FREE DOWNLOAD PICTURE
MORE INFO ABOUT WALLPAPER
Friday, November 20, 2009
    163 Humaniora Volume XV, No. 2/2003
    Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual
    * Hasil penelitian dengan Dana Masyarakat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada,
    2002
    ** Doctorandus, Magister Humaniora, Staff Pengajar Jurusan Sastra Prancis, Fakultas Ilmu
    Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
    SINEMASASTRA: MENCARI BAHASA
    DI DALAM TEKS VISUAL*
    Muslikh Madiyant**
    1. Pengantar
    ajian sastra di Indonesia selama tiga dasawarsa belakangan sudah mencakup pengembangan teori, kritik, dan sejarah. Pada perkembangan ini, kajian sastra di negeri kita belum menaruh perhatian secara memadai pada bidang penelitian yang bersifat lebih khusus dan sistematis, yakni sastra bandingan (komparatisme). Kenyataan ini dapat dimengerti jika disadari bahwa untuk memasuki bidang komparatisme dituntut sejumlah perangkat dasar yang cukup memadai pula. Dia harus seorang sejarawan sastra transnasional; dia harus memiliki informasi sastra asing secara memadai; memiliki pengetahuan secara luas ekspresiekspresi seni di luar sastra, memiliki
    kemampuan membaca teks atau ekspresi tidak dalam bahasa ibunya (Madiyant, 1996:16-18). Kaitan pernyataan di atas dengan perubahan nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya memiliki relevansi signifikan, dalam arti di lingkungan wacana pengetahuan baru ini amat mungkin dikembangkan bidang-bidang kajian yang baru yang selama ini terabaikan. Data dan fakta dapat berbicara dalam hal ini. Selama tiga tahun (enam semester) peneliti menyampaikan kuliah ‘sinemasastra’ pada tiga angkatan mahasiswa Sastra Roman, sambutan yang diperoleh cukup signifikan. Dari tiga angkatan ini telah dihasilkan dua skripsi bertopik sinemasastra. Sambutan tersebut dapat dijadikan indikator terterimanya bidang kajian baru di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya. Faktor-faktor terterimanya kajian sinemasastra karena bidang ini meliputi beberapa aspek seperti berikut.
    1. Sebagai pelanjutan atau pengembangan dari bidang kajian sastra dan linguistik (Odin, 1990:25-28).
    2. Secara teoretis, sinemasastra adalahbidang kajian sinema yang berbasiskanpada sastra masih bertumpu pada aspekkomparatisme teks dengan visualitassinematografi (Metz, 1977: 117-118).
    3. Sasaran kajian sinema naratif adalahmengangkat majas-majas makna(hubungan antara keseluruhan penanda dengan keseluruhan tinanda) yangmenjadi sifat khas sinema dan penelitianseperti ini adalah penelitian semiologi tingkat pertama (berbasiskan linguistik struktural) yang mengutamakan analisis sintagmatik pada tingkat kemungkinan perbedaan modelnya dalam hubungannya dengan pengoperasian alur cerita (Madiyant, 1998:70).
    2. Pemikiran yang Muncul
    Dari uraian-uraian di atas terdapat beberapa ancangan pemikiran yang teridentifikasi antara lain: (a) seberapa jauh peluang sinemasastra menjadi kajian di lingkup ilmu-ilmu humaniora, dan, (b) seberapa jauh ilmu-ilmu humaniora memberi dukungan ilmiah terhadap bidang kajian sinema yang berbasiskan sastra. 164 Humaniora Volume XV, No. 2/2003 Muslikh Madiyant Pengembangan kajian sinema yang berbasiskan sastra di perguruan tinggi kurang diperhitungkan kepantasannya sebagai bidang baru yang memberi angin segar bagi peragaman studi-studi ilmu budaya. Hal ini dapat terjadi oleh karena para peneliti sebelumnya lebih melihat sinema sebagai simbol budaya yang gagal mewakili esensi permasalahan-permasalahan pembangunan (a), atau melihat sinema sebagai sekedar simbol hegemoni suatu kebudayaan instan (b), dan yang tak kalah penting mendudukkan sinema semata sebagai produk massal yang gagal merengkuh penontonnya di tengahtengah kemajemukan khalayaknya (c). Pengembangan kajian sinema berbasiskan sastra, dalam tulisan ini, diyakini memiliki harapan besar dalam mengungkap fungsi dan sistem tanda seni pada ekspresi sinematografis.

    3. Tinjauan Pustaka

    Penelitian tentang sinema Indonesia yang berwujud teori/analisis skripsi, tesis, makalah, artikel, laporan penelitian, dan sebagainya tidak disangsikan jumlahnya. Dari sekian penelitian tersebut yang berkaitan dengan penelitian ini adalah seperti berikut:

    1. Penelitian yang dikerjakan oleh Jacques Aumont, dkk (Esthétique du film, ‘Estetika Film’, 1983) menolak pendapat bahwa teori film hanya mungkin diberangkatkan dari film itu sendiri sebab teori-teori dari luar film sekedar menjelaskan aspek-aspek skunder film yang pada hakikatnya tidak esensial. Aumont berteori bahwa film adalah suatu tempat yang mempertemukan pelbagai unsur yang terkadang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan sinematografi. Untuk mendekati sinema, Aumont mengajukan teori bahwa teori sinema lebih sering diasimilasikan dengan pendekatan estetik dan dari pemahaman ini Aumont menyusun teori estetika sinema melalui disiplin-disiplin linguistik, psikoanalisis, ekonomi politik, ideologi, ikonologi, dst. Dengan teorinya ini Aumont ingin menggapai sinema sebagai bangunan logika, konstruksi psikologi persepsi, dan teori seni.
    2. Penelitian Roger Odin (Cinéma et production de sens ‘Sinema dan Produksi Makna’, 1990) mencoba lebih fokus lagi dengan membasiskan film sebagai produk bahasa. Dengan proposisinya itu Odin membangun pendekatan disipliner objek sinema melalui pendekatan semio-linguistique. Pendekatan Odin bermaksud mengurai mekanisme produksi makna dan memahamkan bagai film mungkin dipahami.
    3. Christian Metz (Le signifiant imaginaire ‘Penanda Imajiner’, 1977) memandang hubungan antara penonton dengan sinema cukup kompleks karena institusi film berpokok pada dua sistem: film dan teks. Ketika film diciptakan, aktorlah yang menguasai film, tetapi ketika film diputar sebagai produk masal, penontonlah yang hadir di dalam aktor. Dengan demikian, sinema sebagai sebuah bidang kajian agaknya lebih mementingkan kehadiran penonton sebagai ‘pembaca’, sebagai kehadiran yang menghadirkan dan memberi makna pada film.
    4. Landasan Teori Sebagai media rekam, film menyajikan gambar figuratif dalam bentuk objek-objek fotografis yang dekat dengan kehidupan manusia. Gambar gerak figuratif, secara semiotik, dapat disebut tanda tingkat pertama, sedangkan tanda tingkat keduanya ada pada gerakan gambar itu sendiri (Garsies, 1993:15-16). Akan tetapi, pernyataan tersebut tidak dapat dijadikan suatu prioritas suatu langkah awal, terutama yang berkaitan dengan strategi naratif. Untuk itu, diperlukan pilihan dengan cermat apa yang menjadi prioritas secara semiotik pada dataran naratif. Pluralitas material yang terdapat pada sinema naratif, pada hakikatnya, bersifat heterogen dan mampu memproduksi pelbagai tanda yang berbeda. Tanda-tanda itu tersebar dalam 165 Humaniora Volume XV, No. 2/2003 Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual tiga kelas utama: tanda ikonik, tanda linguistik, dan tanda musikal (Aumont, 1983: 65-66).
    5. Pembahasan
    • Paramasastra Sinema: Ketika sinema sebagai suatu kreasi artistik mulai diperkenalkan di Prancis, selepas PD II, ada usaha-usaha untuk membangun paramasastra sinema (grammaires du cinéma) dalam rangka memahami sinema seni yang bergantung pada bahasa. Pendekatan sinema dalam model itu sangat menekankan upayanya pada pembentukan paramasastra (estetika) normatif. Melalui pendekatan estetika normatif tersebut, bahasa sinema tidak dioposisikan dengan sistem bahasa, tetapi justru beroposisi dengan sastra. Usaha ini, untuk sementara, dipandang masih menganutsuatu logika berpikir yang lazim. Artinya, paramasastra sinema tersebut dalam faktanya selalu berakhir pada rumusan bagaimana membuat film yang baik dan benar. Pendekatan model ini membekali peminat sinema (dan sineas) sederet panjang daftar ketidakbakuan, kekeliruan yang harus dijauhi, dan kesalahan-kesalahan fatal yang tidak boleh dilakukan—agar sutradara jangan terlalu sembrono mencetak efek-efek stilistika khusus.
    • Pintu Pertama Sinema: SemiopragmatikKekeliruan kaum tradisionalis dalammendekati sinema tidak lain sebetulnyabagian dari upayanya membangun kebenaranseni penayangan suatu zaman. Kebenaran fakta ini terlihat dari definisi yangdisusun Bataille (1978): ”Paramasastrasinema mempelajari kaidah-kaidah senipenayangan gagasan yang baik dan benar dalam rangkaian gambar animasi—yangmembentuk film”.Kebenaran yang ingin dibangun adalah kebenaran yang secara gramatikal pengeliruanrealitas riil sebab sebelumnya telah disepakati bahwa bahasa sinema bukanlah bahasa verbal. Sebagai perangkat ekspresi, bahasa sinema agaknya lebih tepat disebut sebagai bahasa universal. Sedemikian universalnya sehingga kata-kata tidak lagi mampu membungkus kebenaran universal dengan sewenang-wenang. Membaca keris dalam salah satu adegan film Bulan Tertusuk Ilalang karya Garin Nugroho, resepsi yang amat mungkin dirasakan adalah menelanjangi estetika normatif kultur kekerasan Jawa. Demikian juga dalam membaca Bukan suPermen, komedi televisual Deddy Mizwar, resepsi atas kebebasan sineas dalam komedi berniat menertawakan kesaktian para kyai. Pertanyaan yang kemudian muncul: dari mana sinema bisa dipahami sebagai bahasa? Ada sejumlah pintu yang mungkin dapat dimasuki. Pintu pertama yang mungkin dimasukiadalah semiopragmatik (semio-linguistik) versi Roger Odin, yakni versi yang mencoba memandang atau memahami film secara semiologis dengan pendekatan kebahasaan. Sebagai pendekatan, semiopragmatik cukup bergantung pada linguistik struktural model Saussure. Dalam tata kerjanya, pendekatan ini tidak lagi membicarakan penggunaan bahasa (sinema), tetapi justru mencoba memahami mekanisme bahasa (sinema). Dengan kata lain, memahami sinema melalui semiopragmatik mengimplikasikanbahwa segala sesuatu yang amat penting dalam sinema harus diuji terlebih dulu kepentingannya. Jika sesuatu yang penting secara sinematografis, tetapi tidak mengungkap relevansi semiolinguistik, hal itu akan disisihkan, misalnya permasalahan ekonomi (sinema sebagai industri), permasalahan administrasi (bagaimana berfungsinya organisasi-organisasi besar yang menguasai perfilman), permasalahan teknologi (konsepsi kamera, proyektor, film negatifnya), permasalahan sosiologi publiknya (bagaimana pengaruh film terhadap penontonnya, siapa sajakah penontonnya, dan seterusnya. Metz menegaskan bahwa semiopragmatik sinema mencoba membatasi objeknya sebatas pada keseluruhan film. Dalam pengertian ini, semiopragmatik membangun 166 Humaniora Volume XV, No. 2/2003 Muslikh Madiyant sebuah dikotomi fakta, yakni fakta sinematografis dan fakta filmis. Pada penyebutan fakta filmis telah dikenal sebelumnya sejumlah pendekatan, misalnya pendekatan sosiologis (film sebagai refleksi atau produk masyarakatnya), historis (sejarah suatu genre atau penelitian evolutifkarya-karya seorang sineas, atau bahkan analisis film-film periode historis tertentu), psikoanalisis (film sebagai konstruksi fantasme), estetika (film sebagai karya seni), dan seterusnya. Posisi yang dipilih semiopragmatik dalam pemahaman ini adalah dimensi kebahasaan fakta-fakta filmis. Dalam pilihan tersebut semiopragmatik harus menghadapi semacam percabangan objek. Pertama, penelitian yang mencoba memandang film sebagai karya senyatanya dalam pautannya untuk mempertegas singularitas dan totalitas penandaannya melahirkan suatu cabang yang dinamai analisis teks film. Kedua, penelitian yang mementingkan perspektif teori dalam upayanya untuk menjelaskan mekanisme-mekanisme produksi makna yang merupakan totalitas film melahirkan cabang berikutnya yang dinamai analisis bahasa sinema. Perbedaan yang mungkin diterka dari dua pendekatan di atas terdapat pada perbedaan dataran alamnya. Meskipun kelak perbedaan ini akan melahirkan banyak permasalahan, meskipun pula perbedaan itu akan memunculkan ragam-ragam model eksplikatif, agaknya analisis bahasa relatif lebih berpeluang. Dalih yang dapat diangkat dari pernyataan itu, analisis bahasa sinemamerupakan suatu kesungguhan upaya untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fungsifungsi (proses) suatu produksi makna pembentukkarya. Analisis tekstual film yang mendasarkan diri pada kerja interpretatif dihadang semacam kendala kriterium. Maksudnya, kriterium tekstual film belum ditemukan. Satu-satunya pintu kriterium yang mungkin dimasuki adalah kriterium internal yang, diakui atau tidak, memiliki suatu konsistensi validitas kriterium, yakni koherensif (analisisnya diharapkan tidak melawan asumsiasumsinya) dan ketuntasannya (memperhitungkan totalitas unsur penanda teks). Hanya saja, kriterium terakhir ini cenderung menitik pada aspek horisonnya, bukannyapada aspek objektifnya. Berdasarkan fakta di atas, satu-satunya kriterium evaluasi analisis tekstual adalah produktivitasnya. Analisis tekstual sebuah film hanya akan memiliki raison-d’êtrenya jika—dalam hal ini pembacaan filmnya berada pada visi penonton—memberi peulang suatu produksi pengetahuan riil. Hal itu bisa dicapai dengan menemukan sistem penandaan baru (analisisnya disetarakan dengan model pembacaan penonton, tetapi lebih variatif), atau pula dengan memahami semaksimal mungkin aspek-aspek tertentu sistem film. Analisis demikian kelak menjadi suatu metapembacaan yang mencoba mengangkat proses produksi makna dan situasi batin. Kedua sasaran tujuan ini tidak dapat dikatakan eksklusif karena keduanya mampu membentuk analisis dengan validitas memadai jika keduanya dipadukan. Masalah yang akan muncul dalam kasus analisis tekstual film bukan lagi pada perdebatan ilmiah dan tidak ilmiah, tetapi pada daya retorikanya, pada perangkat pemahaman sebuah teks dan pada kapasitas yang mampu menciptakan secara intersubjektif pengontrolan wacana pada teks yang dimanfaatkan sebagai sumber data (Eco, 1988:11). Antara analisis bahasa sinematografi dan analisis teks memang dipisahkan oleh pendekatan masing-masing dalam rangka membangun ambisi ilmiahnya karena telah dipahami bahwa derajat ilmiah antarilmu di luar semiologi tidaklah sama. Terlebih lagi jika ilmu tersebut dalam kinerjanya menjalankan kegiatan interpretasi.
    • Prinsip Penandaan Kode Sinema:Kode dalam pemahaman ini adalah sejumlah konfigurasi penanda yang berpautan langsung dengan suatu tipe (materi) ekspresinya. Pada pengertian ini terbetik suatu gagasan bahwa bahasa sinema adalah sebuah kode. Ringkasnya, penelitian tentang bahasa sinema adalah penelitian kode-kode yang mengintervensi bahasa. 167 Humaniora Volume XV, No. 2/2003 Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual Untuk memahaminya, terlebih dulu harus ditemukan prinsip-prinsip relevansinya dengan analisis bahasa dalam terminologi kode-kode. Roger Odin menawarkan sejumlah prinsip seperti berikut. Prinsip I : tidak mencampuradukkan pendekatan sistematik dengan pendekatan estetik (normatif). Prinsip II: tidak mencampuradukkan kode dengan sistem tekstual. Penelitian sistem tekstual bertautan dengan analisis tekstual (pesan-pesan film), penelitian kode-kode bertautan dengan analisis bahasa sinema. Prinsip III: semua bahasa harus dideskripsikan sebagai kombinasi kode-kode. Prinsip IV: kode-kode tidak tersedia sebelum analisis; analisis didahului oleh satuan-satuan bentukan yang bukan satuan-satuan teramati. Prinsip V: konstruksi kode-kode harus diadaptasikan pada relevansi penelitian. Kelima prinsip relevansi kode sinema tersebut di atas, secara implisit mempertaruhkan daya intuitif yang dimiliki penonton dalam hal fungsi-fungsi bahasa sinema. Namun,anehnya, justru intuisi yang selama ini membongkar mekanisme produksi suatu pengecohan (makna)—dan inilah, jika mau diakui, salah satu sasaran dan daya tarik penelitian bidang-bidang semiologi. Penelitian teks dan resepsinya dalam model Roger Odin—bagaimana bahasa menandai, memproduksi makna dan membentuk perangkat untuk mempengaruhi orang lain—sejatinya memang suatu pragmatisme. Isme tersebut tidak meletakkan penonton/ pembaca sebagai penonton/pembaca riil, tetapi sebagai institusi yang berperan penting dalam menghadirkan film sebagai sinema. Peluang yang mungkin dipetik dari semiopragmatik Odin, menurut persepi peneliti, adalah dimungkinkannya pengembangan pragmatik pada materi ekspresi lain.
    Semiolingusitik sinema merupakan
    upaya membangun bahasa sinematografi.
    Termasuk dalam upaya ini adalah
    menunjukkan mekanisme-mekanisme
    produksi makna dan memahami film
    untuk dapat dipahami.
    Secara gamblang dapat dikatakan
    bahwa semiolinguistik adalah cabang dari
    semiologi. Sebagai istilah yang terlanjur
    dikenal, definisi semiologi yang dipahamkan
    dalam penelitian ini adalah ilmu yang meneliti
    totalitas tanda (Barthes, 1957).
    Pilihan dasar teori tersebut merupakan
    suatu keputusan langkah karena semiologi
    bukanlah satu dan tidak pula hanya satusatunya.
    Dengan kata lain, membicarakan
    semiologi menuntut suatu penyikapan. Pada
    batas-batas tertentu, pengertian tanda dalam
    semiologi kini sudah mengalami semacam
    korosi dan pada batas-batas tertentu lainnya,
    kata meneliti menyembunyikan keragaman
    objek penelitian dan metode yang rumit.
    Meskipun demikian, sebelumnya harus
    sama disepakati bahwa tradisi semiologi
    (atau semiotik) memiliki dua tokoh besar. Di
    Eropa kita mengenal Ferdinand de Saussure
    (1857-1913) dan di Amerika kita mengenal
    Charles Sanders Pierce (1839-1914).
    Menurut Saussure (1988:33), semiologi
    merupakan suatu perluasan dari linguistik:
    Bahasa merupakan sistem tanda
    yang mengantarkan gagasan-gagasan
    dan sistem tersebut dapat ditilik pada
    tulisan, alfabet, ritus-ritus simbolik,
    bentuk-bentuk kesantunan, sinyalsinyal
    militer, dsb. Dalam posisi ini,
    bahasa merupakan pokok terpenting
    dalam sistem-sistem tersebut. Maka
    dengan sendirinya kita dapat menerima
    kehadiran ilmu yang meneliti kehidupan
    tanda-tanda di tengah-tengah masyarakat.
    Ilmu ini akan menjadi bagian dari
    psikologi umum dan dinamai semiologi
    (semion, tanda—Yunani). Ilmu ini akan
    mengajarkan kepada kita terdiri dari apa
    sajakah tanda-tanda itu dan kaidahkaidah
    apakah yang dimainkannya.
    Karena ilmu itu belum lagi ada, kita
    tidak bisa mengatakannya seperti apa;
    tetapi, ilmu itu berhak untuk mengada
    karena tempatnya sudah dipersiapkan
    sebelumnya.
    Sedangkan bagi Pierce (1978:120),
    semiotika merupakan logika:
    Logika, dalam arti luas, hanya
    akan memunculkan satu nama lain,
    yakni semiotika, yakni semacam doktrin
    tanda yang bersifat remi dan informal.
    168 Humaniora Volume XV, No. 2/2003
    Muslikh Madiyant
    Di tengah persimpangan dua konsepsi
    terkemuka ini, Roland Barthes sempat
    tergoda dalamkeraguan.
    Konsepsi pertama membangun semiologi
    sebagai suatu metode analisis-kritik
    kebiaasaan-kebiasan atau kelazimankelaziman
    sosial karena diperlakukan
    sebagai produsen penandaan (lebih jauh lihat
    dalam Mythologies, 1957).
    Konsepsi kedua menciptakan semacam
    translinguistik karena konsepsi ini ‘merebut’
    satuan-satuan terbesar penandaan wacana.
    Inilah yang kelak menyebabkan semiologi
    muncul sebagai suatu pengalihan lingusitikftastik
    dengan memanfaatkan sebuah
    lingusitik yang meneliti tipe-tipe produksi
    teks. Lazim, jika kemudian orang membicarakan
    semiotik wacana, semiotik puisi,
    semiotik naratif, dst.
    Dari upaya-upaya pengembangan itu
    harus ditambahkan lagi dengan upaya A.J.
    Greimas yang mengembangkan semiotik
    sebagai suatu teori umum tentang sistemsistem
    penandaan yang mampu mengurai
    proses-prose produksi makna (proses ini
    bermain dalam bahasa-bahasa verbal, nonverbal,
    atau dalam kenyataan sehari-hari)—
    yang pada saat bersamaan, proses semiologis
    itu oleh Umberto Eco dipandang
    sebagai bentuk paling konkret pada filsafat
    bahasa seperti yang pernah dipikirkan oleh
    Cassirer, Husserl, atau Wittgentein (1988:
    14)—yang kelak berkembang dalam semiologi
    kognitif yang diilhami oleh kecerdasan artifisial
    (Michel Colin), semiologi katastrofis (Jean
    Petitot) yang digayutkan dengan teori
    matematika René Thom.
    Kemajemukan ini diharapkan tidak
    membingungkan, sekurang-kurangnya pada
    dataran objek sasarannya. Sebagian semiolog
    mencoba membatasi diri pada fenomenafenomena
    komunikatif dalam arti yang akan
    hanya dipedulikan adalah proses penyampaian
    informasi yang menggunakan sistemsistem
    konvensional secara eksplisit seperti
    rambu-rambu lalu lintas, nomor telepon,
    sinyal militer, simbol kimia dan matematika,
    tanda-tanda grafis, semafor, nomor jalur bus,
    kamar hotel, dsb. Tokoh-tokoh paling
    representatif dalam semiologi komunikasi ini
    antara lain George Mounin, Eric Buyssens,
    Luis J. Prieto, dan Jeanne Martinet.
    Beberapa semiolog yang kurang setuju
    terhadap pembatasan objek penelitian
    semiologi membangun semiologi penandaan
    dalam rangka menemukan sebuah ilmu yang
    secara total mampu meneliti produk-prosuk
    makna dalam masyarakat. Di barisan ini
    Barthes (1957:79) berdiri terdepan.
    .... semiologi memiliki objek
    penelitian berupa sistem tanda apa saja,
    baik dalam wujud substansial dan
    nonsubstansial seperti gambar, tindaktanduk,
    bunyi melodius, benda-benda,
    dan substansi kompleks yang dapat
    ditemukan dalam ritus-ritus, protokolprotokol
    atau pertunjukan. Pada hakikatnya,
    semua itu membangun sistem
    penandaan.
    Sejatinya, di jantung semiologi sinema,
    semiolinguistik hanya salah satu pendekatan
    saja. Pendekatan-pendekatan di luar
    semiolinguistik agaknya terlalu bertele-tele
    jika disertakan dalam pembicaraan ini,
    terutama semiopsikoanalisis. Alasan yang
    mungkin dikemukakan rasanya masuk akal.
    Pertama, mahasiswa Ilmu Budaya
    sudah dibekali dasar-dasar linguistik.
    Logisnya, adalah lazim jika mempelajari
    sesuatu yang telah dikenali dari pada yang
    tidak dikenali sama sekali.
    Kedua, mempelajari semiopsikoanalisis
    menuntut suatu perubahan konseptual
    pedagogisnya. Berbeda halnya jika yang
    dipelajari adalah semiolinguistik.
    Ketiga, mempelajari semiolinguistik
    merupakan suatu usaha pendekatan privilese
    dengan dasar pemikiran: di satu pihak
    bahasa merupakan sistem tanda bahasa
    yang paling dikenali dewasa ini dan, di pihak
    lain, pemikiran ini memang mendasarkan diri
    pada salah satu pemikiran Saussure (1972:
    101): “ilmu bahasa dapat dijadikan sebagai
    sumbernya sumber semiologi, meskipun di
    dalamnya bahasa manusia hanya merupakan
    salah satu sistemnya saja”.
    Perbedaan peristilahan antara semiotik
    dan semiologi berkaitan dengan masalah
    kebiasaan. Di Prancis, penyebutan semiotik
    selalu dihubungkan dengan teori makna yang
    dikembangkan Greimas. Dalam pemahaman
    ini semiotik adalah ilmu yang meneliti
    169 Humaniora Volume XV, No. 2/2003
    Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual
    produksi makna secara umum. Dengan
    demikian, semiotik Greimas berposisi dengan
    linguistik dan semiologi yang meminati objekobjek
    khusus. Linguistik dipahami sebagai
    ilmu yang meneliti bahasa-bahasa komunikasi
    manusia (Indonesia, Prancis, dsb), sedangkan
    bahasa-bahasa non-natural atau artifisial
    (bahasa informatika, misalnya) tidak diminati
    linguistik. Sementara itu, semiologi dipahami
    sebagai ilmu yang meneliti bahasa yang
    bukan bahasa-bahasa natural seperti
    lukisan, musik, fotografi, sinema, dst.
    5.4 Semiolinguistik Struktural
    Secara historis, semiolinguistik berkembang
    dari reruntuhan kegagalan epistemologi
    grammaire traditionelle yang
    diperkenalkan oleh linguistik struktural.
    Paramasastra tradisional adalah semacam
    upaya untuk membakukan pemakaian
    bahasa secara baik dan benar. Paramasastra
    seperti ini adalah model yang mengumpulkan
    kesalahan-kesalahan yang
    harus dihindari dan berakibat fungsi bahasa
    tidak terjelaskan. Yang paling dirasakan di
    kelak kemudian hari adalah tidak terwakilinya
    kompetensi linguistik para pemakai bahasa.
    Sementara, norma-norma bahasa itu sendiri
    selalu dipautkan dengan pengarang-pengarang
    yang bereputasi di soal menulis.
    Contoh-contoh yang diajukan paramasastra
    tradisional itu, dengan sendirinya,
    menacampuradukkan antara bahasa tulis
    awam dengan bahasa tulis sastra. Wajar jika
    kemudian paramasastra ini lebih pantas
    disebut sebagai estetika normatif.
    Linguistik struktural menolak hegemoni
    paramasastra itu dengan cara membangun
    pendekatan melalui analisis deskriptif dan
    eksplikatif terhadap semua produk bahasa.
    Dalam analisis struktural yang diutamakan
    bukan lagi penggunaan bahasa, tetapi
    mencoba memahami mekanisme-mekanisme
    fungsi bahasa. Menurut Saussure, dasar
    pemikiran linguistik struktural adalah tata
    kerja konstruksional.
    Konstruksi tersebut meliputi penolakanpenolakan.
    Bagi Saussure, penolakan ini
    antara lain menolak parole (cara menggunakan
    bahasa pada individu—tuturan aktual)
    sebagai objeklinguistik. Persoalannya
    sederhana, linguistik adalah ilmu yang
    meneliti sistem bahasa—yang menjadi
    bagian sosial di luar bahasa individu, yang
    tidak diciptakan atau direkayasa olehnya.
    Meski oposisi langue/parole terbilang
    usang, tetapi proses penyisihan objek
    penelitian adalah fundamental bagi pendekatan
    linguistik (dan ilmu-ilmu lainnya).
    Tata kerja linguistik struktural yang
    kedua adalah membangun sistem yang
    memberi peluang penjelasan fungsi keseluruhan
    produk bahasa. Dalam pemahaman
    ini setiap bahasa manusia senantiasa
    terbentuk oleh sistem-sistem seperti sistem
    bunyi (fonem), sistem bentuk dan kata
    (morfem dan semantem). Sistem-sistem ini
    bersifat koheren, antara satu dengan lainnya
    saling bergantung.
    Saussure memberi contoh permainan
    catur. Setiap orang yang ingin bermain catur
    tidak perlu mempelajari sejarah catur yang
    dibawa dari Persia ke Eropa (eksternal),
    yang penting dipelajari adalah sistem-sistem
    dan kaidah permainan catur (internal). Jika
    bidak catur dari gading diganti dengan bidak
    terbuat kayu, hal itu tidak akan mengubah
    sistem apa pun. Persoalannya akan lain
    ketika bidak itu dikurangi atau ditambahi,
    perubahan itu akan mengubah paramasastra
    permainan catur.
    Untuk alasan itulah linguistik struktural
    menolak semua penjelasan yang bersifat
    ekstralinguistik. Prinsip ini disebut dengan
    nama imanensi.
    Pada opsi itulah semiolinguistik sinema
    dibangun.
    5.5 Pendekatan Bahasa Nonsemiolinguistik
    Tidaklah bijak mendefinisikan semiolinguistik
    sinema dengan mengabaikan
    definisi-definisi yang terlanjur ada sebelumnya,
    meski definisi itu berada di luar pendekatan
    kebahasaan.
    Sebelum semiologi terlibat dalam
    sinema, sudah banyak teks yang membicarakan
    sinema dalam perspektif lain.
    Di antara sekian banyak teks yang
    terkumpul, disusunlah empat kelompok jenis
    teksnya.
    170 Humaniora Volume XV, No. 2/2003
    Muslikh Madiyant
    1. Teks-teks yang ditulis oleh para sineas
    itu sendiri: Lev Koulechnov, Dziga Vertov,
    S.M. Eisenstein, V.I. Poudovkin, Jean
    Epstein, Marcel Pagnol, René Claire,
    dst.
    2. Teks-teks yang ditulis oleh kritikus film:
    André Bazin, Serge Daney (dalam harian
    tabloid Libération), dst.
    3. Teks-teks yang berminat membangun
    teori sinema: Rudolf Arnheim, Bela
    Balazs, Etienne Souriau, Gilbert Cohen-
    Séat, Edgar Morin, Jean Mitry, dst.
    4. Teks-teks yang berambisi pada didaktik
    seperti tulisan François Chevassu atau
    Marcel Martin.
    Teks-teks yang dikelompokkan dalam
    klasifikasi umum ini mencoba mempertahankan
    konsepsi sinema. Posisi teksnya
    bisa bergulir dari sineas ke non-sineas,
    sedangkan pendekatan yang ditempuhnya
    estetik normatif.
    Selain teks-teks itu, ada karya-karya lain
    yang mencoba memposisikan diri sebagai
    paramasastra sinema. Teks yang paling
    dikenal adalah Grammaire cinématographique
    tulisan Robert Bataille (1947) dan
    Essai de grammaire sinématographique
    karangan André Berthomieu (1946).
    Biasanya, teks-teks tersebut memiliki
    konsepsi yang sama dengan paramasastra
    tradisional.
    “Karena yang dihadapi adalah suatu
    modus bahasa baru, diperlukan definisidefinisi
    dan kaidah-kaidah untuk ditegaskan
    pada satu titik...Maka calon
    sineas harus memiliki pemandu untuk
    mempelajari pengarang bermutu”
    (Bataille dalam Introduction).
    Untuk itulah pengarang perlu dijadikan
    referensi konstan.
    “Sineas harus berkinerja layaknya
    pengarang yang, setelah memilih katakata
    dalam rangka untuk mengeliminasi
    kesadaran atau ketaksadaran, dan
    menempatkannya dalam susunan
    tertentu, mengubah sebuah kata dan
    akibatnya mengubah susunan kalimat
    dan hal ini membawa akibat pada
    perubahan kata-kata lainnya.”(Bataille)
    Lazim pula jika kemudian André
    Berthomieu memperkenalkan prinsip
    fundemantal skenario pada pengantar Pierre
    et Jean karya Guy de Maupassant.
    Tujuan utama paramasastra itu adalah
    pencapaian sedapat mungkin bon style
    cinématographique atau un style harmonieux
    melalui pengetahuan ‘kaidah-kaidah fundamental’
    dan ‘kaidah-kaidah yang pasti’ yang
    menggerakkan konstruksi sebuah film.
    Dalam paramasastra ini segala sesuatunya
    didatarkan pada aspek-aspek yang
    efektif saja. Kebakuan memang menjadi
    kemutlakan dalam paramasastra ini. Sebagai
    contoh, pengambilan gambar harus mengikuti
    kaidah-kaidah paramasastra gambar
    jika menginginkan efek dramatik suatu
    adegan. Adalah tabu, misalnya, menggerakkan
    kamera secara tiba-tiba membidik
    close-up sebuah objek. Jika kamera sudah
    mengarah pada satu arah, saat menembak
    suatu objek, gambar berikutnya harus
    digerakkan ke arah yang sama.
    Lazimlah jika paramasastra sinematografi
    menyusun daftar kekeliruan yang tidak
    boleh dilakukan, kesalahan gawat yang
    harus dihindarkan, ketidakumuman yang
    tidak boleh dikerjakan. Itu semua demi
    pencapaian gaya khusus yang akan membantu
    sineas memiliki style.
    Pendeknya, estetika yang digerakkan
    oleh paramasastra tadi sama sekali analog
    dengan paramasastra tradisional yang terjadi
    pada bahasa. Keduanya menghendaki
    segalanya harus transparan (“Teknik paling
    dahsyat adalah teknik yang tidak kasat
    mata,” Berthomieu); harus berbau realisme
    (“Gambar haruslah menyajikan kebenaran,”
    Bataille); harus tepat, jelas, dan seimbang
    (Bataille).
    Pada akhirnya dicapailah definisi tata
    bahasa sinematografi:
    Paramasastra sinematografi mempelajari
    kaidah-kaidah yang menuntun seni
    penayangan secara baik dan benar
    sejumlah gagasan melalui rangkaian gambar
    animasi untuk membentuk sebuah film.
    171 Humaniora Volume XV, No. 2/2003
    Sinemasastra: Mencari Bahasa di dalam Teks Visual
    6. Kesimpulan
    Jati diri esensial semiolinguistik adalah
    keterputusannya dengan pendekatan estetik
    normatif tradisional.
    Tentu saja, keterputusan ini tidak bersifat
    fatal dan drastis. Fakta mempelihatkan
    bahwa pendekatan normatif itu hingga kini
    belum tergantikan oleh semiologi. Sampai
    hari ini, sebagian besar tulisan tentang
    sinema masih menggunakan pendekatan
    normatif. Kritikus, sutradara, danbahkan
    buku-buku teori sinema masih terbukti menggunakan
    estetika normatif.
    Kenyataan tersebut harus diterima
    sebagai suatu koeksistensi.
    Teks-teks normatif tersebut memiliki
    tugas dan fungsi tersendiri, seperti memberikan
    kontribusi pada putaran mesin
    sinema, merangsang emulasi di kalangan
    sutradara, dan terutama untuk menggiring
    perhatian penonton pada film.
    Ringkas kata, teks-teks normatif tersebut
    menciptakan dinamika di ranah
    sinematografi sebagai kelaziman soal jika
    diingat teks merupakan bagian tak terpisahkan
    darinya.
    Semiolinguistik sinema dalam kasus ini
    tidak menjadi substitusi teks-teks normatif
    tersebut. Semiolinguistik adalah hal lain,
    yakni menempatkan dirinya di ruang lain,
    yakni di luar ranah sinematografi karena ruang
    disiplinnya memang berbeda.
    Di sisi lain, relasi antara pendekatan
    linguistik dengan studi bahasa sinemato-grafi
    terbilang amat terlambat jika ditilik dari
    perkembangan linguistik yang sudah
    merangsek ke seluruh bidang. Satu hal lain
    yang harus dicatat, semua pendekatan
    sinema yang berbasis linguistik secara de
    fakto bukanlah semiolinguistik.
    Dua contoh yang menarik dapat diajukan.
    Hingga kini masih terdengar pendapat
    yang menyebutkan teks-teks formalis Rusia
    merupakan upaya pertama pendekatan
    semiologi sinema dalam pengertian para
    formalis tersebut menulis tentang film berbais
    analisis linguistik.
    Sejatinya, pemanfaatan analisis linguistik
    para formalis Rusia dalam sinema secara
    masif masih normatif. Target kaum formalis
    ini selalu puitika (dipakai dalam judul kumpulan
    artikel kelompok Poetika Kino di Moskow),
    atau stilistik (salah satu artikel pokok Boris
    Eichenbaum yang berjudul Permasalahan
    sine-stilistika).
    Fakta ini sesungguhnya ingin mengatakan
    bahwa estetika Formalis masih mencoba
    mempertahankan diri khas formalis Rusia:
    mengopsisikan art versus non-art.
    DAFTAR PUSTAKA
    Aumont, Jacques, et al. 1983. Esthétique
    du cinéma. Nathan, Paris.
    Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Seuil,
    Paris.
    Bataille, Robert. 1978. Théorie du cinéma.
    CinémaAction No. 20, Paris.
    Bertomieu, André. 1946. Essai de grammaire
    cinématographique. La Nouvelle Edition,
    Paris.
    ____________. 1975. En sortant du cinéma.
    Communications No. 23, Paris.
    Garcies, André. 1993. Le Récit filmique.
    Universitaires de Frances, Paris.
    Madiyant, Muslikh. 1996. “Sastra Bandingan:
    Metode dan Permasalahannya”. Fakultas
    Sastra, Universitas Gadjah Mada,
    Yogyakarta.
    ____________.1998. “Estetika Sinema
    Elektronik dalam Kasus Si Doel Amak
    Sekolahan” dalam Humaniora No. 7
    Edisi Januari-Maret, Yogyakarta.
    Metz, Christian. 1977. Le Signifiant
    imaginaire. U.G.E., Paris.
    Odin, Roger. 1990. Cinéma et production des
    sens. Armand Colin, Paris.
    Pierce, Ch.S. 1932. Collected Papers. Cambridge,
    London.
    Saussure, Ferdinand de. 1972. Cours de
    linguistique générale. Payothèque,
    Paris.
    Source URL: https://pokbongkoh.blogspot.com/2009/11/163-humaniora-volume-xv-no.html
    Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection

0 comments:

Post a Comment