dalam pemahaman
ini semiotik adalah ilmu yang meneliti
169 Humaniora Volume XV, No. 2/2003
Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual
produksi makna secara umum. Dengan
demikian, semiotik Greimas berposisi dengan
linguistik dan semiologi yang meminati objekobjek
khusus. Linguistik dipahami sebagai
ilmu yang meneliti bahasa-bahasa komunikasi
manusia (Indonesia, Prancis, dsb), sedangkan
bahasa-bahasa non-natural atau artifisial
(bahasa informatika, misalnya) tidak diminati
linguistik. Sementara itu, semiologi dipahami
sebagai ilmu yang meneliti bahasa yang
bukan bahasa-bahasa natural seperti
lukisan, musik, fotografi, sinema, dst.
5.4 Semiolinguistik Struktural
Secara historis, semiolinguistik berkembang
dari reruntuhan kegagalan epistemologi
grammaire traditionelle yang
diperkenalkan oleh linguistik struktural.
Paramasastra tradisional adalah semacam
upaya untuk membakukan pemakaian
bahasa secara baik dan benar. Paramasastra
seperti ini adalah model yang mengumpulkan
kesalahan-kesalahan yang
harus dihindari dan berakibat fungsi bahasa
tidak terjelaskan. Yang paling dirasakan di
kelak kemudian hari adalah tidak terwakilinya
kompetensi linguistik para pemakai bahasa.
Sementara, norma-norma bahasa itu sendiri
selalu dipautkan dengan pengarang-pengarang
yang bereputasi di soal menulis.
Contoh-contoh yang diajukan paramasastra
tradisional itu, dengan sendirinya,
menacampuradukkan antara bahasa tulis
awam dengan bahasa tulis sastra. Wajar jika
kemudian paramasastra ini lebih pantas
disebut sebagai estetika normatif.
Linguistik struktural menolak hegemoni
paramasastra itu dengan cara membangun
pendekatan melalui analisis deskriptif dan
eksplikatif terhadap semua produk bahasa.
Dalam analisis struktural yang diutamakan
bukan lagi penggunaan bahasa, tetapi
mencoba memahami mekanisme-mekanisme
fungsi bahasa. Menurut Saussure, dasar
pemikiran linguistik struktural adalah tata
kerja konstruksional.
Konstruksi tersebut meliputi penolakanpenolakan.
Bagi Saussure, penolakan ini
antara lain menolak parole (cara menggunakan
bahasa pada individu—tuturan aktual)
sebagai objeklinguistik. Persoalannya
sederhana, linguistik adalah ilmu yang
meneliti sistem bahasa—yang menjadi
bagian sosial di luar bahasa individu, yang
tidak diciptakan atau direkayasa olehnya.
Meski oposisi langue/parole terbilang
usang, tetapi proses penyisihan objek
penelitian adalah fundamental bagi pendekatan
linguistik (dan ilmu-ilmu lainnya).
Tata kerja linguistik struktural yang
kedua adalah membangun sistem yang
memberi peluang penjelasan fungsi keseluruhan
produk bahasa. Dalam pemahaman
ini setiap bahasa manusia senantiasa
terbentuk oleh sistem-sistem seperti sistem
bunyi (fonem), sistem bentuk dan kata
(morfem dan semantem). Sistem-sistem ini
bersifat koheren, antara satu dengan lainnya
saling bergantung.
Saussure memberi contoh permainan
catur. Setiap orang yang ingin bermain catur
tidak perlu mempelajari sejarah catur yang
dibawa dari Persia ke Eropa (eksternal),
yang penting dipelajari adalah sistem-sistem
dan kaidah permainan catur (internal). Jika
bidak catur dari gading diganti dengan bidak
terbuat kayu, hal itu tidak akan mengubah
sistem apa pun. Persoalannya akan lain
ketika bidak itu dikurangi atau ditambahi,
perubahan itu akan mengubah paramasastra
permainan catur.
Untuk alasan itulah linguistik struktural
menolak semua penjelasan yang bersifat
ekstralinguistik. Prinsip ini disebut dengan
nama imanensi.
Pada opsi itulah semiolinguistik sinema
dibangun.
5.5 Pendekatan Bahasa Nonsemiolinguistik
Tidaklah bijak mendefinisikan semiolinguistik
sinema dengan mengabaikan
definisi-definisi yang terlanjur ada sebelumnya,
meski definisi itu berada di luar pendekatan
kebahasaan.
Sebelum semiologi terlibat dalam
sinema, sudah banyak teks yang membicarakan
sinema dalam perspektif lain.
Di antara sekian banyak teks yang
terkumpul, disusunlah empat kelompok jenis
teksnya.
170 Humaniora Volume XV, No. 2/2003
Muslikh Madiyant
1. Teks-teks yang ditulis oleh para sineas
itu sendiri: Lev Koulechnov, Dziga Vertov,
S.M. Eisenstein, V.I. Poudovkin, Jean
Epstein, Marcel Pagnol, René Claire,
dst.
2. Teks-teks yang ditulis oleh kritikus film:
André Bazin, Serge Daney (dalam harian
tabloid Libération), dst.
3. Teks-teks yang berminat membangun
teori sinema: Rudolf Arnheim, Bela
Balazs, Etienne Souriau, Gilbert Cohen-
Séat, Edgar Morin, Jean Mitry, dst.
4. Teks-teks yang berambisi pada didaktik
seperti tulisan François Chevassu atau
Marcel Martin.
Teks-teks yang dikelompokkan dalam
klasifikasi umum ini mencoba mempertahankan
konsepsi sinema. Posisi teksnya
bisa bergulir dari sineas ke non-sineas,
sedangkan pendekatan yang ditempuhnya
estetik normatif.
Selain teks-teks itu, ada karya-karya lain
yang mencoba memposisikan diri sebagai
paramasastra sinema. Teks yang paling
dikenal adalah Grammaire cinématographique
tulisan Robert Bataille (1947) dan
Essai de grammaire sinématographique
karangan André Berthomieu (1946).
Biasanya, teks-teks tersebut memiliki
konsepsi yang sama dengan paramasastra
tradisional.
“Karena yang dihadapi adalah suatu
modus bahasa baru, diperlukan definisidefinisi
dan kaidah-kaidah untuk ditegaskan
pada satu titik...Maka calon
sineas harus memiliki pemandu untuk
mempelajari pengarang bermutu”
(Bataille dalam Introduction).
Untuk itulah pengarang perlu dijadikan
referensi konstan.
“Sineas harus berkinerja layaknya
pengarang yang, setelah memilih katakata
dalam rangka untuk mengeliminasi
kesadaran atau ketaksadaran, dan
menempatkannya dalam susunan
tertentu, mengubah sebuah kata dan
akibatnya mengubah susunan kalimat
dan hal ini membawa akibat pada
perubahan kata-kata lainnya.”(Bataille)
Lazim pula jika kemudian André
Berthomieu memperkenalkan prinsip
fundemantal skenario pada pengantar Pierre
et Jean karya Guy de Maupassant.
Tujuan utama paramasastra itu adalah
pencapaian sedapat mungkin bon style
cinématographique atau un style harmonieux
melalui pengetahuan ‘kaidah-kaidah fundamental’
dan ‘kaidah-kaidah yang pasti’ yang
menggerakkan konstruksi sebuah film.
Dalam paramasastra ini segala sesuatunya
didatarkan pada aspek-aspek yang
efektif saja. Kebakuan memang menjadi
kemutlakan dalam paramasastra ini. Sebagai
contoh, pengambilan gambar harus mengikuti
kaidah-kaidah paramasastra gambar
jika menginginkan efek dramatik suatu
adegan. Adalah tabu, misalnya, menggerakkan
kamera secara tiba-tiba membidik
close-up sebuah objek. Jika kamera sudah
mengarah pada satu arah, saat menembak
suatu objek, gambar berikutnya harus
digerakkan ke arah yang sama.
Lazimlah jika paramasastra sinematografi
menyusun daftar kekeliruan yang tidak
boleh dilakukan, kesalahan gawat yang
harus dihindarkan, ketidakumuman yang
tidak boleh dikerjakan. Itu semua demi
pencapaian gaya khusus yang akan membantu
sineas memiliki style.
Pendeknya, estetika yang digerakkan
oleh paramasastra tadi sama sekali analog
dengan paramasastra tradisional yang terjadi
pada bahasa. Keduanya menghendaki
segalanya harus transparan (“Teknik paling
dahsyat adalah teknik yang tidak kasat
mata,” Berthomieu); harus berbau realisme
(“Gambar haruslah menyajikan kebenaran,”
Bataille); harus tepat, jelas, dan seimbang
(Bataille).
Pada akhirnya dicapailah definisi tata
bahasa sinematografi:
Paramasastra sinematografi mempelajari
kaidah-kaidah yang menuntun seni
penayangan secara baik dan benar
sejumlah gagasan melalui rangkaian gambar
animasi untuk membentuk sebuah film.
171 Humaniora Volume XV, No. 2/2003
Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual
6. Kesimpulan
Jati diri esensial semiolinguistik adalah
keterputusannya dengan pendekatan estetik
normatif tradisional.
Tentu saja, keterputusan ini tidak bersifat
fatal dan drastis. Fakta mempelihatkan
bahwa pendekatan normatif itu hingga kini
belum tergantikan oleh semiologi. Sampai
hari ini, sebagian besar tulisan tentang
sinema masih menggunakan pendekatan
normatif. Kritikus, sutradara, danbahkan
buku-buku teori sinema masih terbukti menggunakan
estetika normatif.
Kenyataan tersebut harus diterima
sebagai suatu koeksistensi.
Teks-teks normatif tersebut memiliki
tugas dan fungsi tersendiri, seperti memberikan
kontribusi pada putaran mesin
sinema, merangsang emulasi di kalangan
sutradara, dan terutama untuk menggiring
perhatian penonton pada film.
Ringkas kata, teks-teks normatif tersebut
menciptakan dinamika di ranah
sinematografi sebagai kelaziman soal jika
diingat teks merupakan bagian tak terpisahkan
darinya.
Semiolinguistik sinema dalam kasus ini
tidak menjadi substitusi teks-teks normatif
tersebut. Semiolinguistik adalah hal lain,
yakni menempatkan dirinya di ruang lain,
yakni di luar ranah sinematografi karena ruang
disiplinnya memang berbeda.
Di sisi lain, relasi antara pendekatan
linguistik dengan studi bahasa sinemato-grafi
terbilang amat terlambat jika ditilik dari
perkembangan linguistik yang sudah
merangsek ke seluruh bidang. Satu hal lain
yang harus dicatat, semua pendekatan
sinema yang berbasis linguistik secara de
fakto bukanlah semiolinguistik.
Dua contoh yang menarik dapat diajukan.
Hingga kini masih terdengar pendapat
yang menyebutkan teks-teks formalis Rusia
merupakan upaya pertama pendekatan
semiologi sinema dalam pengertian para
formalis tersebut menulis tentang film berbais
analisis linguistik.
Sejatinya, pemanfaatan analisis linguistik
para formalis Rusia dalam sinema secara
masif masih normatif. Target kaum formalis
ini selalu puitika (dipakai dalam judul kumpulan
artikel kelompok Poetika Kino di Moskow),
atau stilistik (salah satu artikel pokok Boris
Eichenbaum yang berjudul Permasalahan
sine-stilistika).
Fakta ini sesungguhnya ingin mengatakan
bahwa estetika Formalis masih mencoba
mempertahankan diri khas formalis Rusia:
mengopsisikan art versus non-art.
DAFTAR PUSTAKA
Aumont, Jacques, et al. 1983. Esthétique
du cinéma. Nathan, Paris.
Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Seuil,
Paris.
Bataille, Robert. 1978. Théorie du cinéma.
CinémaAction No. 20, Paris.
Bertomieu, André. 1946. Essai de grammaire
cinématographique. La Nouvelle Edition,
Paris.
____________. 1975. En sortant du cinéma.
Communications No. 23, Paris.
Garcies, André. 1993. Le Récit filmique.
Universitaires de Frances, Paris.
Madiyant, Muslikh. 1996. “Sastra Bandingan:
Metode dan Permasalahannya”. Fakultas
Sastra, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
____________.1998. “Estetika Sinema
Elektronik dalam Kasus Si Doel Amak
Sekolahan” dalam Humaniora No. 7
Edisi Januari-Maret, Yogyakarta.
Metz, Christian. 1977. Le Signifiant
imaginaire. U.G.E., Paris.
Odin, Roger. 1990. Cinéma et production des
sens. Armand Colin, Paris.
Pierce, Ch.S. 1932. Collected Papers. Cambridge,
London.
Saussure, Ferdinand de. 1972. Cours de
linguistique générale. Payothèque,
Paris.
Source URL: https://pokbongkoh.blogspot.com/2009/11/163-humaniora-volume-xv-no.htmlSinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual
* Hasil penelitian dengan Dana Masyarakat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada,
2002
** Doctorandus, Magister Humaniora, Staff Pengajar Jurusan Sastra Prancis, Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
SINEMASASTRA: MENCARI BAHASA
DI DALAM TEKS VISUAL*
Muslikh Madiyant**
1. Pengantar
ajian sastra di Indonesia selama tiga dasawarsa belakangan sudah mencakup pengembangan teori, kritik, dan sejarah. Pada perkembangan ini, kajian sastra di negeri kita belum menaruh perhatian secara memadai pada bidang penelitian yang bersifat lebih khusus dan sistematis, yakni sastra bandingan (komparatisme). Kenyataan ini dapat dimengerti jika disadari bahwa untuk memasuki bidang komparatisme dituntut sejumlah perangkat dasar yang cukup memadai pula. Dia harus seorang sejarawan sastra transnasional; dia harus memiliki informasi sastra asing secara memadai; memiliki pengetahuan secara luas ekspresiekspresi seni di luar sastra, memiliki
kemampuan membaca teks atau ekspresi tidak dalam bahasa ibunya (Madiyant, 1996:16-18). Kaitan pernyataan di atas dengan perubahan nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya memiliki relevansi signifikan, dalam arti di lingkungan wacana pengetahuan baru ini amat mungkin dikembangkan bidang-bidang kajian yang baru yang selama ini terabaikan. Data dan fakta dapat berbicara dalam hal ini. Selama tiga tahun (enam semester) peneliti menyampaikan kuliah ‘sinemasastra’ pada tiga angkatan mahasiswa Sastra Roman, sambutan yang diperoleh cukup signifikan. Dari tiga angkatan ini telah dihasilkan dua skripsi bertopik sinemasastra. Sambutan tersebut dapat dijadikan indikator terterimanya bidang kajian baru di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya. Faktor-faktor terterimanya kajian sinemasastra karena bidang ini meliputi beberapa aspek seperti berikut.
Dari uraian-uraian di atas terdapat beberapa ancangan pemikiran yang teridentifikasi antara lain: (a) seberapa jauh peluang sinemasastra menjadi kajian di lingkup ilmu-ilmu humaniora, dan, (b) seberapa jauh ilmu-ilmu humaniora memberi dukungan ilmiah terhadap bidang kajian sinema yang berbasiskan sastra. 164 Humaniora Volume XV, No. 2/2003 Muslikh Madiyant Pengembangan kajian sinema yang berbasiskan sastra di perguruan tinggi kurang diperhitungkan kepantasannya sebagai bidang baru yang memberi angin segar bagi peragaman studi-studi ilmu budaya. Hal ini dapat terjadi oleh karena para peneliti sebelumnya lebih melihat sinema sebagai simbol budaya yang gagal mewakili esensi permasalahan-permasalahan pembangunan (a), atau melihat sinema sebagai sekedar simbol hegemoni suatu kebudayaan instan (b), dan yang tak kalah penting mendudukkan sinema semata sebagai produk massal yang gagal merengkuh penontonnya di tengahtengah kemajemukan khalayaknya (c). Pengembangan kajian sinema berbasiskan sastra, dalam tulisan ini, diyakini memiliki harapan besar dalam mengungkap fungsi dan sistem tanda seni pada ekspresi sinematografis.
3. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang sinema Indonesia yang berwujud teori/analisis skripsi, tesis, makalah, artikel, laporan penelitian, dan sebagainya tidak disangsikan jumlahnya. Dari sekian penelitian tersebut yang berkaitan dengan penelitian ini adalah seperti berikut:
upaya membangun bahasa sinematografi.
Termasuk dalam upaya ini adalah
menunjukkan mekanisme-mekanisme
produksi makna dan memahami film
untuk dapat dipahami.
Secara gamblang dapat dikatakan
bahwa semiolinguistik adalah cabang dari
semiologi. Sebagai istilah yang terlanjur
dikenal, definisi semiologi yang dipahamkan
dalam penelitian ini adalah ilmu yang meneliti
totalitas tanda (Barthes, 1957).
Pilihan dasar teori tersebut merupakan
suatu keputusan langkah karena semiologi
bukanlah satu dan tidak pula hanya satusatunya.
Dengan kata lain, membicarakan
semiologi menuntut suatu penyikapan. Pada
batas-batas tertentu, pengertian tanda dalam
semiologi kini sudah mengalami semacam
korosi dan pada batas-batas tertentu lainnya,
kata meneliti menyembunyikan keragaman
objek penelitian dan metode yang rumit.
Meskipun demikian, sebelumnya harus
sama disepakati bahwa tradisi semiologi
(atau semiotik) memiliki dua tokoh besar. Di
Eropa kita mengenal Ferdinand de Saussure
(1857-1913) dan di Amerika kita mengenal
Charles Sanders Pierce (1839-1914).
Menurut Saussure (1988:33), semiologi
merupakan suatu perluasan dari linguistik:
Bahasa merupakan sistem tanda
yang mengantarkan gagasan-gagasan
dan sistem tersebut dapat ditilik pada
tulisan, alfabet, ritus-ritus simbolik,
bentuk-bentuk kesantunan, sinyalsinyal
militer, dsb. Dalam posisi ini,
bahasa merupakan pokok terpenting
dalam sistem-sistem tersebut. Maka
dengan sendirinya kita dapat menerima
kehadiran ilmu yang meneliti kehidupan
tanda-tanda di tengah-tengah masyarakat.
Ilmu ini akan menjadi bagian dari
psikologi umum dan dinamai semiologi
(semion, tanda—Yunani). Ilmu ini akan
mengajarkan kepada kita terdiri dari apa
sajakah tanda-tanda itu dan kaidahkaidah
apakah yang dimainkannya.
Karena ilmu itu belum lagi ada, kita
tidak bisa mengatakannya seperti apa;
tetapi, ilmu itu berhak untuk mengada
karena tempatnya sudah dipersiapkan
sebelumnya.
Sedangkan bagi Pierce (1978:120),
semiotika merupakan logika:
Logika, dalam arti luas, hanya
akan memunculkan satu nama lain,
yakni semiotika, yakni semacam doktrin
tanda yang bersifat remi dan informal.
168 Humaniora Volume XV, No. 2/2003
Muslikh Madiyant
Di tengah persimpangan dua konsepsi
terkemuka ini, Roland Barthes sempat
tergoda dalamkeraguan.
Konsepsi pertama membangun semiologi
sebagai suatu metode analisis-kritik
kebiaasaan-kebiasan atau kelazimankelaziman
sosial karena diperlakukan
sebagai produsen penandaan (lebih jauh lihat
dalam Mythologies, 1957).
Konsepsi kedua menciptakan semacam
translinguistik karena konsepsi ini ‘merebut’
satuan-satuan terbesar penandaan wacana.
Inilah yang kelak menyebabkan semiologi
muncul sebagai suatu pengalihan lingusitikftastik
dengan memanfaatkan sebuah
lingusitik yang meneliti tipe-tipe produksi
teks. Lazim, jika kemudian orang membicarakan
semiotik wacana, semiotik puisi,
semiotik naratif, dst.
Dari upaya-upaya pengembangan itu
harus ditambahkan lagi dengan upaya A.J.
Greimas yang mengembangkan semiotik
sebagai suatu teori umum tentang sistemsistem
penandaan yang mampu mengurai
proses-prose produksi makna (proses ini
bermain dalam bahasa-bahasa verbal, nonverbal,
atau dalam kenyataan sehari-hari)—
yang pada saat bersamaan, proses semiologis
itu oleh Umberto Eco dipandang
sebagai bentuk paling konkret pada filsafat
bahasa seperti yang pernah dipikirkan oleh
Cassirer, Husserl, atau Wittgentein (1988:
14)—yang kelak berkembang dalam semiologi
kognitif yang diilhami oleh kecerdasan artifisial
(Michel Colin), semiologi katastrofis (Jean
Petitot) yang digayutkan dengan teori
matematika René Thom.
Kemajemukan ini diharapkan tidak
membingungkan, sekurang-kurangnya pada
dataran objek sasarannya. Sebagian semiolog
mencoba membatasi diri pada fenomenafenomena
komunikatif dalam arti yang akan
hanya dipedulikan adalah proses penyampaian
informasi yang menggunakan sistemsistem
konvensional secara eksplisit seperti
rambu-rambu lalu lintas, nomor telepon,
sinyal militer, simbol kimia dan matematika,
tanda-tanda grafis, semafor, nomor jalur bus,
kamar hotel, dsb. Tokoh-tokoh paling
representatif dalam semiologi komunikasi ini
antara lain George Mounin, Eric Buyssens,
Luis J. Prieto, dan Jeanne Martinet.
Beberapa semiolog yang kurang setuju
terhadap pembatasan objek penelitian
semiologi membangun semiologi penandaan
dalam rangka menemukan sebuah ilmu yang
secara total mampu meneliti produk-prosuk
makna dalam masyarakat. Di barisan ini
Barthes (1957:79) berdiri terdepan.
.... semiologi memiliki objek
penelitian berupa sistem tanda apa saja,
baik dalam wujud substansial dan
nonsubstansial seperti gambar, tindaktanduk,
bunyi melodius, benda-benda,
dan substansi kompleks yang dapat
ditemukan dalam ritus-ritus, protokolprotokol
atau pertunjukan. Pada hakikatnya,
semua itu membangun sistem
penandaan.
Sejatinya, di jantung semiologi sinema,
semiolinguistik hanya salah satu pendekatan
saja. Pendekatan-pendekatan di luar
semiolinguistik agaknya terlalu bertele-tele
jika disertakan dalam pembicaraan ini,
terutama semiopsikoanalisis. Alasan yang
mungkin dikemukakan rasanya masuk akal.
Pertama, mahasiswa Ilmu Budaya
sudah dibekali dasar-dasar linguistik.
Logisnya, adalah lazim jika mempelajari
sesuatu yang telah dikenali dari pada yang
tidak dikenali sama sekali.
Kedua, mempelajari semiopsikoanalisis
menuntut suatu perubahan konseptual
pedagogisnya. Berbeda halnya jika yang
dipelajari adalah semiolinguistik.
Ketiga, mempelajari semiolinguistik
merupakan suatu usaha pendekatan privilese
dengan dasar pemikiran: di satu pihak
bahasa merupakan sistem tanda bahasa
yang paling dikenali dewasa ini dan, di pihak
lain, pemikiran ini memang mendasarkan diri
pada salah satu pemikiran Saussure (1972:
101): “ilmu bahasa dapat dijadikan sebagai
sumbernya sumber semiologi, meskipun di
dalamnya bahasa manusia hanya merupakan
salah satu sistemnya saja”.
Perbedaan peristilahan antara semiotik
dan semiologi berkaitan dengan masalah
kebiasaan. Di Prancis, penyebutan semiotik
selalu dihubungkan dengan teori makna yang
dikembangkan Greimas. Dalam pemahaman
ini semiotik adalah ilmu yang meneliti
169 Humaniora Volume XV, No. 2/2003
Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual
produksi makna secara umum. Dengan
demikian, semiotik Greimas berposisi dengan
linguistik dan semiologi yang meminati objekobjek
khusus. Linguistik dipahami sebagai
ilmu yang meneliti bahasa-bahasa komunikasi
manusia (Indonesia, Prancis, dsb), sedangkan
bahasa-bahasa non-natural atau artifisial
(bahasa informatika, misalnya) tidak diminati
linguistik. Sementara itu, semiologi dipahami
sebagai ilmu yang meneliti bahasa yang
bukan bahasa-bahasa natural seperti
lukisan, musik, fotografi, sinema, dst.
5.4 Semiolinguistik Struktural
Secara historis, semiolinguistik berkembang
dari reruntuhan kegagalan epistemologi
grammaire traditionelle yang
diperkenalkan oleh linguistik struktural.
Paramasastra tradisional adalah semacam
upaya untuk membakukan pemakaian
bahasa secara baik dan benar. Paramasastra
seperti ini adalah model yang mengumpulkan
kesalahan-kesalahan yang
harus dihindari dan berakibat fungsi bahasa
tidak terjelaskan. Yang paling dirasakan di
kelak kemudian hari adalah tidak terwakilinya
kompetensi linguistik para pemakai bahasa.
Sementara, norma-norma bahasa itu sendiri
selalu dipautkan dengan pengarang-pengarang
yang bereputasi di soal menulis.
Contoh-contoh yang diajukan paramasastra
tradisional itu, dengan sendirinya,
menacampuradukkan antara bahasa tulis
awam dengan bahasa tulis sastra. Wajar jika
kemudian paramasastra ini lebih pantas
disebut sebagai estetika normatif.
Linguistik struktural menolak hegemoni
paramasastra itu dengan cara membangun
pendekatan melalui analisis deskriptif dan
eksplikatif terhadap semua produk bahasa.
Dalam analisis struktural yang diutamakan
bukan lagi penggunaan bahasa, tetapi
mencoba memahami mekanisme-mekanisme
fungsi bahasa. Menurut Saussure, dasar
pemikiran linguistik struktural adalah tata
kerja konstruksional.
Konstruksi tersebut meliputi penolakanpenolakan.
Bagi Saussure, penolakan ini
antara lain menolak parole (cara menggunakan
bahasa pada individu—tuturan aktual)
sebagai objeklinguistik. Persoalannya
sederhana, linguistik adalah ilmu yang
meneliti sistem bahasa—yang menjadi
bagian sosial di luar bahasa individu, yang
tidak diciptakan atau direkayasa olehnya.
Meski oposisi langue/parole terbilang
usang, tetapi proses penyisihan objek
penelitian adalah fundamental bagi pendekatan
linguistik (dan ilmu-ilmu lainnya).
Tata kerja linguistik struktural yang
kedua adalah membangun sistem yang
memberi peluang penjelasan fungsi keseluruhan
produk bahasa. Dalam pemahaman
ini setiap bahasa manusia senantiasa
terbentuk oleh sistem-sistem seperti sistem
bunyi (fonem), sistem bentuk dan kata
(morfem dan semantem). Sistem-sistem ini
bersifat koheren, antara satu dengan lainnya
saling bergantung.
Saussure memberi contoh permainan
catur. Setiap orang yang ingin bermain catur
tidak perlu mempelajari sejarah catur yang
dibawa dari Persia ke Eropa (eksternal),
yang penting dipelajari adalah sistem-sistem
dan kaidah permainan catur (internal). Jika
bidak catur dari gading diganti dengan bidak
terbuat kayu, hal itu tidak akan mengubah
sistem apa pun. Persoalannya akan lain
ketika bidak itu dikurangi atau ditambahi,
perubahan itu akan mengubah paramasastra
permainan catur.
Untuk alasan itulah linguistik struktural
menolak semua penjelasan yang bersifat
ekstralinguistik. Prinsip ini disebut dengan
nama imanensi.
Pada opsi itulah semiolinguistik sinema
dibangun.
5.5 Pendekatan Bahasa Nonsemiolinguistik
Tidaklah bijak mendefinisikan semiolinguistik
sinema dengan mengabaikan
definisi-definisi yang terlanjur ada sebelumnya,
meski definisi itu berada di luar pendekatan
kebahasaan.
Sebelum semiologi terlibat dalam
sinema, sudah banyak teks yang membicarakan
sinema dalam perspektif lain.
Di antara sekian banyak teks yang
terkumpul, disusunlah empat kelompok jenis
teksnya.
170 Humaniora Volume XV, No. 2/2003
Muslikh Madiyant
1. Teks-teks yang ditulis oleh para sineas
itu sendiri: Lev Koulechnov, Dziga Vertov,
S.M. Eisenstein, V.I. Poudovkin, Jean
Epstein, Marcel Pagnol, René Claire,
dst.
2. Teks-teks yang ditulis oleh kritikus film:
André Bazin, Serge Daney (dalam harian
tabloid Libération), dst.
3. Teks-teks yang berminat membangun
teori sinema: Rudolf Arnheim, Bela
Balazs, Etienne Souriau, Gilbert Cohen-
Séat, Edgar Morin, Jean Mitry, dst.
4. Teks-teks yang berambisi pada didaktik
seperti tulisan François Chevassu atau
Marcel Martin.
Teks-teks yang dikelompokkan dalam
klasifikasi umum ini mencoba mempertahankan
konsepsi sinema. Posisi teksnya
bisa bergulir dari sineas ke non-sineas,
sedangkan pendekatan yang ditempuhnya
estetik normatif.
Selain teks-teks itu, ada karya-karya lain
yang mencoba memposisikan diri sebagai
paramasastra sinema. Teks yang paling
dikenal adalah Grammaire cinématographique
tulisan Robert Bataille (1947) dan
Essai de grammaire sinématographique
karangan André Berthomieu (1946).
Biasanya, teks-teks tersebut memiliki
konsepsi yang sama dengan paramasastra
tradisional.
“Karena yang dihadapi adalah suatu
modus bahasa baru, diperlukan definisidefinisi
dan kaidah-kaidah untuk ditegaskan
pada satu titik...Maka calon
sineas harus memiliki pemandu untuk
mempelajari pengarang bermutu”
(Bataille dalam Introduction).
Untuk itulah pengarang perlu dijadikan
referensi konstan.
“Sineas harus berkinerja layaknya
pengarang yang, setelah memilih katakata
dalam rangka untuk mengeliminasi
kesadaran atau ketaksadaran, dan
menempatkannya dalam susunan
tertentu, mengubah sebuah kata dan
akibatnya mengubah susunan kalimat
dan hal ini membawa akibat pada
perubahan kata-kata lainnya.”(Bataille)
Lazim pula jika kemudian André
Berthomieu memperkenalkan prinsip
fundemantal skenario pada pengantar Pierre
et Jean karya Guy de Maupassant.
Tujuan utama paramasastra itu adalah
pencapaian sedapat mungkin bon style
cinématographique atau un style harmonieux
melalui pengetahuan ‘kaidah-kaidah fundamental’
dan ‘kaidah-kaidah yang pasti’ yang
menggerakkan konstruksi sebuah film.
Dalam paramasastra ini segala sesuatunya
didatarkan pada aspek-aspek yang
efektif saja. Kebakuan memang menjadi
kemutlakan dalam paramasastra ini. Sebagai
contoh, pengambilan gambar harus mengikuti
kaidah-kaidah paramasastra gambar
jika menginginkan efek dramatik suatu
adegan. Adalah tabu, misalnya, menggerakkan
kamera secara tiba-tiba membidik
close-up sebuah objek. Jika kamera sudah
mengarah pada satu arah, saat menembak
suatu objek, gambar berikutnya harus
digerakkan ke arah yang sama.
Lazimlah jika paramasastra sinematografi
menyusun daftar kekeliruan yang tidak
boleh dilakukan, kesalahan gawat yang
harus dihindarkan, ketidakumuman yang
tidak boleh dikerjakan. Itu semua demi
pencapaian gaya khusus yang akan membantu
sineas memiliki style.
Pendeknya, estetika yang digerakkan
oleh paramasastra tadi sama sekali analog
dengan paramasastra tradisional yang terjadi
pada bahasa. Keduanya menghendaki
segalanya harus transparan (“Teknik paling
dahsyat adalah teknik yang tidak kasat
mata,” Berthomieu); harus berbau realisme
(“Gambar haruslah menyajikan kebenaran,”
Bataille); harus tepat, jelas, dan seimbang
(Bataille).
Pada akhirnya dicapailah definisi tata
bahasa sinematografi:
Paramasastra sinematografi mempelajari
kaidah-kaidah yang menuntun seni
penayangan secara baik dan benar
sejumlah gagasan melalui rangkaian gambar
animasi untuk membentuk sebuah film.
171 Humaniora Volume XV, No. 2/2003
Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual
6. Kesimpulan
Jati diri esensial semiolinguistik adalah
keterputusannya dengan pendekatan estetik
normatif tradisional.
Tentu saja, keterputusan ini tidak bersifat
fatal dan drastis. Fakta mempelihatkan
bahwa pendekatan normatif itu hingga kini
belum tergantikan oleh semiologi. Sampai
hari ini, sebagian besar tulisan tentang
sinema masih menggunakan pendekatan
normatif. Kritikus, sutradara, danbahkan
buku-buku teori sinema masih terbukti menggunakan
estetika normatif.
Kenyataan tersebut harus diterima
sebagai suatu koeksistensi.
Teks-teks normatif tersebut memiliki
tugas dan fungsi tersendiri, seperti memberikan
kontribusi pada putaran mesin
sinema, merangsang emulasi di kalangan
sutradara, dan terutama untuk menggiring
perhatian penonton pada film.
Ringkas kata, teks-teks normatif tersebut
menciptakan dinamika di ranah
sinematografi sebagai kelaziman soal jika
diingat teks merupakan bagian tak terpisahkan
darinya.
Semiolinguistik sinema dalam kasus ini
tidak menjadi substitusi teks-teks normatif
tersebut. Semiolinguistik adalah hal lain,
yakni menempatkan dirinya di ruang lain,
yakni di luar ranah sinematografi karena ruang
disiplinnya memang berbeda.
Di sisi lain, relasi antara pendekatan
linguistik dengan studi bahasa sinemato-grafi
terbilang amat terlambat jika ditilik dari
perkembangan linguistik yang sudah
merangsek ke seluruh bidang. Satu hal lain
yang harus dicatat, semua pendekatan
sinema yang berbasis linguistik secara de
fakto bukanlah semiolinguistik.
Dua contoh yang menarik dapat diajukan.
Hingga kini masih terdengar pendapat
yang menyebutkan teks-teks formalis Rusia
merupakan upaya pertama pendekatan
semiologi sinema dalam pengertian para
formalis tersebut menulis tentang film berbais
analisis linguistik.
Sejatinya, pemanfaatan analisis linguistik
para formalis Rusia dalam sinema secara
masif masih normatif. Target kaum formalis
ini selalu puitika (dipakai dalam judul kumpulan
artikel kelompok Poetika Kino di Moskow),
atau stilistik (salah satu artikel pokok Boris
Eichenbaum yang berjudul Permasalahan
sine-stilistika).
Fakta ini sesungguhnya ingin mengatakan
bahwa estetika Formalis masih mencoba
mempertahankan diri khas formalis Rusia:
mengopsisikan art versus non-art.
DAFTAR PUSTAKA
Aumont, Jacques, et al. 1983. Esthétique
du cinéma. Nathan, Paris.
Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Seuil,
Paris.
Bataille, Robert. 1978. Théorie du cinéma.
CinémaAction No. 20, Paris.
Bertomieu, André. 1946. Essai de grammaire
cinématographique. La Nouvelle Edition,
Paris.
____________. 1975. En sortant du cinéma.
Communications No. 23, Paris.
Garcies, André. 1993. Le Récit filmique.
Universitaires de Frances, Paris.
Madiyant, Muslikh. 1996. “Sastra Bandingan:
Metode dan Permasalahannya”. Fakultas
Sastra, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
____________.1998. “Estetika Sinema
Elektronik dalam Kasus Si Doel Amak
Sekolahan” dalam Humaniora No. 7
Edisi Januari-Maret, Yogyakarta.
Metz, Christian. 1977. Le Signifiant
imaginaire. U.G.E., Paris.
Odin, Roger. 1990. Cinéma et production des
sens. Armand Colin, Paris.
Pierce, Ch.S. 1932. Collected Papers. Cambridge,
London.
Saussure, Ferdinand de. 1972. Cours de
linguistique générale. Payothèque,
Paris.
Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection
0 comments:
Post a Comment