FREE DOWNLOAD PICTURE
MORE INFO ABOUT WALLPAPER
Thursday, November 12, 2009

bahasa dan filsafat

    A. Pengantar
    Ketika manusia mulai menyadari bahwa kepercayaannya melalui mitos primitifnya sia-sia, bahwa alam tidak bisa dibujuk bukan karena enggan memenuhi permintaan manusia, melainkan karena tidak mampu memahami bahasa manusia dan kesadaran itu tentunya menimbulkan kekecewaan. Peristiwa ini mengharuskan manusia menghadapi masalah baru yang merupakan titik balik dan krisis dalam hidup intelektual mau­pun hidup moralnya. Sejak itu manusia menemukan dirinya dicekam kesendirian yang mendalam, rentan terhadap kesepian yang mendalam yang membawa manusia untuk merenungkan dunia sekitarnya. Dalam pengertian inilah dalam sejarah manusia mulai sadar melihat hubungan bahasa dengan realitas dari sudut yang berbeda. Fungsi magis kata mulai memudar, diganti oleh fungsi semantis. Kata tidak lagi memuat daya-daya misterius su­pernatural, tidak lagi memiliki pengaruh jasmaniah atau adikodrati secara langsung. Kata tidak dapat mengubah alam benda-benda, ka­ta tidak dapat mengubah kehendak dewa-dewa atau roh-roh, na­mun demikian kata bukanlah tanpa arti dan tanpa kekuatan. Kata bukanlah sekedar flatus vocis, bukanlah letupan angin semata-ma­ta, yang menentukan kata bukanlah ciri fisiknya melainkan ciri logisnya. Secara fisik kata boleh dikatakan tanpa daya, akan tetapi secara logis kata diangkat ke tingkat lebih tinggi, bahkan terting­gi. Logos menjadi prinsip alam semesta dan menjadi prinsip pertama bagi pengetahuan manusia. Demikianlah kiranya sejarah filsafat Yunani telah akrab dengan bahasa dalam mengungkapkan refleksi filosofisnya. Diskursus melalui bahasa dan tentang bahasa dalam menyibak hakikat realitas telah marak dilakukan oleh para filosof sejak zaman pra Sokrates.
    Sekalipun terdapat perbedaan perhatian para filosof abad per­tengahan dengan zaman Yunani namun bahasa masih merupakan teman akrab dalam kegiatan refleksi filosofisnya. Hal itu berlansung sung sampai zaman modern dan kemudian disusul filsuf-filsuf abad XX justru semakin menyadari bahwa kekaburan, kelemahan, dan ketidakjelasan konsep-konsep filosofi dapat dijelaskan melalui analisis bahasa. Pada era inilah para filsuf analitik berkiprah menjelaskan mengkritik dan mengungkapkan konsep-konsep filo­sofisnya melalui anaIisis bahasa. Bersamaan dengan itu merebak pula reaksi tokoh-tokoh Postmodernisme yang mengakar keberba­gai bidang kehidupan manusia yang sekali lagi juga menggunakan media bahasa sebagai dasar pijaknya terutama konsep dekonstruk­sinya.

    B. Zaman Yunani

    1. Masa Pra Sokrates
    Bangsa Yunani sejak lima dikenal sebagai bangsa yang gemar akan olah pikirnya. Manusia dengan kemampuan kodratnya yang dianugrahkan oleh Tuhan berupaya memahami hakikat realitas segala sesuatu termasuk Tuhan sendiri. Namun demikian bagi bangsa Yunani sebelum para filsuf hadir dengan kemampuan refleksifnya, bahasa merupakan media pengungkapan daya magik dalam komunikasinya dengan para Dewa dan kekuatan super natu­ral lainnya. Ekspresi mitis dan primitif ini membawa manusia pada kegoncangan jiwanya mereka menjadi semakin sepi dan merasa­kan adanya krisis intelektualitas.
    Kembara refleksi intelektual ini terjadi pada awal filsafat Yu­nani, terutama Herakleitos yang oleh Aristoteles dalam metafisika­nya disebut `para fisiologis kuno' (hoi arkhoioi phisiologoi). Seluruh minat Herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia terdapat ada yang murni sebagai dunia ideal. Menurutnya tidak ada sesuatu yang difinitif melainkan segala sesaatu yang ada senantiasa ‘sedang menjadi ' yang terke­nal dengan ungkapan ‘panta rhei ' artinya semua mengalir, di da­lam dunia jasmani tidak ada sesuatupun yang tetap, semuanya ber­ubah terus-menerus (Bertens, !989 : 10). Dengan demikian Hera­kleitos tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, namun ia mencari prinsip perubahan. Menurut Herakleitos prinsip ini tidak dapat ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia material melain­kan dunia manusiawi. Dalam dunia manusiawi ini kemampuan berbicara menduduki tempat sentral. Kita harus memahami arti ucapan-ucapan agar dapat memahami arti alam semesta. Bilamana kita gagal menemukan pendekatan ini melalui medium bahasa dan bukannya melalui fenomena fisik belaka maka kita gagal pula da­lam menemukan pintu gerbang filsafat. Bahkan dalam pemikiran Herakleitos pun, kata 'logos' bukan semata-mata gejala antropolo­gis , namun kata `logos' juga mengandung kebenaran kosmis uni­versal. Namun kata tidak lagi dilihat sebagai kekuatan magis, me­lainkan dipahami dalam fungsi semantis dan simbolis.
    Dengan demikian, pemikiran filsafat Yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa (Cassirer, 1987 :170). Bahkan masa Herakleitos ini disebut sebagai asal mula filsafat ba­hasa (Borgmann, 1974 : 3). Terdapat beberapa kesulitan baru yang menyangkut masalah arti. Masalah "arti dari arti" merupakan ma­salah yang kontroversial, bahkan sampai dewasa inipun masalah itu terdapat beranekaragam pendirian yang dikemukan oleh para filsuf, linguis maupun para psikolog. Filsafat Yunani kuno hanya mampu memecahkan melalui prinsip yang secara umum diterima dan sangat mapan. Semua mazhab mulai dengan pengandaian-pengandaian bahwa fakta pengetahuan tidak akan dapat dipertang­gungjawabkan tanpa adanya identitas antara subjek yang mengeta­hui dan realitas yang diketahui. Idealisme dan realisme, biarpun mereka berbeda dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, sebe­narnya sama-sama menerima kebenarannya. Parmenides menan­daskan bahwa kita tidak dapat memisahkan ada dan berpikir, karena keduanya satu dan sama. Para filsuf alam memahami dan menafsirkan identitas ini dari segi yang betul-betul bersifat mate­rial. Bila kodrat manusia kita analisis, maka akan ditemukan bah­wa unsur-unsur yang terdapat dalam manusia juga ditemukan di dalam dunia fisik. Pengetahuan tentang makrokosmos dimungkin­kan karena mikrokosmos merupakan bagian sistem yang harmonis. Sebab berkat bumilah, kata Empedokles kita melihat bumi, dengan air kita melihat air, dengan udara kita lihat udara yang cerah. dengan api kita lihat api yang kadangkala merusak, dan dengan cinta kita lihat cinta, bahkan dengan benci kita melihat benci yang menyedihkan.
    Bilamana teori umum ini diterima maka persoalan kemudi­an adalah apa "arti dari arti" ? Secara ontologis pertama-tama dan yang terpenting adalah arti harus diterangkan dan sudut ada, kare­na ada yang menjelaskan substansi rnerupakan kategori yang pa­ling umum yang mengikat dan menyatukan kebenaran dengan rea­litas. Sepatah kata tidak dapat memberi arti pada suatu benda bila tidak ada sekurang-kurangnya identitas sebagian di antara kedua hal tersebut. Hubungan antara simbol dengan objeknya haruslah natural bukan semata-mata konvensional. Perbincangan hakikat bahasa pada zaman itu menjadi semakin marak tentang pendapat bahwa apakah bahasa itu sebagai konvensi atau bersifat alamiah.
    Pertentangan antara `Fisei' dan 'Nomos'
    Perhatian para filsuf terhadap bahasa nampaknya menjadi semakin kental, dan saat itu kemudian munculah persoalan filoso­fis yaitu apakah bahasa itu dikuasai oleh alam, nature atau fisei ataukah bahasa itu bersifat konvensi atau nomos.
    Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa adalah bersifat alamiah (fisei) yaitu bahwa bahasa mempunyai hubungan dengan asal usul sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tak dapat di­ganti di luar manusia itu sendiri dan karena itu tak dapat ditolak. Kemudian hal itu dengan sendirinya dilanjutkan dengan upaya menginterpretasi makna. Kaum naturalis dengan tokoh-tokohnya seperti Cratylus dalam dialog Plato mengatakan bahwa semua kata pada umumnya mendekati benda yang ia tunjuk. Jadi ada hubung­an antara komposisi bunyi dengan apa yang dimaksud. Kaum naturalis selanjutnya mengutarakan bahwa bahasa bukanlah hanya bersifat fisis belaka melainkan mencapai makna secara aiamiah atau 'fisei'. Komposisi fonetik adalah cermin komposisi benda. Dari pengertian ini lahirlah usaha-usaha orang untuk mencari sum­ber sebuah kata atau disebut `etimologi', menyusun daftar kata­-kata peniru bunyi ( 'onomatopoeia.' ), ciri-ciri atau 'sound sym­bolism’ baik bersifat imitatif dan sugestif (1 , o, u, ) metafora (hu­bungan) antara sumber pertama dengan aplikasi kedua, misalnya leher botol, kaki meja, dan sebagainya.
    Sebaliknya kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan-kebiasaan beru­pa 'tacit agreement' yang artinya 'persetujuan diam'. Karena hal ini merupakan tradisi maka dapat dilanggar dapat berubah dalam perjalanan zaman. Bahasa bukanlah pemberian Tuhan, melainkan bahasa bersifat konvensional. Dalam dialog Plato pendapat ini di­wakili oleh Hermogenes.
    Demikianlah kiprah para filsuf bahasa yang mencoba mene­mukan hakikat bahasa. Memang diakui bahwa dalam kenyataannya bahasa tidak dapat dipasung melalui satu mazhab saja nielainkan bahasa memang memiliki sifat konvensional namun juga terdapat ciri-ciri fisei walaupun hal itu meliputi jumlah yang banyak.

    Kaum Sofis
    Sekitar pertengahan abad 5 S. M. Athena menjadi pusat baru seluruh kebudayaan Yunani. Pada waktu itu di bidang politik Athena memainkan peranan yang sangat penting di bawah pimpin­an Perikles. Demikian pula waktu itu filsafat juga berpusat di Athena. Terdapatlah suatu golongan yang biasanya dinamakan So­fistik, sehingga penganut-penganutnya dinamakan kaum Sofis. Mereka terkenal di seluruh Yunani karena keahliannya dalam bidang retorika, fasih lidahnya dan berkeliling dari kota ke kota untuk melatih kaum muda dalam bidang keahlian berpidato. Kaum Sofas ini mulai menekuni bahasa mengadakan pembedaan tipe-tipe kalimat berdasarkan isi dan maknanya, mungkin berdasarkan strukturnya. Protagoras sebagai tokoh kaum Sofas ini membedakan tape-tape kalimat atas 7 tipe yaitu : narasi, pertanyaan, jawaban, perintah, laporan, doa, dan undangan. Hal ini nampaknya mirip dengan konsep J.L. Austin yang membedakan bahasa atas tindakan dalam menggunakan bahasa. Adapun Gorgias membedakan ten­tang gaya bahasa yang dewasa ini dikenal dalam studi bahasa seca­ra luas ( Parera, 1977 : 42 ).
    Dalam kaitannya dengan filsafat bahasa kaum Sofiss menge­mukakan bahwa dalam membahas hakikat bahasa yang memain­kan peranan utama bukanlah metafisika melainkan filsafat manu­sia. Sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Protagoras bahwa manusia menjadi pusat semesta, manusia adalah merupakan pusat segala-galanya. Mencari keterangan tentang bahasa dunia benda-benda fisik merupakan usaha yang sia-sia dan tak berguna. Kaum Sofis menemukan pendekatan baru yang lebih sederhana untuk mendekati bahasa manusia. Untuk tujuan ini mereka mengembangkan cabang pengetahuan baru yaitu 'retorika '. Dalam definisi mereka tentang 'kebijaksanaan' (sophia), retorika menduduki tempat sentral. Semua pertikaian tentang `kebenaran’ atau 'ketepatan' (orthotes), istilah dan kata menjadi sia-sia dan berlebihan. Kata-kata tidak dimaksudkan mengekspresikan sifat benda-benda. Kata-kata tidak memiliki korelasi objektif. Tugas bahasa yang nyata bukanlah untuk melukiskan benda-benda mela­inkan untuk membangkitkan emosi manusia, bukan hanya untuk menyampaikan gagasan-gagasan atau pikiran-pikiran saja, melain­kan untuk mendorong orang agar mengambil tindakan-tindakan tertentu.

    2. Sokrates
    Kaum Sofis yang dikenal dengan kemahirannya dalam olah penggunaan bahasa terutama melalui retorikanya, senantiasa aktif mengembangkan dan mengangkat masalah-masalah filsafat untuk diperdebatkan secara kritis. Kaum Sofis inilah yang membawa perubahan terhadap corak pemikiran filsafat di Yunani yang semu­la terarah pada kosmos menjadi terarah pada teori pengetahuan dan etika.
    Sejalan dengan sifat kaum Sofis yang dalam arena perdebat­an filsafat tidak mudah menyerah, maka muncullah persoalan dasar-dasar teori pengetahuan dan etika. Dalam diskusi filsafat mere­ka tidak memiliki kesepakatan tentang dasar-dasar umum yang berlaku bagi kedua teori tersebut. Mereka hanya mencapai kese­pakatan mengenai satu hal kebenaran yang sesungguhnya tidak mungkin dapat tercapai, yaitu segala sesuatu hanya bersifat nisbi , oleh karena itu harus diragukan kebenarannya.
    Menanggapi kondisi kacau akibat kelicinan kaum Sofis terse­but Sokrates merasa terpanggil untuk meluruskanya dengan suatu metode 'dialektis-kritis'. Proses dialektis kritis dalam hal ini me­ngandung suatu pengertian " dialog antara dua pendirian yang bertentangan atau merupakan perkembangan pemikiran dengan me­makai pertemuan (interplay) antar ide (Titus, 1984 : 17).
    Sokrates dalam menerapkan metode dialektis kritis itu tidak begitu saja menerima suatu pengertian sebelum dilakukan pengu­jian-pengujian untuk membuktikan benar atau salahnya. Oleh ka­rena itu ia selalu meminta penjelasan-penjelasan tentang sesuatu pengertian dari orang yang dianggap ahli dalam bidangnya. Misal­nya ia bertanya kepada seorang seniman tentang apa yang dimak­sud dengan "keindahan", kepada seorang panglima tentang makna "keberanian", dan kepada seorang pemimpin tentang makna "kea­dilan" dan lain sebagainya ( Bakker, 1984 : 28 ). Setelah diperoleh penjelasan dari ahlinya, kemudian Sokrates mengajukan serangkai­an pertanyaan mengenai dasar-dasar pemikiran para ahli itu ten­tang apa atasan mereka sehingga memiliki pandangan yang demikian. Jadi Sokrates senantiasa menuntut para ahli untuk mem­pertanggungjawabkan pengetahuannya dengan atasan yang benar. Apabila diperoleh suatu jawaban yang memang benar yang didu­kung oleh atasan yang benar, maka ide yang telah teruji tadi diterimanya sebagai pengetahuan yang benar untuk sementara se­belum dilakukan pengujian lebih lanjut melalui metode komparasi (perbandingan). Akan tetapi jikalau lawan dialog itu tidak mampu mengajukan argumentasi yang benar mengenai pengertian yang diungkapkannya, maka ide yang dilontarkan akan disisihkan oleh Sokrates, karena dianggapnya tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Dengan menggunakan metode dialektis kritis inilah nampaknya Sokrates mampu mengatasi kemelut filososfis melalui perdebatan yang ketat. Kaum Sofis yang lazimnya tidak begitu saja mudah menyerah dengan kefasihannya dalam setiap perdebatan ternyata mengakui keuletan dan akurasi metode sokrates dalam menjelaskan makna melalui analisis bahasanya dialektis kritis. De­ngan metode itu tujuan utama Sokrates adalah untuk menjernihkan pelbagai problema filosofis yang selama ini dikacaukan oleh kaum Sofis. Dapat pula dikatakan bahwa dengan metode dialektis kritis ini Sokrates melakukan penyembuhan (therapy) yang terjadi dalam bidang filsafat pada masa itu, terutama yang ditimbulkan oleh kaum Sofis. Metode therapy yang dilakukan oleh Sokrates terhadap kakacauan makna yang merupakan penyakit kronis yang ditimbulkan oleh kaum Sofis ini nampaknya juga dilakukan oleh para filsuf analitik dalam menyembuhkan obrolan omong ko­songnya kaum Idealisme yang dianggapnya tidak bermakna. Metode yang digunakan oleh Sokrates dengan metode yang dikembangkan oleh kaum Sofis dengan retoriknya nampaknya me­mang terdapat perbedaan yang sangat tajam, namun demikian ke­duanya memiliki kesamaan yaitu menjelaskan konsep-konsep filosofis melalui bahasa.




    3. Plato

    Plato seorang filosof dari Athena dalam menuangkan karya-­karya filosofisnya diwujudkan melalui bentuk dialog. Persoalan di­kotomi tentang hakikat bahasa ‘fisei ' dan 'nomos' tertuang dalam dialog Cratylus dan Hermogenes. Hubungan antara simbol dengan objeknya haruslah natural tidak semata-mata konvensional. Tanpa hubungan natural seperti itu, suatu kata dalam perbendaha­raan bahasa manusia takkan dapat dipahami. Bila pengandaian ini bersumber pada teori umum pengetahuan bukannya pada teori bahasa maka diperlukan suatu upaya pemecahanya. Dalam persoalan inilah Plato mengemukakan doktrinnya yang disebut 'onomatopoeia' (Cassirer, 1987 : 171). Filsafat bahasa Plato inilah yang mampu menjembatani jurang antara nama-nama dengan benda-benda. Ulasan Plato terhadap teori yang mengatakan bahwa semua bahasa berasal dari peniruan bunyi-bunyi berakhir dengan ejekan dan karikatur. Namun demikian tesis Plato tersebut selama beberapa abad tetap bertahan. Bahkan sampai dewasa ini kepus­takaan bahasa masih merupakan bahan pembahasan walaupun tidak merupakan satu-satunya teori dalam ilmu bahasa.
    Keberatan terhadap teori Plato ini menunjuk pada fakta bahwa ketika menganalisis kata-kata dalam pembicaraan sehari-­hari, kita sering sungguh-sungguh tidak bisa menentukan kemirip­an yang diduga ada antara bunyi-bunyi dengan benda-benda. Kesu­litan ini bagaimanapun juga dapat disingkirkan dengan menunjuk fakta bahwa bahasa manusia sejak semula rentan terhadap peru­bahan dan kerusakan. Maka kita tidak boleh berhenti pada keadaan yang sekarang. Bilamana kita hendak mengusut lebih lanjut ikatan yang menyatukan antara kata-kata dengan objeknya, maka kita harus menelusuri kata-kata sampai pada sumber-sumbernya. Dari kata-kata derivatif kita harus kembali kepada kata-kata primer, kita harus menemukan 'etimon ' atau bentuk murni dan bentuk asal dari tiap-tiap kata. Menurut prinsip ini sebenarnya etimologi tidak ha­nya menjadi dasar dalam linguistik melainkan justru menjadi salah satu datar filsafat bahasa.
    Lebih lanjut Plato mengemukakan pemikiran filosofisnya tentang bahasa dalam dialog Cratylus, bahwa bahasa pada hakikat­nya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan 'ono­mata ' dan 'rhemata ' yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut. Platolah yang pertama-tama mem­bedakan kata dalam 'onoma' dan 'rhema' (Parera, 1983 : 43) . Pe­ngertian 'onomata' jamaknya `onoma' dapat berarti nama (dalam bahasa sehari-hari), nomen, nominal menurut istilah tata bahasa, subjek dalam hubungan subjek logis. 'Rhemata' jamaknya `rhema' dapat berarti frase atau ucapan dalam bahasa sehari-hari, verb, verbal dalam istilah tata bahasa dan predikat dalam hubungannya dengan predikat logis. 'Onoma ' dan 'rhema ' merupakan anggota dari 'logos' yang berarti suatu segmentasi bahasa baik berupa frase klausa, maupun kalimat. Nampaknya Plato telah banyak menuang­kan konsep-konsepnya berkaitan dengan hakikat bahasa yang da­lam kenyataannya sampai saat ini merupakan dasar pijak bagi pe­ngembangan ilmu bahasa.

    4. Aristoteles

    Aristoteles seorang filsuf yang jenius dari Stagira yang me­miliki karya yang cukup banyak dan pemikiran-pemikirannya sam­pai saat ini masih relevan dengan ilmu pengetahuan. Misalnya ten­tang prinsip kausalitas, logika, kategori demikian pula tentang fil­safat bahasa. Ia sebagai salah seorang dari padepokan Akademia Plato di Athena dan dia belajar sampai Plato meninggal.
    Aristoteles mengemukakan pemikiran filososfisnya bahwa terdapat sesuatu yang tetap akan tetapi tidak dalam suatu dunia ideal, melainkan dalam benda-benda jasmani sendiri. Pemikiran inilah yang merupakan pangkal perbedaan konsepnya dengan pemikiran filosofis gurunya. Teori Aristoteles disebut dengan istilah `hilemorfisme ' yang berasal dari bahasa Yunani `hyle ' dan `morphe' yang secara harfiah disebut 'teori bentuk-materi'. Aristo­teles memberikan konstatasinya bahwa setiap benda jasmani ter­diri atas dua hal, yaitu bentuk dan materi. Bentuk dan materi da­lam pengertian ini bukanlah dalam anti empiris indrawi melainkan dalam pengertian prinsip-prinsip metafisis. Dua prinsip ini tidak dapat hanya ditunjukkan dengan jari melainkan harus diandaikan bahwa kita mengerti benda-benda jasmani. Materi adalah prinsip yang sama sekali tidak ditentukan, yang sama sekali terbuka. Ma­teri adalah suatu kemungkinan belaka untuk menerima suatu bentuk. Dalam pengertian inilah maka Aristoteles mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan dimungkinkan atas dasar bentuk yang terdapat dalam setiap benda kongkrit (Bertens, 1989 : 15).
    Demikian juga dalam membahas tentang hakikat bahasa Aristoteles juga mendasarkan pada prinsip metafisisnya. Dalam sa­lah satu karyanya Peri Hermeneias yang mengemukakan tentang kualifikasi kata yaitu 'onoma', 'rhema' dan 'syndesmoi'. 'Onoma' adalah bentuk yang berupa vokal yang secara konseptual mempu­nyai makna tak berwaktu, tak ada satu bagianpun dari padanya memberi tanda secara sendiri-sendiri. Adapun `rhema' adalah apa yang bersama menandai waktu, tak satu bagianpun mempunyai makna sendiri, dan selalu merupakan tanda untuk apa yang dibica­rakan tentang sesuatu yang lain. Dengan bersama menandai waktu yang dimaksudkan misalnya 'kesehatan' adalah 'onoma' tetapi 'adalah sehat' adalah `rhema', karena sebagian tambahan menan­dai adanya (waktu sekarang) dalam diri seseorang. Selain itu yang dimaksud dengan pengertian `syndesmoi ' adalah 'penghubung partikel' yang dalam pengertian linguistik sering diistilahkan de­ngan konjungsi. Pandangan Aristoteles tentang hakikat bahasa itu nampak mendasarkan pada konsep filosofisnya tentang 'hilemor­fisme', yang secara sederhana bahwa hakikat bahasa juga meliputi hakikat materi dan bentuk (Arens, 1984 : 21). Selain itu Aristote­les juga mengembangkan prinsip keteraturan dalam bahasa sehing­ga bahasa memiliki paradigma yang disebut dengan 'analogi'.
    Pemikiran Aristoteles tentang filsafat bahasa tidak bisa dipi­sahkan dengan logika yang dalam karyanya disebut 'organon' seca­ra luas dikenal dengan istilah logika tradisional. Dalam 'organon' Aristoteles menjelaskan bahwa logika tradisional itu meliputi pe­ngertian dan penggolongan artian, keterangan, batasan, susunan fi­kir, penyimpulan langsung dan sesat pikir (Liang Gie, 1975 : 21). Bilamana kita analisis lebih jauh dasar kerja penalaran logika tra­disional sangat mendasarkan pada term yang diwakili oleh simbol bahasa. Proses pembentukan proposisi, premis, batasan dan terutama penyimpulan yang benar senantiasa mendasarkan pada anali­sis bahasa. Dalam pengertian inilah sebenarnya Aristoteles telah turut andil meletakkan dasar-dasar filsafat bahasa .

    Dikotomi 'analogi' dan `anomali'

    Pembahasan tentang hakikat bahasa di Yunani ditandai pula dengan munculnya teori 'analogi ' dan 'anomali' yang nampaknya berpegang pada khitohnya masing-masing. Golongan yang berpen­dapat analogi menyatakan bahwa alam ini memiliki keteraturan , demikian pula manusia juga memiliki keteraturan dan hal itu tere­fleksi melalui bahasa. Oleh karena itu menurut kelompok analogi bahwa bahasa itu teratur dan disusun secara teratur pula. Keteraturan bahasa membawa konsekuensi dapat disusun suatu tata bahasa, satu paradigma. Analogi dianut oleh kelompok Plato dan Aristoteles dan diterapkannya dalam karya-karya mereka. Prinsip analogi ini sebenarnya merupakan transformasi keteraturan logika dan matematika ke dalam bahasa. Analogi secara matematis berdasarkan proporsi seperti 6:3 sama dengan 4:2 sama dengan 2:1 misalnya jamak dalam bahasa Inggris 'book - books', girl - girls', `cow - cows ' dan lain sebagainya.
    Sebaliknya kaum anomalis berpendapat bahwa bahasa dalam bentuk-bentuknya tidak teratur (irreguler). Mereka menunjuk be­berapa bukti dalam kenyataan sehari-hari mengapa ada sinonimi dan homonimi mengapa ada unsur kata yang disebut netral dan jika bahasa itu bersifat konvensional semestinya kekacauan itu di­perbaiki. Dalam pengertian inilah bahasa itu pada hakikatnya ber­sifat alamiah (Parera, 1983 : 42). Kiranya pendapat kaum anomalis ini masih digunakan sebagai salah satu ciri bahasa bahwa bahasa itu pada hakikatnya arbitrer (mana suka) karena sifat bahasa yang alamiah tadi. Memang dapat kita akui bahwa perdebatan kedua pendapat itu akan berjalan seperti rel kereta api, namun demikian sampai saat ini kedua pendapat itu masih relevan dengan realitas bahasa terutama dalam pengembangan linguistik.

    5. Mazhab Stoa

    Mazhab Stoa didirikan oleh Zeno dari Kriton sekitar menje­lang abad keempat SM. Nama stoa menunjuk kepada tempat bela­jar yaitu suatu serambi bertiang, tempat Zeno memberikan pelajar­annya. Mazhab Stoa ini terdiri atas kelompok filsuf yang ahli logi­ka sehingga pandangan-pandangannya tentang hakikat bahasa tidak dapat dilepaskan dengan rasio yang mendasarkan pada logi­ka. Namun demikian satu hal yang perlu dicatat bahwa sumbangan kaum Stoa terhadap filsafat bahasa cukup besar terutama dalam menentukan prinsip-prinsip analisisnya secara sistematis. Pertama, kaum Stoa telah membedakan antara studi bahasa secara logika dan studi bahasa secara gramatika. Kedua, mereka telah mencipta­kan beberapa istilah teknis khusus untuk berbicara tentang bahasa. Ketiga, kedua kemajuan tersebut ada hubungannya dengan perbe­daan kaum Stoa dan logika Peripatetik dari penganut Aristoteles. Langkah pertama kaum Stoa untuk mendeskripsikan tentang haki­kat bahasa terutama tentang makna dengan membedakan tiga aspek utama bahasa : (1) tanda atau simbol, sign yang disebut se­mainon, dan ini adalah bunyi atau materi bahasa. (2) Makna, yang diistilahkan dengan semainomenon, atau lekton. (3) Hal-hal eks­ternal yang disebut benda atau situasi yang diistilahkan dengan to pragma atau to tungchanon. Mereka memberikan contoh tentang kata Yunani 'gramma' berarti huruf itu sendiri, tanda tulisan un­tuk huruf itu dan nama untuk huruf itu.
    Kaum Stoapun juga menaruh perhatian terhadap bunyi, phone. Mereka membedakan antara legein (tutur) bunyi yang mungkin merupakan bagian dari fonologi dari sebuah bahasa tetapi tidak bermakna. Dalam bidang lekta, makna mereka mempunyai pandangan yang berbeda dengan analisis logika Aristoteles yang sering tidak jelas maksudnya. Aristoteles hanya mengakui adanya onoma dan onomata. Semua perubahan dari onoma sesuai dengan fungsinya tidak mereka akui hal itu hanya sebagai kasus saja. Hal ini disebabkan logika Aristoteles dengan silogismenya yang hanya mempergunakan kode huruf A, B, dan C, dan tidak merggunakan bentuk-bentuk onoma secara praktis dalam contoh. Menurut kaum Stoa kasus itupun onoma pula yang sesuai dengan fungsinya. Lalu mereka membedakan atas kasus nominatif-genetif, datif-akusatif dan sebagainya. Apa yang mereka sebut nominatif itu menurut Aristoteles disebut onoma saja.
    Hal yang sama juga berlaku bagi rhema.Walaupun Aristote­les membedakan rhema dalam 'tense ' ia berbicara tentang sesuatu yang belum komplit. Kaum Stoa dalam hal ini membedakan rhema dan kategorrhema, yang dalam pengertian sekarang disebut bentuk infinit dan finit.
    Kaum Stoa juga membedakan jenis kata, yang mula-mula empat kemudian lima : benda, kerja, syndesmoi, dan arthron. Da­lam hal ini mereka memberikan pengertian bercampur antara ben­tuk morfologis dan semantik. Kata benda disebut kata yang mengalami infleksi yang dibedakan atas kata benda dan nama diri, sedangkan rhema disebutkan sebagai kata yang menggambarkan satu peristiwa dan tidak mengalami kasus. Jika masuk dalam suatu kalimat akan berbentuk kategorrhema. Syndesmoi disebutkan sebagai kata yang tidak mempunyai akhir kasus. Arthron ialah kata yang menyatakan jenis kelamin dan jumlah, seperti dalam bahasa Yunani : ho, he, to, hoi, hai, ta, yang menyatakan jenis kelamin maskulin, feminin, netral, tunggal dan jamak. Bentuk ini kemudian kita kenal dengan nama artikel dan kata ganti penghubung.
    Pendapat kaum Stoa ini memang merupakan rintisan ke arah pengembangan suatu tata bahasa walaupun sifatnya masih spekulatif (Parera, 1983 : 44,45).

    C. Zaman Romawi

    Alexander Agung yang dalam sejarah telah mendirikan suatu kerajaan besar, yang meliputi juga Romawi maupun Yunani. Hal ini bukan berarti kehancuran kebudayaan dan filsafat Yunani me­lainkan tetap berkembang dengan subur mengingat sang Raja sen­diri menaruh perhatian terhadap kebudayaan, antara lain dengan dikembangkannya "kebudayaan helenistis".
    Pemikiran-pemikiran dalam bidang filsafat bahasa walaupun masih memiliki ciri spekulatif namun telah mulai mengarah pada dasar-dasar linguistik. Dalam kenyataan sejarah perhatian orang Romawi terhadap bahasa sangat dipengaruhi bahkan meneruskan pemikiran-pemikiran para filsuf Yunani. Pengembangan dan pemi­kiran tentang bahasa di Romawi diserahkan kepada seorang tokoh yang bernama Crates seorang filsuf dan sekaligus seorang ahli gra­matika golongan Stoa. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa pemikiran-pemikiran filsuf Yunani sangat mewarnai konsep-kon­sep orang Romawi. Karya besar filsuf Romawi tentang filsafat ba­hasa adalah Varro yang menjadi pusat perhatian banyak kalangan ahli bahasa.

    1. Pemikiran Varro tentang Hakikat Bahasa

    Dalam perkembangan karyanya Varro terlibat juga dalam perbincangan spekulatif yang dikotomis di Yunani yaitu antara pandangan analogi dan anomali. Kiranya dalam karya-karyanya yang ada, Varro juga membahas hal yang sama. Karya Varro yang terbesar adalah `De Lingua Latina' terdiri atas 25 jilid, dan berikut mi beberapa bagian yang penting dari karya Varro.

    Etimologi

    Dalam bidang etimologi Varro mencatat perubahan bunyi dari zaman ke zaman dan perubahan makna dari sebuah kata, wa­laupun beberapa contohnya kurang tepat. Ia memberikan contoh perubahan bunyi 'duellum' menjadi 'bellum' = perang. Perubahan makna umpamanya 'hostis ' semula berarti 'orang asing' kemudian berubah menjadi 'musuh'. Satu hal yang merupakan suatu kele­mahan dalam etimologi ini, ialah menganggap semua kata yang berbentuk sama adalah pinjam langsung. Pada hal dalam kenyataannya ada pula bentuk-bentuk bahasa kedua bahasa tersebut harus direkonstruksikan kembali kepada satu bahasa purba, seperti Indo Eropa. Dengan metode-metode linguistik komparatifnya ia mem­berikan pula etimologi dalam bidang kata primer, derivasi serta infleksi.

    Pengertian Kata
    Menurut Varro perihal pembahasan kata sebenarnya terdapat bentuk-bentuk yang terjadi secara analogi dan anomali terutama dalam bahasa Latin. Jadi terdapat bentuk-bentuk teratur dan tidak teratur. Dalam hubungan ini penting juga untuk diketahui penger­tian kata yang dikemukakan oleh Varro. Yang disebut kata ialah bagian dan ucapan, yang tidak dapat dipisahkan lagi dan merupa­kan bentuk minimum, jika ia mempunyai deklinasi yang biasa dipakai semua orang menurut aturan.


    Konsep Morfologi

    Dalam bidang morfologi Varro menunjukkan orisinalitasnya dalam pembagian kelas kata. Ia menyusun satu sistem infleksi dari kata Latin dalam empat bagian sebagai berikut.
    Yang berinfleksi kasus --- kata benda (termasuk sifat)
    Yang berinfleksi `tense' --- kata kerJa
    Yang berinfleksi kasus dan `tense' -- partisipel
    Yang tidak berinfleksi --- adverbium

    Keempat kelas kata ini dikategorikan kembali ke dalam (yang membuat pernyataan yang menghubungkan dalam sintaksis kata benda dan kata kerja, dan yang menjadi anggota bawahan dari kata kerja , adverbium).
    Dengan kata kerja ia nampaknya bersimpati terhadap kaum Stoa. la menyusun satu pembedaan antara `tense'. `time', `aspect'. Dalam menyusun bentuk indikatif `tense', ia membedakan pula atas aktif-pasif (Parera, 1983 : 52).

    Kasus dan Deklinasi

    Dalam hal kasus perihal penggunaan dan maknanya dalam bahasa Latin ada enam kasus. Berbeda dengan bahasa Yunani yang hanya mengenal lima kasus. Kasus yang keenam adalah ablativus. Jadi ada kasus : nominativus (Bentuk primer, pokok), genetivus (menyatakan kepunyaan), dativus (yang menerima), akusativus (objek), vokativus (panggilan), dan ablativus (menyatakan asal, dari). Konsep kasus inilah yang banyak memberi, sumbangan terhadap perkembangan studi bahasa.
    Dalam hal deklinasi, Varro telah membahas lebih jauh diban­dingkan dengan pada masa Yunani. Varro membedakan juga de­klinasi dari bentuk-bentuk derivasi dan infleksi. Secara singkronis ia membedakan pula ada dua macam deklinasi yaitu: deklinasi naturalis atau deklinasi alamiah ialah perobahan sebuah bentuk yang terjadi dengan sendirinya dan sudah terpola. Deklinasi natur­alis pada umumnya reguler dan dapat diketahui masyarakat pema­kai bahasa dengan serta merta tanpa ragu-ragu. Deklinasi volunta­ria yaitu rata perubahan bentuk dari kata-kata secara morfologis yang bersifat selektif dan manasuka. Para penutur kadang-kadang harus sadar akan bagaimana ia harus melaksanakan suatu deklinasi tersebut. Barangkali hal inilah yang dimaksud dengan deklinasi irreguler. Konsep deklinasi tersebut yang mempengaruhi cara kerja penemuan etimologi.

    2. Konsep Priscia

    Perkembangan pemikiran tentang hakikat bahasa lama kela­maan menjadi semakin sempurna dan berkembang ke arah studi ketatabahasaan. Konsep Priscia ini merupakan model yang paling berpengaruh terhadap perkembangan bahasa sesudahnya. Bahkan konsep model Priscia inilah yang merupakan model dan contoh untuk penulisan dan pendeskripsian tatabahasa-tatabahasa di Ero­pa dan di dunia lainnya. Hal ini dianggap penting karena terdapat dua atasan yaitu : (1) konsep Priscia merupakan model tata bahasa Latin yang paling lengkap yang dituturkan oleh pembicara aslinya. (2) Teori-teori tata bahasanya merupakan tonggak-tonggak utama pembicaraan bahasa secara tradisional. Jika disebut tata bahasa tra­disional sebenarnya merekalah sumbernya, karena merekalah yang memasukkan semantik sebagai norma utama dalam deskripsi ba­hasa, demikian juga mereka juga membicarakan segi-segi formal dari bentuk-bentuk bahasa.
    Fonologi dan Morfologi Priscia

    Dalam bidang fonologi priscia membicarakan tulisan atau huruf yang disebutnya litterae. Litterae merupakan bagian yang terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan. Nama dari huruf-huruf ini adalah figurae. Nilai dari bunyi ini disebut potestas. Priscia membedakan pula atas vox articulata, yaitu bunyi yang diucapkan untuk membedakan makna, vox litterata adalah bunyi-bunyi yang dapat dituliskan, apakah ia bunyi articulata atau inartikulata. Akan tetapi bunyi yang disebut vox illitterata adalah bunyi yang tidak dapat ditulis.
    Menurut konsep morfologi Priscia dijelaskan bahwa kata disebut dictio. Kata adalah bagian yang minimum dari suatu ujaran dan harus diartikan terpisah dalam makna sebagai satu keseluruh­an. Dalam hal ini Priscia memiliki suatu kekeliruan bahwa seakan­akan bentuk vires bahasa Latin tidak dapat dianalisis atau dipecah-­pecah kembali dalam bentuk yang lebih kecil lagi.
    Dalam bidang morfologi inilah Priscia membedakan jenis kata dalam delapan macam yaitu
    1) Nomen : dalamnya termasuk kata sifat menurut klasifikasi sekarang. kata benda yang menunjukkan substansi dan kita­1 itas.
    2) Verbum : verbum adalah jenis kata yangmempunyai inflek­si untuk menunjukkan 'tense', modus, tetapi tidak berinfleksi kasus. Verbum menyatakan perbuatan atau dikenal perbuatan.
    3) Participium : yaitu sebuah kelas kata yang selalu berderivasi dari verbum. Mengambil kategori verbum dan no­men (tense dan kasus), dan oleh karena itu berbe­da dari keduanya.
    4) Pronomen : yaitu jenis kata yang dapat menggantikan nomen biasa dun biasanya menunjukkan orang pertama, kedua dan ketiga.
    5) Adverbium : keistimewaan adverbium ini ialah selalu dipergu­nakan dalam konstruksi bersama dengan verbum dan secara sintaksis dan semantik merupakan atri­but verbum.
    6) Praepositio : yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi juga dipergunakan sebagai kata yang terletak di de­pan bentuk yang berkasus atau dalam kompositum.
    7) Interjectio : jenis kata yang secara sintaksis terlepas dari ver­bum dan menyatakan perasaan atau sikap pikiran.
    8) Conjunctio : yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi dan secara sintaksis menghubungkan anggota-­anggota kelas kata yang lain untuk menyatakan hubungan antara unsur satu dengan lainnya.
    Penentuan kelas kata tersebut sebagai unsur dari pembentuk­an satuan bahasa lainnya yaitu kalimat. Tingkat berikutnya pemba­hasan bahasa yang menyangkut hubungan kata dengan kata, frase, dan unsur lainnya yang dewasa ini disebut bidang sintaksis disebut sebagai oratio. Menurut Priscia oratio yaitu tata susun kata yang berselaras dan menunjukkan kalimat itu selesai. Hal yang menarik dari oratio yaitu bahwa sebuah kata itu dapat menjadi kalimat secara penuh. Demikianlah kiranya pemikiran tentang bahasa kelompok Priscia yang besar pengaruhnya terhadap studi bahasa pada periode-periode berikutnya (Parera, 1983, 54-56).

    D. Zaman Abad Pertengahan

    Ciri yang utama pada zaman abad pertengahan adalah masa keemasannya filsuf Kristiani terutama kaum Patristik dan Skolastik sehingga wacana filosofis juga sangat akrab dengan Teologi. Selain itu di Eropa perkembangan pendidikan diwarnai oleh sistem pendidikan Latin. Semua orang yang mencapai pendi­dikan tinggi baik orang awam maupun rohaniawan bergantung pada pengetahuan mereka mengenai bahasa Latin. Dengan demi­kian bahasa Latin menduduki tempat yang terhormat terutama dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan filsafat, maupun teologi.
    Pendidikan zaman abad pertengahan dibangun dalam sis­tem sebagai pilar utamanya dan bersifat liberal. Ketujuh dasar pen­didikan liberal tersebut dibedakan atas Trivium, yang mencakup grammatika, dialektika (logika) dan retorik, serta Quadrivium, yang mencakup aritmetika, geometrika, astronomi dan musik.
    Pada zaman ini perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua arah yaitu pertama dengan ditentukannya grammatika sebagai pilar pendidikan Latin serta bahasa Latin sebagai titik sentral dalam khasanah pendidikan maka pemikiran spekulatif filosofis membe­rikan dasar yang yang kokoh bagi ilmu bahasa. Kedua oleh karena sistem pendidikan dan pemikiran filosofis pada saat itu sangat akrab dengan teologi, maka analisis filosofis diungkapkan melalui analisis bahasa sebagaimana dilakukan oleh Thomas Aquinas. Kemudian dasar-dasar yang mendukung berkembangnya ilmu ba­hasa antara lain konsep pemikiran kaum Modistae dan konsep ba­hasa spekulativa.

    1. Pemikiran Thomas Aquinas

    Thomas Aquinas atau dikenal juga Thomas dari Aquino dila­hirkan di Italia dan pada usia 19 tahun ia masuk Ordo Dominikan. Thomas telah menghasilkan banyak karya dan suatu edisi modern telah mengumpulkan semua karyanya terdiri atas 34 jilid. Pemikir­an filsafat Thomas diwarnai oleh nuansa teologi dan selain itu Thomas banyak memberikan komentar terhadap filsafat Aristo­teles, sehingga tidak mengherankan banyak karya-karyanya diwar­nai oleh filsafat Aristoteles. Pemikiran Thomas yang lekat dengan teologi tersebut dalam sistematika filsafatnya merupakan karya terbesar pada periode abad pertengahan terutama karyanya yang berjudul Summa Theologise (ichtisar teologi) (Bertens, 1989: 35).
    Untuk menemukan suatu kebenaran pada suatu masalah ter­tentu menurut Thomas perlu memahami terlebih dahulu dengan baik-baik apa yang telah disumbangkan pemikir-pemikir besar yang lain. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Aristoteles, yang mengembangkan semangat dialektika Sokrates. Menurut Thomas kesemuanya harus diandaikan bahwa mereka mempunyai dasar ba­gi pendapatnya.Segala pro dan kontra dari siapapun harus diangkat secara series, dan dideskripsikan seobjektif mungkin. Argumen itu diuji dari segala pihak, dari teks asli maupun interpretasi-interpre­tasi orang lain. Dalam mengemukakan pandangannya Thomas memberikan pemahaman dan penilaian kritis dan lebih mendalam mengenai persoalan dan prinsip-prinsip yang bersangkutan. Mela­lui analisis bahasa ia mengetengahkan kelemahan, kekurangan dan keberatan-keberatannya pada gilirannya mengetengahkan pandang­annya atas kebenaran tersebut.
    Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa pemikiran filososfis Thomas sangat dipengaruhi terutama oleh filsafat Aristoteles. Per­tama-tama Thomas berusaha mengolah filsafat Aristoteles. Hampir semua karya filososfisnya merupakan komentar atas karya-karya besar Aristoteles. la mendalami dan menyelami pemikiran Aristo­teles dan kemudian juga memformulasikannya melalui pandangan filosofisnya. Sehingga tidak mengherankan pemikiran filosofisnya diwarnai oleh logika Aristoteles sebagai metode berfikirnya.
    Titik tolak tradisi yang kedua yang diangkat secara kritis dan mendasar oleh Thomas yaitu pemikiran Platonis. la senantiasa menganalisis prinsip-prinsip filososfis yang mendasari ajaran me­reka kemudian dalam kerangka pemikiran filosofis ajaran-ajaran platonis disistematisir berdasarkan kerangka logika Aristoteles.



    Analisis Bahasa

    Banyak kalangan historian memberikan ciri perkembangan pemikiran filsafat pada abad pertengahan diwarnai oleh mercu suar tradisi Skolastik, sehingga tidak mengherankan bahasa Latin men­duduki posisi central dalam wacana intelektual filosofis dan teo­logi. Analisis bahasa praktis menjadi metode yang akrab dalam penuangan pemikiran-pemikiran filosofis. Dalam pemikiran filo­sofis Thomas menggunakan ungkapan-ungkapan dengan melalui bahasa yang bersahaja, terang dan berbentuk murni. Analisis abs­traksi sebagai metode khas filsafat dikembangkannya, yaitu de­ngan meninjau suatu segi atau sifat tersendiri dan kemadian me­nyisihkan segala aksidensia dan akhirnya sampai pada substansi atau hakikat segala sesuatu. Konsep pengertian seperti 'kodrat', nafsu dan lain sebagainya dapat dijelaskan dengan tepat. Bahasa sastra yang bersifat puitis senantiasa dihindarinya. Namun demi­kian bukan berarti Thomas mengelak dari furigsi bahasa yang ber­sifat fleksibel serta kelenturan makna bahasa. Hal ini nampak dalam mengungkapkan analisis filosofisnya melalui analogi dan metafor. Memang benar diakui oleh banyak kalangan intelektual bahwa dalam setiap khasanah ilmu pengetahuan memiliki istilah-­istilah teknis dan artificial tertentu yang memang berlaku sah dan bermakna dalam konteks ilmu pengetahuan tertentu tersebut. Namun demikian bahasa adalah tepat dan kaya dan merupakan sarana yang mutlak bagi presisi ilmiah. Para ahli juga sependapat bahwa terdapat suatu perbedaan antara struktur sintaksis dengan struktur logis, yang terdapat dalam makna bahasa.
    Untuk mencapai suatu kebenaran dalam sistem pemikiran­nya Thomas, menggunakan analisis bahasa melalui penalaran logis dengan menggunakan prinsip deduksi yang dilakukan dengan me­lalui analisis premis. Premis dalam proses deduksi adalah merupa­kan suatu pernyataan yang mutlak benar, yang memberikan infor­masi tentang kenyataan (Copleston, 1958 28). Premis yang demikian ini merupakan suatu prinsip yang jelas dengan sendiri­nya (principium per se notum), sekali istilah dipahami semua orang yakin akan kebenarannya. Hal itu meliputi beberapa macam bentuk premis deduktif yaitu:
    Definisi, yaitu pernyataan yang predikatnya menyatakan hakikat subjek. Bagi Thomas definisi itu sangat central, dan ia sangat cer­mat mencarinya, misalnya definisi `keadilan'. Thomas secara konsisten berusaha memberi kepada segala sesuatu kerangka ske­matis yang menyajikan pemahaman. Ia mulai dari, pemahaman umum misalnya tentang `ada', kemudian dengan perbandingan pertentangan, analisis istilah dan sebagainya ia memberikan defini­si unik yang hanya berlaku bagi hal yang akan dirumuskannya. Pa­ling ideal definisi yang mampu memberikan rumusan menurut prinsip `genus et species'. Namun demikian juga dapat ditandai menurut salah satu sifat, atau salah satu sebab atau menurut salah satu prinsip, dengan demikian definisi itu dapat ditentukan. Prinsip yang self-evident, yaitu suatu pernyataan yang predikatnya merupakan sifat yang dalam analisis nampaknya mutlak berlaku bagi subjeknya, misalnya prinsip kausalitas (Copleston, 1955 : 29). Dapat juga keseluruhan yang terbatas itu lebih besar daripada masing-masing bagiannya. Pengetahuan akan istilah-istilah dalam prinsip itu memang secara psikologis berasal dari pencerapan, teta­pi evidensinya muncul langsung dalam anglisis hubungan predikat dan subjek, jadi secara logic bersifat"apriori'. Prinsip-prinsip yang self evident itu berhubungan satu sama lain, akhirnya dikembali­kan pada prinsip utama ‘yang ada tidak dapat sekaligus tidak ada'. Prinsip yang lebih bersifat sekunder, yaitu dengan memakai prin­sip-prinsip metafisis lainnya. Misalnya `yang baik ialah sebagai­mana berlaku dalam kebanyakan hal', 'kodrat selalu mengarah ke kesatuan', yang lain mengenai hubungan substansi dan aksidensia atau hubungan potensi dengan aktivitas.
    Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak tudingan ke­pada filsafat Skolastik Thomas yang dianggapnya menjadi verbal­isme yang kering, suatu sistem berpikir yang tertutup yang diaba­dikan melalui sistem hafalan belaka, walaupun sebenarnya tuduh­an itu tidak sepenuhnya benar (Bakker, 1984 : 60,64).
    Walaupun tidak memiliki hubungan sebab akibat yang lang­sung anatara sistem pemikiran Thomas dengan Atomisme Logis nampaknya memiliki kemiripan terutama menggunakan ungkapan bahasa melalui logika dalam melakukan analisis konsep-konsep filsafat. Hanya perbedaan yang essensial adalah Atomisme Logis menolak metafisika karena ungkapan metafisis sebenarnya tidak mengungkapkan keberadaan fakta apapun; sedangkan Thomas jus­tru analisis logis melalui ungkapan-ungkapan bahasa digunakan dalam upaya untuk memberikan analisis ungkapan-ungkapan me­tafisis maupun fakta.

    Analogi dan Metafor

    Anggapan yang manyatakan bahwa filsafat Thomas bersifat verbalisme yang kering, nampaknya tidak sepenuhnya benar kare­na dalam kenyataannya Thomas mengungkapkan pemikiran-pemi­kiran filosofisnya tidak hanya melalui logika Aristotelian melain­kan juga mengangkat analogi dan metafor.
    Dalam filsafat Thomas doktrin tentang 'analogi' sebenarnya dimaksudkan justru untuk mengangkat wacana teologis ke taraf il­miah filosofis sebagaimana dilakukan oleh Aristoteles dan menghindarkan diri dari wacana puitik religius (Sugiharto, 1996 :124). Bila bagi Aristoteles kesulitan yang dihadapi adalah bagaimana bi­sa keluar dari dilema antara di satu pihak ada unsur dasar yang satu bagi seluruh kenyataan, di pihak lain ada pula makna yang amat beragam dari kenyataan itu, maka wacana teologis mengha­dapi kenyataan yang seperti itu. Dalam wacana teologis juga terda­pat dilema yaitu di satu pihak menyamaratakan wacana tentang Tuhan dan tentang manusia yang akan berakibat menghilangkan unsur transendensi Tuhan. Di pihak lain, mengasumsikan ketidak­berhubungan total antara kedua wacana itu dan akan berakibat membawa kepada agnostisisme.
    Kenyataan itulah yang kemudian membawa Thomas Aquinas menerapkan konsep Aristoteles tentang 'analogi' di kawasan teo­logi. Maka di antara atribut yang bersifat univokal dan ekuivokal kemudian ada atribut baru, yaitu atribut 'analogi'. Jadi doktrin Thomas tentang Analogi Entis atau 'analogi' pengada itu adalah upaya untuk memadukan hubungan horizontal antar ciptaan di dunia ini dengan hubungan vertikal antara ciptaan itu dengan Tuhan. Hal inilah yang kemudian dimaksudkan dengan istilah onto-teologi. Betapa keras upaya Thomas untuk mengangkat wacana teologi ke taraf `ilmiah filosofis' terlihat dari bagaimana ia secara terus-menerus mengubah dan memberi rincian baru atas konsep analogi tersebut. Misalnya ia berupaya membagi analogi itu menjadi 'analogi proportio' dan 'analogi proportionalitas' (dalam de Veritate ). Tidak puas dengan itu dibuatnya analogi 'duorum et tertius' dan analogi 'unius ad alterum' (dalam de Potertia). Masih juga belum merasa puas Thomas menciptakan rincian baru yaitu analogi dengan prioritas pada Tuhan sendiri, jadi titik tolaknya adalah Tuhan kemudian analogi yang berangkat dari sifat-sifat ciptaan yang titik tolaknya adalah ciptaan (dalam Summa Theologiae). Selain melalui analogi upaya Thomas untuk mengangkat wacana teologi ke tingkat wacana ilmiah filosofis ia mengembangkan melalui metafor. Memang terdapat kendala yang bersifat dilematis yaitu di satu pihak keberadaan Tuhan yang bersi­fat transenden diungkapkan melalui bahasa yang acuannya adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sifatnya adalah real dan terbatas. Melalui ungkapan bahasa metaforis persoalan-persoalan teologi dapat diklarifikasikan secara ilmiah filososfis. Hal ini dapat dila­kukan dengan sendirinya melalui kelenturan bahasa. Dalam Summa Theologise diungkapkan 'Tangan Tuhan menciptakan kea­jaiban'. Yang dimaksud tangan dalam pengertian harafiah adalah mengacu pada anggota badan manusia. Namun demikian yang dimaksud dengan 'Tangan Tuhan' adalah makna spiritual, sehing­ga pengertian makna 'Tangan Tuhan' adalah kekuatan, kekuasaan dari Tuhan. Dengan melalui ungkapan bahasa metaforis ini Tho­mas mampu mengungkap makna spiritual teologis ke dataran ilmi­ah filosofis sekaligus menghilangkan kekaburan ungkapan teologis (Borginann, 1974:63).
    Perkembangan pemikiran filosofis zaman abad pertengahan yang memuncak mencapai puncak keemasan pada karya dan kon­sep-konsep Skolastik terutama pemikiran filosofis Thomas Aqui­nas yang mengangkat dan menganalisis secara kritis karya-karya besar Aristoteles. Dalam kenyataannya metode yang digunakan da­lam memecahkan dan menjelaskan problems-problems filosofis dengan menggunakan metode analisis bahasa dengan mendasarkan sistem logika Aristoteles. Kreativitas yang menonjol dari karya pemikiran Thomas ini melalui analisis bahasa terutama analogi dan metafor, mampu mengangkat persoalan-persoalan teologis ke­tingkat pemikiran yang berifat iImiah filosofis. Analisis bahasa teologi tentang hakikat Tuhan yang transenden sulit diungkapkan melalui bahasa terutama yang mengacu pada realitas fakta ciptaan Tuhan. Dilema inilah yang kemudian dipecahkan oleh Thomas melalui karya besarnya dengan menggunakan analisis bahasanya terutama melalui analogi dan metafor.


    2. Mazhab Modistae

    Kaum Modistae menaruh perhatian terhadap pemikiran haki­kat bahasa secara tekun mereka mengembangkan dan nama Mo­distae muncul karena ucapan mereka yang dikenal dengan ‘De modis Significandi'. Merekapun mengulang pertentangan klasik tentang hakikat bahasa 'Ficis dan Nomos', perdebatan antara 'Analogi dan Anomali'. Mereka menerima analogi , karena menurutnya ba­hasa bersifat reguler dan universal.
    Dalam konsep pemikiran kaum Modistae ini unsur semantik mendapat perhatian yang utama dan digunakan pula dalam penye­butan definisi-definisi bentuk-bentuk bahasa. Interpretasi ajaran Skolastik akan ajaran-ajaran Aristoteles nampak dengan jelas da­lam sistem pemikiran kaum Modistae ini. Menurut konsep pemi­kiran kaum Modistae barang-bararg atau benda-benda memiliki beberapa ciri khas atau kepribadian yang perlu dibeda-bedakan. Kepribadian ini disebut `modi essendi ' dan pikiran manusia me­nangkap ini dengan daya pengertian yang aktif yang disebut seba­gai 'moth intellegendi avtivi ' yang kepadanya dikenakan pula daya pengertian yang pasif yaitu 'modi intellegendi passivi'. Dalam bahasa pikiran ini dialihkan ke dalam tanda bunyi (votes) penunjuk yang aktif (moth significandi activi) dalam bentuk kata­kata (dictiones) dan bagian ujaran (panes orationis) atau sering disebut jenis kata. Modi Significandi inilah yang merupakan kunci dalam sistem analisis bahasa kaum Modistae. Secara sistematis dapat disusun dasar pemikiran sebagai berikut:


    moth essendi
    moth intellegendi activi modi intellegendi passivi
    moth significandi activi moth significandi passivi
    Berdasarkan konsep pemikiran yang dikemukakan oleh ka­um Modistae nampaknya pengaruh ilmu pengetahuan dan pernikir­an-pemikiran Skolastik yang memberi ciri mencari sebab-sebab universal dan tak berubah, sehingga dalam konsep pemikiran ter­sebut mereka mencoba menurunkan kategori-kategori tata bahasa dari kategori-ketegori logika, epistemologi dan metafisika. Salah satu usaha untuk memastikan semua ini ialah usaha dari kaum Mo­distae untuk menemukan sumber makna. Sehingga dengan demikian berkembanglah etimologi dalam zaman ini dan sumber mereka adalah 20 jilid etimologi dari Santo Isidore dari Seville tahun 636 (Parera, 1983 : 57).
    3. Konsep Bahasa Spekulativa

    Konsep bahasa spekulativa adalah merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal bahasa Latin seperti yang dirumuskan oleh Priscia dan Donatus ke dalam filsafat Skolastik. Skolatisisme sendiri adalah merupakan hasil integrasi filsafat Aristoteles dalam tangan pemikir-pemikir seperti Thomas Aquinas ke dalam teologi.
    Skolastisisme timbul dari satu kemampuan dan pengabdian intelektual yang matang. Dalam konteks ini deskripsi bahasa Latin seperti yang dilakukun oleh Priscia dan Donatus dianggap tidak cukup, walaupun secara pedagogis ada manfaatnya.
    Tugas dari konsep bahasa spekulativa ialah untuk menemu­kan prinsip-prinsip tempat kata-kata sebagai sebuah tanda dihu­bungkan pada satu pihak dengan intelek manusia dan pada pihak lain dihubungkan kepada benda yang ditunjuk atau yang diwakili­nya. Disimpulkan pula bahwa prinsip-prinsip bersifat universal dan konstan. Persoalan yang timbul adalah bagaimana bahasa dapat merupakan jembatan atau alat bagi pengetahuan yang benar. Menurut konsep bahasa spekulativa bahwa kata pada hakikatnya tidak secara langsung mewakili alam dari benda yang ditunjuknya. Kata hanya mewakili hal yang adanya benda itu dalam pelbagai cara, modus, substansi, aksi, kualitas dan sebagainya, dan hal ini terjadi dengan pendekatan kepada partes orationis. Konsep bahasa adalah berasal dari konsep filosofis partes orationis dan dicirikan dalam modus yang menunjuk itu atau modi significandi. Pengerti­an spekulativa kiranya dapat dijelaskan dengan lebih memperhati­kan maksudnya ini. Istilah spekulativa berasal dari kata speculum yang berarti 'cermin', dan ini memberikan refleksi dari kenyataan yang mendasari dunia fisik.
    Dengan ini kaum spekulativa berdasarkan filsafat metafisik mereka ingin mendeskripsikan bahwa semua bahasa mempunyai kesamaan jenis kata dan kategori-kategori gramatikal lainnya. Seo­rang tokoh yang terkenal pada masa itu yaitu Peter Helias yang se­cara garis besar doktrin Priscia akan tetapi ia selalu memberikan komentar berdasarkan logika Aristoteles, dan logika ini dipakai sebagai dasar kaidah penuturan bahasa yang benar dalam zaman itu (Parera, 1983 : 59).

    E. Zaman Abad Modern
    1. Pengantar

    Sejarah pemikiran umat manusia menapak terus dipimpin sang waktu. Kekhusukan manusia dalam mensyukuri karunia Sang Mafia Kuasa nampaknya terusik dengan munculnya kegelisahan manusia akan dirinya sendiri. Keakraban manusia dalam menafsir­kan suratan Tuhan sebagaimana dilakukan oleh kaum Patristik dan Sekolastik terutama sebagaimana dilakukan oleh Thomas Aquinas pada masa abad pertengahan menjadi sirna dengan munculnya ke­sadaran manusia akan dirinya sendiri. Demikianlah akhirnya masa kejayaan abad pertengahan memudar ditelan waktu dan muncullah masa abad modern yang diawali dengan `Renaissance'. Secara harfiah kata `Renaissance' berarti 'kelahiran kembali'. Secara historis Renaisance adalah suatu gerakan yang meliputi suatu za­man di mana orang merasa dirinya sebagai telah dilahirkan kemba­li dalam suatu keadaban. Di dalam kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber yang murni bagi pengetahuan dan kein­dahan (Hadiwijono, 1983 : 11). Gerakan ini ditandai dengan usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaan Yunani-Romawi. Awal gerakan pembaharuan ini sebenamya telah dilakukan oleh orang-­orang Italia yang dikenal dengan gerakan humanisme yang sebe­narnya telah dilakukan sejak abad pertengahan. Tidak dapat disangkal, bahwa pada abad pertengahan orang telah mempelajari karya besar dari para pemikir dan penulis Yunani dan Latin, na­mun apa yang telah dilakukan orang-orang pada abad pertengahan itu berbeda dengan apa yang dilakukan para humanis pada zaman Renaisance yang tidak mendasarkan pada otoritas teologi.
    Kaum humanis zaman Renaisance bermaksud untuk mening­katkan perkembangan yang harmonic dari sifat-sifat dan kecakap­an-kecakapan alamiah manusia dengan mengusahakan kepustaka­an yang lebih baik dan dengan mengikuti jejak kebudayaan klasik. Maka pada zaman Renaisance ini muncullah kebangkitan untuk mempelajari castes klasik dan penyambutan yang semangat atas realitas hidup ini yang bersifat alamiah.
    Menurut Renaisance dunia diterima seperti apa adanya, se­bab orang merasa kerasan di dunia dan sangat menghargai akan hal-hal yang baik dari hidup ini. Selain itu karena adanya perspek­tif baru bagi kesenian dan kesusasteraan maka orang menjadi semakin optimis. Optimisme manusia diarahkan kepada perhatian yang sungguh-sungguh atas segala hal yang kongkrit. Perhatian itu ditujukan kepada manusia, kepada hidup kemasyarakatan dan ke­pada sejarah. Manusia mulai menyadari dua hal yang berbeda yaitu dunia dan dirinya sendiri. Pengenalan akan dirinya sendiri dalam arti mereka mulai sadar akan nilai pribadinya dan akan kekuatan pribadinya. Era baru akan penemuan dirinya sendiri oleh manusia ini berakibat manusia merasa terbebas dari kungkungan wahyu. Menurutnya wahyu memiliki wibawa dalam bidangnya sendiri. Kebanyakan orang berpendapat bahwa akal tidak berwibawa atas kebenaran-kebenaran keagamaan, karena kebenaran-kebenaran itu hanya dapat dipercaya. Dalam khasanah filsafat orang berpendapat bahwa dalam pengertian ini tiada sedikitpun ikatan kepada suatu wibawa apapun dalam hal kebebasan akal manusia. Kebenaran harus dicapai dengan kekuatan sendiri. Dapat juga dikatakan bah­wa di samping terdapat pandangan atas dunia alamiah yang murni dan berdiri sendiri terdapat juga jiwa yang murni.
    Demikianlah lambat laun filsafat mulai meninggalkan keme­sraannya dengan teologi, filsafat menjadi lebih bersifat individu­alistis sehingga sejarah menunjukkan kepribadian-kepribadian. Titik tolaknya yaitu kebebasan mutlak bagi pemikiran dan peneli­tian bebas dari wibawa atau tradisi. Pengetahuan yang pasti bukan­nya didapat dari pewarisan, melainkan diperoleh oleh manusia sendiri karena kekuatan sendiri dengan penelitian-penelitian.
    Suatu perkembangan yang maha penting dalam zaman itu adalah mulai timbulnya ilmu pengetahuan alam modern berdasar­kan metode eksperimental dan matematis. Beberapa tokoh peletak dasar ilmu pengetahuan tersebut antara lain Leonardo da Vinci, Nicolaus Copernicus, Johanes Kepler serta Galileo Galilei. Seorang tokoh yang meletakkan dasar filosofis untuk perkembang­an dalam ilmu pengetahuan adalah Francis Bacon. Bangsawan Ing­gris ini mengarang suatu karya yang bermaksud menggantikan teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan dengan suatu teori baru yang disebut Novum Organon (Bertens, 1989: 64).
    Terlebih lagi perkembangan filsafat pada abad modern ini di­tandai dengan hadirnya masa Aufklarung. Nama ini diberikan pada masa ini karena manusia mencari suatu cahaya baru dalam rasio­nya. Immanuel Kant telah memberikan semacam definisi, bahwa Aufklarung dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak akil balig, yang disebabkan karena kesalahan manusia sendiri. Ke­salahan dikarenakan manusia tidak mau mempergunakan akalnya. Dalam pengertian ini Voltaire menyebutnya sebagai "Zaman akal" (Hadiwijono, 1983 : 47).
    Zaman filsafat abad modern ini muncullah berbagai tokoh pemikir yang mampu mengubah dunia terutama yang kemudian dikembangkan pada ilmu pengetahuan. Dalam kaitan dengan perkembangan filsafat bahasa pada abad ini muncullah para pe­mikir yang merupakan akar filsafat bahasa terutama filsafat anali­tika bahasa. Rasionalisme Rene Descartes yang bahkan ia disebut sebagai "Bapak filsafat modern", Empirisme antara lain tokohnya adalah Thomas Hobbes, John Locke dan David Hume tokoh Kri­tisisme Immanuel Kant serta August Comte sebagai pencetus paham Positivisme.
    Paham-paham tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat bahasa terutama dalam pengembangarn da­sar-dasar analisis bahasa.

    2. Rene Descartes

    Filsuf yang membuka cakrawala abad modern adalah Rene Descartes sehingga ia layak mendapat gelar 'bapak filsafat modern'. Filsuf ini dilahirkan di Perancis dan belajar filsafat pada Kolese di La Fleche. Descartes menyusun satu buku tentang meto­de yang berjudul 'Discours de la Methode' (1637) yang artinya ya­itu uraian tentang metode. Buku tersebut menjelaskan tentang pe­ngembaraan intelektualnya. Ia sebagai seorang filsuf yang inovatif ia tidak merasa puas dengan ajaran-ajaran filsafat dan ilmu penge­tahuan yang menjadi bahan pendidikannya. Descartes menyatakan bahwa dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatupun yang dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan tidak terkecuali filsafat dan ilmu pengetahuan yang pada saat itu berkembang, terkecuali ilmu pasti yang merupakan hasil dari rasio (Bertens, 1989: 45).
    Pemikiran Descartes sangat besar pengaruhnya terhadap per­kembangan filsafat analitika bahasa dan bahkan hal ini ditekankan sendiri oleh Descartes bahwa metode yang ia kembangkan itu ada­lah metode analitis. Untuk mencapai kebenaran pengetahuan Descartes berpangka1 pada keragu-raguan terhadap segala sesuatu. Na­mun keragu-raguan di sini bersifat metodis dan bukannya skip­tisisme mutlak yaitu keragu-raguan sebagai suatu pandangan.
    Menurut Descartes yang dipandang sebagai pengetahuan yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah, artinya bahwa gagasan-gagasan atau ide -ide itu seharusnya dapat dibedakan dengan gagasan-gagasan atau ide-ide yang lain. Pengamatan indrawi tidak memberi keterangan kepada kita tentang hakikat dan sifat-sifat dunia di luar kita. Pengarnatan indrawi hanya memberi nilai praktis. Benda-henda di luar kita hanya memberi ide yang samar-samar saja. Ide yang samar-samar itu hanya memberitahu­kan kepada kita tenting perasaan subjek yang mengamatinya. Hanya permikiran yang jelas dan terpilah-pilah yang dapat menga­jar kepada kita secara sempurna tentang hakikat segala sesuatu dan sifat-sifatnya yaitu melalui pengertian-pengertian atau ide-ide yang secara langsung jelas. Yang diketahui pikiran secara langsung tan­pa melalui perantaraan adalah dirinya semata-mata. Segala sesuatu di luarnya hanya dikenal secara tidak langsung, melalui perantara­an. Pengertian atau idea-idea itu semula dikenal dalam realitasnya sendiri. Pikiran menemukan dalam dirinya sendiri ide-ide itu seba­gai gagasan-gagasan yang menampakkan diri sebagai pencerminan objek-objek atau sasaran-sasaran di luar kita. Oleh karena itu ide-­ide itu juga menjadi alat untuk mengenal hal-hal yang di luar pikir­an. Pengertian yang jelas dan terpilah-pilah tadi ternyata benar-be­nar sesuai dengan apa yang digambarkan (Hadiwijono, 1983: 22). Oleh karena itu untuk mencapai kebenaran pengetahuan yang ke­dap dengan keragu-raguan, tahapaan metodenya sebagai berikut:
    (a) Bertolak dari keragu-raguan metodis bahwa tidak ada yang di­terima sebagai sesuatu yang benar. Konsekuensinya kita harus menghindarkan diri dari sikap tergesa-gesa dan prasangka. Adapun dalam keputusan-keputusan hanya menerima sesuatu yang dihadirkan pada akal dengan sedemikian jelas dan tegas sehingga mustahil untuk disangsikan.
    b) Semua bahan dan persoalan yang diteliti, dibagikan dalam sebanyak mungkin bagian, manakala kiranya perlu untuk pemecahan yang memadai.
    (c) Sistematik pikiran dilakukan dengan bertitik tolak dari pemahaman objek dari yang paling sederhana dan mudah, berangsur-angsur tahap demi tahap sampai pada pengertian yang lebih kompleks. Jadi dari pengertian yang simpel dan absolut sampai pada pengertian yang kompleks dan relatif.
    (d) Akhirnya sampailah pada tinjauan permasalahan yang bersifat universal, sehingga ditemukan suatu kepastian. Maka dengan demikian tiada lagi keraguan (Bakker, 1984: 74-78).
    Hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan menurut Des­cartes yaitu bahwa 'cogito ergo sum" ‘aku berpikir dan oleh karena itu aku ada'. Memang segala sesuatu yang dipikirkan dapat saja tentang khayalan, akan tetapi aku berpikir bukanlah khayalan. Tiada seorangpun dapat menipu saya, bahwa saya berpikir dan oleh kare­na itu di dalam hal berpikir ini saya tidak ragu-ragu maka aku berada (Hadiwijono, 1983 : 21).
    Doktrin Descartes tentang cogito ergo sum yang ditindaklan­juti dengan keragu-raguan metodis beserta langkah-langkahnya un­tuk mendapatkan kebenaran pada hakikatnya adalah menerapkan metode yang bersifat analitik dan hal itu dikemukakan sendiri oleh Descartes. Langkah-langkah metodis ini nampaknya memiliki ke­miripan dengan metode yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh Atomisme logis. Pemikiran Atomisme logis yang menjelaskan realitas melalui bahasa logik yang diungkapkan melalui proposisi­-proposisi. Proposisi atomik adalah mengungkapkan fakta atomik. Realitas tersusun atas fakta-fakta dari fakta atomik sampai pada fakta yang bersifat kompleks, dan yang dimaksud fakta dalam pe­ngertian ini adalah keberadaan suatu peristiwa (state of affairs) . Terdapat kesamaan antara metode Descartes dengan metode Atomisme logis yaitu keduanya menggunakan metode analitis, atau dengan lain perkataan bahwa kedua pemikiran tersebut sama-sama menggunakan metode analitis dalam mengungkapkan kebe­naran. Namun demikian terdapat perbedaan di antara keduanya yaitu, Atomisme logis dalam memecahkan problema-problema filosofis menggunakan analisis logis tentang ungkapan-ungkapan filsafat, sehingga sampai pada suatu putusan. Adapun Rene Des­cartes melalui pendekatan ontologik yaitu 'cogito ergo sum' 'aku berpikir oleh karena itu saya ada' dan pencapaian tidak didasarkan pada analisis logis namun didasarkan pada intuisi dan akal murni, walaupun titik tolak pemikiran Descartes adalah pada rasio. Demikianlah kiranya Rene Descartes selain sebagai bapak filsafat modern ia juga sebagai peletak dasar-dasar filsafat analitik. Paham rasionalismenya dikembangkan oleh para tokoh filsafat analitik yang mengungkapkan konsep-konsep tentang proposisi antara lain proposisi formal yang bersumber pada rasio manusia.

    3. Thomas Hobbes

    Perkembangan pemikiran filsafat setelah masa rasionalisme Descartes adalah paham empirisme. Thomas Hobbes adalah filsuf Inggris pertama yang mengembangkan aliran empirisme. Walau­pun sebelum Hobbes, Francis Bacon telah menerapkan prinsip­prinsip empirisme namun Bacon tidak mengembangkan suatu ajar­an yang lengkap melainkan dalam bentuk pengembangan pada aplikasi di bidang ilmu pengetahuan empiris. Biarpun demikian ia menerima juga prinsip metode yang dipakai dalam ilmu-ilmu alam sebagaimana dikembangkan oleh Bacon yaitu metode empiris ma­tematis. Thomas Hobbes termasuk filsuf yang unik dan kreatif yai­tu menyatukan pandangan empirisme dengan rasioralisme dalam suatu sistem filsafat materialisme.
    Pemikiran filsafat materialisme sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat bahasa, baik yang berkaitan de­ngan pemikiran filsafat analitik maupun terhadap perkembangan permikiran hakikat bahasa yang merupakan dasar-dasar perkem­bangan ilmu linguistik periode berikutnya.
    Menurut Hoboes filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang penampakan-penampakan yang sedemikian sebagaimana yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati, yaitu untuk mencari sebab-sebabnya. Adapun instrumen­nya adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan melalui baha­sa yang menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam proses penga­matan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam bentuk penger­tian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita. Sasaran ini dihasil­kan dengan perantaraan pengertian-pengertian ruang, waktu, bilangan dan gerak yang diamati pada benda-benda yang bergerak. Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata, yang nyata menurutnya adalah gerak dari bagian-­bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda-benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang ada pada subjek. Segala yang ada ditentukan oleh sebab, yang hu­kumnya sesuai dengan hukum alam dan ilmu pasti. Dunia adalah suatu keseluruhan sebab-akibat dan kesadaran kita termasuk di dalamnya. Demikianlah kiranya filsafat Hobbes nampak ciri-ciri empirisme, rasionalisme dan materialisme (Hadiwijono, 1983: 32). Sebenarnya masih terdapat filsafat Hobbes yang justru paling populer yaitu konsepnya dalam bidang filsafat politik dan salah satu karya besarnya adalah "Leviathan " (Bertens, 1989 : 51).
    Walaupun tidak secara langsung pengaruh Hobbes terhadap berkembangnya filsafat bahasa, namun demikian sebenarnya ber­dasarkan ajaran-ajaran yang dikembangkannya terdapat tiga hal yang mempengaruhi berkembangnya filsafat bahasa terutama filsa­fat analitika bahasa. Pertama, ajaran empirisme Hobbes mem­berikan warna bagi berkembangnya paham-paham filsafat anali­tika bahasa, terutama atomisme logis dan positivisme logis, bahwa proposisi itu mengungkapkan fakta-fakta bahkan menurut positivisme logis, bahwa ungkapan yang bermakna adalah yang dapat diverifikasi secara empiris. Hobbes memberikan dasar-dasar ini karena dalam empirisme Hobbes juga mengangkat otoritas rasio (logika) dan fakta. Kedua, menurut Hobbes fakta-fakta itu diuugkapkan dengan menggunakan bahasa sebagai instrumennya, dan hal ini dilakukan oleh atomisme logis dan positivisme logis dalam mengungkapkan realitas melalui bahasa yang didasarkan pada logika. Ketiga, empirisme Hobbes memberikan warna bagi penentuan sistern logika bahasa filsafat analitik yaitu proposisi meliputi pengertian proposisi empiris (atau faktual) yaitu proposisi yang mengungkapkan realitas empiris (yaitu yang berasal dari penga­laman indra), dan proposisi formal yang bersumber dari rasio ma­nusia dan memiliki kebenaran yang bersifat tautologis.

    4. John Locke
    Pemikiran empirisme John Locke merupakan sintesa rasio­nalisme Rene Descartes dengan empirisme Thomas Hobbes. Wa­laupun Locke menggabungkan beberapa pemikiran Descartes, na­mun ia menetang ajaran-ajaran pokok Descartes. la menentang teori rasionalisme mengenai ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut Locke segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal atau rasio bersifat pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri, namun diperolehnya dari luar akal melalui inderawi (Hadiwijono, 1983: 36). Semula akal semacam secarik kertas yang putih bersih "as a white paper" tanpa tulisan dan seluruh isinya berasal dari pengalaman inderawi manusia (Bertens, 1989 : 5l ).
    Locke tidak memberikan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akal. Satu-satunya sasaran atau objek pengetahuan adalah gagasan-gagasan atau ide-ide, yang timbulnya karena pe­ngalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflection) yang berada dalam psikis manusia. Gagasan-gagasan dibedakan atas gagasan tunggal (simple ideas) dan gagasan majemuk (com­plex ideas). Gagasan tunggal datang langsung dari pengalaman. tanpa pengolahan logis apapun, adapun gagasan majemuk timbul dari percampuran atau penggabungan gagasan-gagasan tunggal. Jikalau beberapa gagasan secara teratur bersama-sama menampil­kan diri, subjek menanggapi gagasan-gagasan itu sebagai termasuk satu hal yang sama, yang berdiri sendiri yang disebut substansi. Selain dari substansi gagasan-gagasan majemuk juga dapat meli­puti pengertian tentang keadaan atau modi tentang hubungan-hu­bungan. Tugas roh manusia terbatas pada memberi sebutan kepada gagasan-gagasan tunggal tadi, menggabung-gabungkannya, merangkumkannya dan menjadikannya bersifat umum. Dari gagasan-­gagasan itulah timbul isi pengetahuan kita yang bermacam-macam sekali. Pengetahuan umum adalah suatu sebutan kolektif bagi segala gagasan yang tunggal dan majemuk dari rumpun yang sama. Jadi bahasa yang tersusun atas kata-kata berfungsi sebagai tanda bagi suatu isi kesadaran manusia.
    Sasaran pengenalan manusia adalah gagasan semata-mata. Pengenalan manusia adalah pengenalan tentang gagasan-gagasan atau ide-ide yaitu kesan-kesan yang dimiliki subjek yang menge­nal. Gagasan-gagasan tunggal dari pengalaman batiniah adalah objektif. Gagasan-gagasan itu kita kenal dalam kesadaran seperti keadaan yang sebenarnya. Segala gejala psikis yang disaksikan oleh kesadaran kita tampil sebagai kenyataan, bagi manusia. Gagasan tunggal dari pengalaman lahiriah semuanya adalah benar sejauh gagasan-gagasan itu disebabkan oleh realitas yang ada di luar subjek serta menghadirkan realitas itu dalam kesadaran kita. Pengamatan tentang dua gagasan tunggal yang ada atau yang tidak ada persesuaiannya dinyatakan di dalam suatu putusan. Apakah gagasan yang satu ada persesuaiannya dengan gagasan yang lain dapat muncul dalam beberapa bentuk antara lain : (a) dalam ben­tuk identitas atau perbedaan, (b) dalam bentuk hubungan, (c) da­lam bentuk koeksistensi atau berada bersama-sama, dan (d) dalam bentuk kenyataan. Bagaimanapun bentuknya gagasan-gagasan itu senantiasa dihubungkan dengan yang lain dalam suatu putusan. Pu­tusan itu dapat benar, tetapi dapat juga salah. Ada putusan yang hanya mengenai pengetahuan tentang gagasan-gagasan kita (ilmu pasti, etika), ada putusan yang mengenai gagasan-gagasan tunggal dan kesesuaiannya dengan kenyataan di luar kita (misalnya menge­nai sifat primer dan sekunder) dan ada putusan yang mengenai gagasan-gagasan kompleks dan kesesuaiannya dengan kenyataan (dalam hal ini khususnya timbul soal yang mengenai substansi). Segala putusan terjadi di kawasan roh. Putusan yang benar dipero­leh karena pengenalan intuitif. Segala kepastian dan kejelasan da­lam pengetahuan bersandarkan intuisi, pembuktian kurang mem­beri kepastian dibanding dengan intuisi (Hadiwijono, 1983 : 36).
    Empirisme John Locke lebih memiliki sifat analitis diban­dingkan dengan Thomas Hobbes, sehingga dalam hubungannya dengan pemikiran filsafat analitika bahasa empirisme Locke ba­nyak memberikan sumbangan terutama dasar-dasar fakta empiris beserta bentuk susunan gagasan-gagasan. Dalam konsep filsafat analitika bahasa dikenal konsep proposisi elementer atau sederha­na yang melukiskan fakta elementer (atomis) serta proposisi kom­pleks yang melukiskan fakta yang kompleks pula. Hal ini sesuai dengan konsep Locke tentang ide-ide yang sederhana dan ide-ide yang kompleks. Jastifikasi pengetahuan empiris juga memiliki kesamaan dengan jastifikasi proposisi menurut konsep analitika bahasa yaitu keduanya bukan hanya sampai pada klarifikasi mela­inkan sampai pada putusan. Namun perbedaannya bahwa Locke ti­dak menentukan susunan gagasan-gagasan atau ide-ide itu berda­sarkan pada sistem logika seperti yang dilakukan oleh atomisme logis maupun positivisme logis.
    Dalam kaitannya dengan bahasa isi pengetahuan yang timbul dari gagasan-gagasan manusia diungkapkan melalui bahasa. Ada­pun menurut filsafat analitik yang diungkapkan melalui bahasa adalah fakta, yang tersusun atas prinsip-prinsip logika sehingga menentukan bermakna atau tidaknya ungkapan tersebut.

    5. George Berkeley

    Filsuf kelahiran Irlandia ini pernah menjadi uskup anglikan di Cloyne. Berkeley dalam konsep-konsep pemikiran filosofisnya sebenarnya meneruskan tradisi Locke namun dalam kesimpulan serta dasar-dasar metafisikanya berbeda. Sebagaimana kita pahami Locke menyatakan tentang adanya substansi-substansi material dan hal ini ditolak oleh Berkeley. la berpendapat bahwa sama sekali tidak ada substansi-substansi material di luar kita, yang ada hanyalah ciri-ciri yang diamati atau pengalaman dalam roh saja sehingga pemikiran Berkeley ini terkenal dengan aliran yang dise­but 'imaterialisme' (Bertens, 1989:52).
    Berdasarkan ciri metafisiknya pemikiran Berkeley ini ber­muara pada aliran idealisme, karena ia menyangkal adanya suatu dunia yang ada di luar kita. Keyakinan asasi menurutnya adalah sebagai berikut : (a) segala realitas di luar manusia adalah tergan­tung kepada kesadaran, (b) tiada perbedaan antara dunia rohani dan dunia bendawi, (c) tiada perbedaan antara gagasan pengalam­an batiniah dengan gagasan pengalaman lahiriah, sebab pengamat­an adalah identik dengan gagasan yang diamati, dan (d) tiada sesu­atu yang berada kecuali roh, yang dalam realitasnya yang kongkrit adalah pribadi-pribadi (Hadiwijono, 1983 : 50).
    Titik tolak pemikiran Berkeley terdapat pada pandangannya di bidang teori pengenalan. Menurutnya segala pengetahuan kita bersandar pada pengamatan. Pengamatan adalah identik dengan gagasan yang diamati. Pengamatan terjadi bukan karena hubungan antara subjek yang mengamati dengan objek yang diamati, melain­kan hubungan antara pengamatan indera yang satu dengan penga­matan indera yang lain. Hanya pengamatanlah yang ada, sehingga relitas objek yang diamati pada hakikatnya terletak pada pengamatan itu sendiri. Objek adalah gagasan-gagasan atau ide-ide, yaitu ide-ide yang disebabkan karena pengamatan indera yang langsung dan disebabkan pengamatan batiniah . Demikian juga objek itu pada hakikatnya disebabkan karena pengamatan-pengamatan yang ditambah ingatan dan fantasi atau khayalan, dengan penggabungan bagian-bagian gambaran yang diamati.
    Sifat pengamatan adalah kongkrit, artinya isi yang diamati adalah sesuatu yang benar-benar dapat diamati. Isi itu bukan pe­ngertian-pengertian umum yang abstrak, yang timbulnya karena rangkuman dari ketentuan-ketentuan yang bersifat individual. Sesuatu yang kita amati adalah kongkrit. Jadi hanya gagasan-ga­gasan yang kongkritlah yang dapat dipakai untuk memikir­kan gagasan-gagasan kongkrit lainnya yang bermacam-macam itu. Apa yang berada secara umun hanya berada sebagai nama saja. Tiada pengertian umum seperti umpamanya substansi, benda, dunia dan lain sebagainya (Hadiwijono, 1983 : 51).
    Pemikiran Berkeley ini di samping secara substansial sebagai pangkal penolakan kalangan filsuf analitika bahasa karena dasar metafisisnya yang bersifat `imaterialis', karena prinsip utama para filsuf analitis adalah penolakannya terhadap metafisika, juga me­miliki sisi positif yang dikembangkan oleh positivisme logis yaitu pengamatan yang kalau menurut istilah positivisme logis adalah sebagai prinsip verifikasi.

    6. David Hume

    Dalam sejarah filsafat Inggris, tradisi permikiran empirisme yang paling konsekuen dan radikal adalah pemikiran David Hume. Ia memang mengembangkan, ajaran Locke dan Berkeley yang dio­lahnya secara cermat sehingga merupakan pandangan empirisme yang amat fanatik dan tajam.
    Menurut Hume bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya dan sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan atau 'impression' dan pegertian-pengertian atau ide-ide yang disebut 'ideas'. Yang dimaksud dengan kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun batiniah, yang menampakkan diri dengan jelas hidup dan kuat. Menurut Hume Yang dimaksud dengan pengertian atau ide adalah gambaran tentang pengalaman yang redup samar-samar, yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima dari pengalaman manusia. Ide kurang jelas dan kurang hidup jika dibandingkan dengan kesan-kesan. Rasa sakit pada bagian tubuh yang sedang lu­ka dirasakan lebih kuat dibanding dengan kemudian jikalau rasa sakit itu direnungkan kembali. Ide atau pengertian adalah sebagai tembusan atau copy dari kesan-kesan, sehingga kesan dan ide ada­lah sama. Perbedaannya terletak pada caranya ditimbulkan dalam kesadaran, yang satu secara langsung yang lain dengan perenungan kembali (Hume, 1977: 9-13). Yang termasuk dalam ide yang kea­daannya redup, samar-samar dan tidak pasti adalah segala hal apa saja, yang kita terima secara tidak langsung misalnya gagasan yang menyenangkan atau yang menyedihkan dari pertemuan dengan teman, dan lain-lain. Sebenarnya sebagian umat manusia menda­sarkan pendapatnya atau pengetahuannya, atas hal-hal yang diteri­manya tidak secara langsung, yang melalui ide-ide atau pengerti­an- pengertian. Itulah sebabnya manusia sering ragu-ragu, kacau dan lain sebagainya. Sebagian besar pendapat manusia sebenarnya tidak bermakna karena kesalahan pengenalan.
    Akan tetapi segala kekaburan dan kekacauan akan hilang, ji­kalau kita berhasil menemukan kembali sumber-sumber asal ide-­ide atau pengertian-pengertian itu. Sumber asal ide-ide itu adalah kesan-kesan yang diterima langsung dari pengalaman. Bilamana akal kita dipenuhi oleh kesan-kesan yang demikian itu, barulah kita mengetahui hal yang sebenarnya. Kuasa kesan-kesan ini memang tidak dapat ditentang. Kuasa ini menghasilkan suatu keya­kinan yang dapat kita andalkan sepenuhnya, dan keyakinan yang demikian inilah menurut Hume disebut "kepercayaan". Kita percaya bahwa di dalam kesan-kesan, itu pengalaman kita bukan lagi hal-hal yang menyesatkan dan salah. Dalam kepercayaan ini kita mendapatkan pengetahuan langsung, di mana segala keragu-­raguan dilarutkan ke dalam kepastian.
    Secara metafisik Hume menentang aku menurut Descartes maupun Berkeley yang menyatakan aku sebagai substansi roh. Menurut Hume, tidak pernah ia mengamati aku itu, tanpa ada satu pengamatan yang lain atau lebih dari satu pengamatan yang lain.Ia tidak pernah menjumpai kesan aku yang berdiri sendiri, dan sebenarnya yang diamati hanyalah kesan-kesan belaka. Oleh karena itu yang disebut "aku" sebenarnya merupakan suatu komposisi atau susunan kesan-kesan tadi. Di dalam diri kita tiada hal yang lain kecuali kemarahan, ketakutan, kekacauan, pengharapan, kesenangan dan lain sebagainya. Jadi aku sebenarnya bukanlah merupakan suatu substansi yang berdiri sendiri karena tidak dapat diamati secara langsung, sehingga sebenarnya merupakan susunan kesan­kesan atau komposisi kesan-kesan yang diterima manusia.
    Bagi penganut idealisme yang fanatik nampaknya pemikiran Hume itu dirasakan terlalu keras dan radikal. Dengan ungkapan lain Hume menolak secara radikal realitas metafisis yang tidak didasarkan pada fakta empiris, walaupun pada sisi lain ia mendasarkan pandangan metafisiknya pada eksistensi pengamatan, kesan-kesan serta ide-ide. Aspek inilah yang merupakan inspirasi kalangan filsuf analitika bahasa terutama paham atomisma logis dan positivisme logis. Mereka secara lantang menyatakan menentang dan menolak ungkapan-ungkapan metafisika. Ungkapan-ung­kapan metafisis yang dikemukakan oleh kaum idealisme itu sebe­narnya tidak menyatakan fakta apa-apa oleh karena itu lama sekali tidak bermakna atau nirarti.
    Hume juga memiliki andil yang besar terhadap konsep dasar proposisi terutama paham atomisme logis, yang menjelaskan bahwa proposisi itu mengungkapkan fakta yaitu suatu keberadaan peristiwa. Proposisi yang sederhana mengungkapkan fakta yang sederhana atau elementer, adapun proposisi yang kompleks me­ngungkapkan fakta yang kompleks. Susunan logis proposisi ini nampaknya memiliki kesamaan dengan konsep susunan kesan-­kesan serta ide-ide yang sederhana dan yang kompleks menurut Hume yang dikembangkan dalam proses pengenalan.
    Konsep particularia, universalia dan egocentric particular yang dikembangkan oleh Russell adalah merupakan hasil pengo­lahan lebih lanjut konsep Hume tentang teori pengenalan. Menurut Russell particularia adalah merupakan hasil persepsi kongkrit individual, adapun universalia adalah menunjuk pada sifat atau hubungan. Egocentric particular adalah merupakan pengalaman induvidual (Heraty, 1984 : 86). Russell yang juga setia pada tradisi empirisme nampaknya mengembangkan lebih lanjut konsep Hume terutama doktrin pengenalannya pada atomisme logis.
    Demikian juga pengakuan tentang relitas empiris sebagai dasar pemikiran filosofisnya nampaknya merupakan sumbangan yang berharga atas pemilahan proposisi menurut positivisme logis yaitu proposisi formal dan faktual atau empiris. Selain itu prinsip verifikasi empiris yang dikembangkan oleh positivisme logis nampaknya merupakan hasil jasa baik dari Hume. Demikianlah kiranya tradisi empirisme yang memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan filsafat bahasa.
    Pengaruh pemikiran empirisme juga sangat kuat terhadap filsuf bahasa yang membahas dan mengembangkan pengertian ha­kikat bahasa terutama dalam kaitannya dengan perkembangan linguistik modern yang mengakui hakikat realitas bahasa sebagai suatu realitas empiris, tokohnya antara lain Ferdinand de Saussure, Blommfield, Halliday, Chomsky dan tokoh-tokoh lainnya.

    7. Immanuel Kant
    Munculnya pemikiran filsuf Jerman ini menandai suatu era baru dalam bidang perkembangan f lsafat. Kant berusaha untuk melakukan suatu sintesa baru terhadap suatu pemikirar filsafat yang pada saat itu berkembang yaitu paham rasionalisme dan empirisme (Hadiwijono, 1983:63). Pemikiran Kant tersebut dike­nal dengan paham 'kritisisme '. Menurutnya kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menye­lidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant adalah filsuf yang pertama yang mengembangkan penyelidikan ini, karena menurut pendapatnya filsuf-filsuf sebelumnya adalah bersifat dogmatisme, karena mereka hanya percaya secara mentah-mentah pada kemam­puan rasio tanpa menyelidiki terlebih dahulu. Kant yang dalam prestasi pemikirannya mampu mengubah wajah filsafat membeda­kan dan mempertentangkan antara dogmatisme dengan kritisisme yang dituangkan dalam karya besarnya (Bertens. 1989: 59).

    Kritik atas Rasio Murni

    Kritisisme Kant sebagai suatu usaha raksasa untuk menjem­batani rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementing­kan unsur apriori dalam pengenalan, yang berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman misalnya 'ide-ide bawaan' ala Descartes. Sedangkan empirisme menekankan unsur-unsur aposte­riorinya, berarti hanya unsur-unsur yang berasal dari pengalaman sebagaimana dikemukakan Locke dan Hume.
    Menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme sebenar­nya kedua-duanya bersifat berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori. Walaupun Kant sangat mengagumi empirisme Hume yang bersifat radikal dan konsekuen, namun ia tidak menyetujui skeptisisme yang dikembangkan Hume yang menyimpulkan bahwa dalam ilmu penge­tahuan kita tidak dapat mencapai suatu kepastian. Pada hal sebabagaimana diketahui bersama bahwa pada masa Kant sudah menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh beberapa ilmuwan mampu menemukan dalil atau hukum-hukum yang sifatnya berlaku umum.
    Dahulu para filsuf mencoba mengerti akan pengenalan de­ngan mengandaikan bahwa subjek mengarahkan diri pada objek. Kant berupaya mengembangkan pengenalan dengan berpangkal pada suatu anggapan bahwa objek mengarahkan diri pada subjek. Sebagaimana ditetapkan oleh Copernicus bahwa bumi berputar sekitar matahari dan tidak sebaliknya, demikian pula Kant berupaya memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada objek (Bertens, 1989 : 60).
    a. Pada taraf indra
    Pengenalan merupakan sintesa antara unsur apriori dengan unsur aposteriori. Unsur apriori memainkan peranan bentuk dan unsur aposteriori memainkan peranan materi. Menurut Kant, unsur apriori itu sudah terdapat pada taraf indera. Ia berpendapat bahwa dalam pengenalan inderawi selalu ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Jadi ruang tidak merupakan ruang kosong, di mana benda-benda diletakkan, ruang tidak merupakan 'ruang pada dirinya' (ruang an sich). Demikian pula waktu tidak merupakan suatu arus tetap, di mana penginderaan-penginderaan bisa ditem­patkan. Kedua-duanya merupakan bentuk apriori dari pengenalan inderawi (Bertens, 1989 : 60). Menurut Kant pengenalan itu ber­sandar pada putusan. Oleh karena itu perlu pertama-tama diadakan penelitian terhadap suatu keputusan. Suatu putusan menghubung­kan dua pengertian, yang terdiri atas subjek dan predikat, misalnya "logam mengembang". Putusan ini disebut putusan sintetis dan diperolch secara aposteriori. Selain itu terdapat juga putusan ke­dua yaitu bersifat analitis yang diperoleh secara apriori, misalnya "bujur sangkar itu sama sisi". Masih terdapat pula putusan yang bersifat apriori namun bersifat sintetis juga, misalnya "segala kejadian ada sebabnya", putusan ini berlaku umum dan mutlak. Ilmu pasti sebenarnya tersusun atas dasar putusan apriori yang bersifat sintetis. Ilmu pengetahuan mengandaikan adanya putusan-putusan yang memberi pengertian baru (sintetis) dan yang pasti mutlak dan bersifat umum (apriori). Maka ilmu pengetahuan menurut adanya putusan-putusan apriori yang bersifat sintetis. Oleh karena itu sua­tu metafisika yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, harus juga dapat bekerja dengan mempergunakan putusan-putusan yang apriori, namun bersifat sintetis (Hadiwijono, 1983 : 65).
    Pendirian tentang pengenalan inderawi ini mempunvai implkasi yang penting yaitu, memang terdapat suatu realitas yang terle­pas dari subjek. Kant menyatakan bahwa memang ada 'das din­g an sich' (benda-benda pada dirinya sendiri), 'the thing in itself’ Akan tetapi 'das ding an sich' selalu tinggal X yang tidak dikenal. Kita hanya mengenal gejala-gejala, yang selalu merupakan suatu sintesa antara hal-hal yang datang dari luar dengan bentuk ruang dan waktu (Bertens, 1989 : 61).

    b. Pada taraf akal budi
    Kant membedakan akal budi (verstand) dengan rasio (vernunft). Tugas akal budi adalah menciptakan orde antara data-­data inderawi, dengan lain perkataan akal budi menentukan putus­an. Pegenalan akal budi merupakan sintesa antara bentuk dan materi.Materi adalah, data-data indrawa dan bentuk adalah apriori yang terdapat dalam akal budi. Bentuk apriori ini dinamakan Kant dengan "kategori" (Bertens. 1989 01). Menurut Kant terdapat empat kategori sebagai berikut:
    1) Kategori kuantitas, terdiri atas: singuler (satuan), partikuler (sebagian), dan universal (umum).
    2) Kategori kualitas, terdiri atas : realitas (kenyataan), negasi (pe­ngingkaran), limitasi {batas-batas}.
    3) Kategori relasi, terdiri atas : categories (tidak bersyarat), hypo­thetis (sebab dan akibat), disjunctif (saling meniadakan).
    4) Kategori modalitas. terdiri atas : mungkin/tidak, ada/tiada, ke­perluan/kebutuhan (Hamersma. 1983 : 30).
    Akal budi memiliki struktur yang sedemikian rupa, sehingga terpaksa manusia memikirkan data-data inderawi sebagai substansi atau menurut ikatan kategori yang lainnya. Dengan demikian Kant telah menjelaskan sahnya pengetahuan alam.


    c. Pada taraf rasio
    Tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari putusan-putus­an. Dengan lain perkataan, rasio mengadakan argumentasi-argu­mentasi, seperti halnya akal budi menggabungkan data-data inde­rawi dengan mengadakan putusan-putusan. Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi-argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga ide yaitu jiwa, dunia dan Allah. Dengan ide Kant memaksudkan suatu cita-cita yang menjamin kesatuan tera­khir dalam bidang gejala-gejala psikis (jiwa), dalam bidang kejadi­an-kejadian jasmani (dunia), dan dalam bidang segala-segalanya yang ada (Allah). Ketiga ide tersebut mengatur argumetttasi-argu­mentasi kita tentang pengalaman, tetapi ketiga ide tadi tidak ter­masuk pengalaman kita. Karena kategori-kategori akal budi hanya berlaku untuk pengalaman, kategori-kategori itu tidak dapat dite­rapkan pada ide-ide. Tetapi justru itulah yang diusahakan oleh me­tafisika misalnya upaya dalam bidang metafisika untuk membuk­tikan bahwa Allah adalah sebagai penyebab pertama alam semes­ta. Tetapi dengan itu metafisika melewati batas-batas yang ditentu­kan untuk pengenalan manusia. Adanya Allah dan immortalitas jiwa tidak dapat dibuktikan, sekalipun metafisika berusaha yang sedemikian. Usaha metafisika itu sia-sia dan hal itu dibuktikan oleh Kant bahwa bukti-bukti adanya Allah yang diberikan dalam filsafat praktis semuanya kontradiktoris (Bertens, 1989 : 62).

    Kritik atau Rasio Praktis

    Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga rasio disebut "rasio teoritis" atau menurut istilah Kant disebut "rasio murni". Tetapi di samping itu terdapat juga "rasio praktis", yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan, atau dengan lain perkataan rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perin­tah yang mutlak (imperatif kategoris). Misalnya barang kepunyaan orang lain harus dikembalikan atau secara negatif berupa larangan untuk tidak menyakiti orang yang tidak bersalah. Menurut Kant terdapat tiga hal yang harus diandaikan agar tingkah laku kita tidak menjadi mustahil. Tetapi harus diinsyafi bahwa ketiga hal itu tidak dibuktikan, melainkan hanya dituntut. Itulah sebabnya Kant me­nyebut sebagai "ketiga postulat dari rasio praktis", yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Allah. Jadi apa yang tidak dapat ditemui atas dasar rasio teoritis, harus diandaikan atas dasar rasio praktis. Tetapi tentang kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Allah kita lama sekali tidak mempunyai pengetahuan teoritis. Menerima ketiga postulat tersebut dinamakan Kant sebagai kepercayaan (Bertens, 1989: 62).

    8. Positivisme August Comte

    Pada abad ke-19 timbullah aliran filsafat yang menandai semakin berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Aliran itu terkenal dengan nama `Positivisme', yang secara etimologis berasal dari kata 'positif’ yang secara harfiah berarti yang diketahui, yang faktual empiris bahkan dapat juga berarti teruji atau teramati.
    Menurut aliran positivisme bahwa pengetahuan berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual atau yang positif. Sega­la uraian atau persoalan yang berada di luar apa yang ada sebagai fakta dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak.
    Apa yang kita ketahui secara positif adalah segala yang tam­pak, segala hal yang bersifat empiris dan segala gejala. Demikian­lah positivisme membatasi filsafat dan ilmu pengetahuan pada bi­dang gejala-gejala saja. Apa yang dapat kita lakukan adalah segala fakta yang menyajikan diri kepada kita sebagai penampakan atau gejala, yang kita terima sebagaimana apa adanya. Setelah itu kita berusaha untuk mengatur fakta-fakta tadi menurut hukum-hukum tertentu. Akhirnya dengan berpangkal pada hukum-hukum yang telah ditemukan tadi kita mencoba melihat ke masa depan, ke arah apa yang akan nampak sebagai gejala dan menyesuaikan diri dengannya. Arti segala ilmu pengetahuan adalah mengetahui untuk dapat melihat ke masa depan. Jadi kita hanya dapat menyatakan atau mengkonstatir fakta-faktanya, dan menyelidiki hubungan-hu­bungannya yang satu dengan yang lain. Maka tiada gunanya untuk menanyakan pada tingkat hakikatnya atau kepada sebab-sebab yang sebenarnya dari gejala-gejala itu. Yang harus diusahakan ma­nusia adalah menentukan syarat-syarat di mana fakta-fakta tertentu tampil dan menghubungkan fakta-fakta itu menurut persamaannya dan urutannya. Hubungan yang tetap yang tampak dalam persama­an itu disebut "pengertian", sedangkan hubungan-hubungan tetap yang tampak pada urutannya disebut "hukum".
    Bilamana diamati ajaran positivisme terutama dalam kaitan­nya dengan pengenalan pengetahuan masih memiliki kesamaan-­kesamaan prinsip terutama dalam hal mengutamakan pengalaman empiris. Namun perbedaan yang pokok adalah positivisme meno­lak dengan tegas metafisika, termasuk juga pengertian kawasan ide atau gagasan yang bersifat batiniah. Positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman objektif dan tanpa melibatkan pengalaman-pengalaman batiniah (Hadiwijono, 1983 : 109).
    Demikianlah doktrin positivisme yang periode-periode beri­kutnya sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu pengeta­huan modern terutama pada abad XX.

    Pemikiran August Comte

    Ajaran Comte yang paling terkenal adalah tiga tahap perkem­bangan pemikiran manusia, baik manusia perorangan maupun umat manusia sebagai keseluruhan. Bagi Comte perkembangan menurut tiga tahap atau tiga zaman tersebut merupakan suatu hukum yang tetap. Ketiga zaman tersebut meliputi : zaman teologis, zaman metafisis dan zaman positif atau zaman ilmiah.

    1) Zaman teologis
    Pada zaman ini manusia percaya bahwa di balik gejala-gejala alam terdapat kekuasaan adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kekuasaan ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi manusia percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk insani yang biasa. Zaman teologis sendiri dibagi atas tiga periode yaitu : taraf yang paling primitif yaitu benda-benda sendiri dianggapnya berjiwa (animisme), taraf berikutnya manusia percaya kepada dewa-dewa yang masing-masing menguasai suatu dunianya sendiri-sendiri misalnya, dewa laut, dewa gunung, dewa matahari dan lain seba­gainya yang disebut (politeisme). Adapun pada taraf lebih tinggi lagi manusia memandang satu Tuhan sebagai penguasa segala sesuatu (monoteisme).

    2) Zaman metafisis
    Dalam zaman ini kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan kon­sep-konsep dan prinsip-prinsip yang abstrak, seperti misalnya "kodrat " dan "penyebab". Konsep-konsep metafisika seperti subs­tansi, aksidensia dan lain sebagainya menjadi penting pada zaman ini. Metafisika dijunjung tinggi dalam zaman metafisis ini.
    3) Zaman positif
    Pada zaman ini sudah tidak lagi dicari penyebab-penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta. Manusia membatasi diri pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya manusia berusaha menetapkan relasi-relasi persamaan atau urut-urutan yang terdapat di antara fakta-fakta. Baru dalam zaman terakhir inilah manusia dapat menghasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya atau disebut ilmu pengetahuan modern (Bertens, 1989: 73).
    Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan Comte juga memberikan uraian-uraiannya yang kiranya sangat berpengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan pada abad XX.
    Pemikiran positivisme ini memberikan dasar pijak bagi pa­ham filsafat analitik terutama kelompok Wina atau Kring Wina yang menamakan dirinya sebagai paham positivisme logis. Seluruh pandangan positivisme diangkat oleh positivisme logis, hanya perbedaannya positivisme logis menekakan pada analisis konsep filosofis melalui bahasa, serta positivisme logis lebih me­nekankan kepada prinsip verifikasi.
    Baik positivisme maupun positivisme logis keduanya meno­lak dengan tegas tentang metafisika, bahkan positivisme logis ingin menghilangkan metafisika. Dasar-dasar verifikasi, pan­dangannya tentang ilmu pengetahuan dengan segala dasar-dasar epistemologisnya dapat dikatakan hampir keduanya memiliki kesamaan.
    FILSAFAT ILMU

    1. Hakikat Filsafat Ilmu
    Pada dasarnya pencarian ilmu merupakan upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu, ilmu selalu berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan hidup manusia. Dengan kata lain tidak ada ilmu yang abadi atau bersifat tetap.
    Dalam perkembangannya ilmu tidak jarang mengalami hambatan yang tidak dapat diselesaikan oleh ilmu tersendiri. Untuk itu, ilmu tersebut harus kembali ke induknya, yaitu filsafat.
    Demikian pula dalam pembahasan ilmu bahasa atau linguistik. Untuk membahas lebih dalam dan memberikan wawasan yang mendalam tentang bahasa, maka pembelajar bahasa perlu kiranya memahami filsafat bahasa.

    1.1 Pengertian Filsafat Ilmu
    Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa sebuah ilmu adakalanya berpaling pada induk ilmu, yakni filsafat. Secara etimologis, filsafat (Yunani) berarti mencintai kebijaksanaan atau mencintai kearifan (Inggris). Secara konseptual, filsafat diartikan beragam seperti yang dinyatakan oleh para filosof berikut ini.
    Ø Plato mengartikan filsafat sebagai merupakan upaya memberikan kritik terhadap pendapat yang berlaku.
    Ø Al-Farabi (Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan) menyatakan bahwa filsafat berusaha menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada;
    Ø Rene Descartes menyatakan bahwa filsafat merupakan kumpulan segala pengetahuan dengan menjadikan Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikannya;
    Ø Francis Bacon menganggap bahwa filsafat merupakan induk agung dari ilmu-ilmu yang menangani semua bidang;
    Ø John Dewey mengaggap filsafat sebagai alat untuk membuat penyesuaian-penyesuaian di antara yang lama dan baru dalam suatu kebudayaan (Achmadi, 1995:1-3).
    Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa filsafat merupakan kegiatan berefleksi secara mendasar dan integral (Siswomihardjo, 1999:14).
    Sehubungan dengan pembahasan ilmu bahasa (linguistik), maka pembahasan filsafat difokuskan pada filsafat ilmu. Filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat. Siswomihardjo (1999:19) menyatakan bahwa filsafat ilmu adalah refleksi mendasar dan integral mengenai hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini objek filsafat ilmu adalah tiang-tiang penyangga ilmu pengetahuan, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
    Sebelum membahas lebih mendalam tentang objek filsafat ilmu, kiranya perlu diketahui lebih mendalam tentang ilmu pengetahuan. Pengetahuan dapat diartikan sebagai pengamatan terhadap keseluruhan benda atau peristiwa (Langeveld dalam Mudlor, 1994:61-63). Dalam hal ini pengetahuan dapat bersifat objektif yang sesuai dengan kenyataan dan dapat pula bersifat subjektif yang berupa ide-ide tentang sesuatu.
    Dalam pengetahuan terdapat unsur pengamatan, objek/sasaran, dan kesadaran. Pengamatan adalah penggunaan indra lahir atau batin untuk menangkap objek; objek atau sasaran adalah sesuatu yang menjadi bahan pengamatan; dan kesadaran merupakan salah satu dari alam yang ada dalam diri seseorang, baik alam sadar maupun alam bawah sadar (Mudlor, 1994: 64).
    Pengetahuan-pengetahuan dapat berkembang menjadi ilmu. Ilmu merupakan susunan secara sistematis dari pengetahuan yang mempersoalkan bagian tertentu dari alam semesta. Ciri-ciri dari ilmu adalah:
    Ø membahas bagian dari alam dan mengadakan penyelidikan sebatas daerah itu pula;
    Ø menggunakan berbagai cara dan alat untuk mendapatkan pengetahuan yang tepat dan benar; dan
    Ø merupakan kesatuan yang tersusun rapi dan bersifat umum.
    Dengan demikian, ilmu dan pengetahuan mempunyai unsur yang sama, yakni pengamatan, sasaran/objek dan sasaran; tetapi juga mempunyai alasan, kenyataan dan tujuan (Mudlor, 1994:85-86).

    1.2 Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan
    Dalam kehidupan bermasyarakat dapat dijumpai berbagai pengetahuan. Yang membedakan ilmu (pengetahuan ilmiah) dengan pengetahuan lain adalah adanya penalaran, logika, sumber pengetahuan dan kriteria kebenaran. Berikut pembahasan masing-masing hal tersebut.

    1.2.1 Penalaran
    Pengetahuan manusia bersumber dari lima hal, yakni: pikiran, perasaan, indera, intuisi, dan wahyu. Dalam hal ini ilmu bersumber dari pikiran dan indera (Suriasumantri, 1999:3). Sebagai sumber ilmu, pikiran melakukan kegiatan penalaran.
    Penalaran merupakan kegiatan berpikir berdasarkan suatu aturan (logika) untuk menarik kesimpulan, yaitu pengetahuan. Kegiatan berpikir yang menggunakan penalaran mempunyai ciri-ciri: (1) adanya pola berpikir tertentu yang disebut logika, (2) proses berpikirnya bersifat analitis.
    Berpikir sesuai dengan logika disebut berpikir logis. Adakalanya suatu pikiran sudah dapat dianggap logis, tetapi dari sudut pandang yang lain dapat bersifat tidak logis. Hal ini disebabkan karena pola aturan yang satu dengan pola aturan yang lain tidak sejalan. Kekacauan penalaran timbul akibat ketidakkonsistenan dalam menggunakan pola berpikir (Suriasumantri, 2000:42-43). Pernahkah anda mengalami hal ini? Coba temukan penyebab kekacauan tersebut!
    Dengan mendasarkan pola berpikir tertentu, dimulailah kegiatan analisis. Tentu saja analisis tersebut harus didasarkan pada logika. Kegiatan berpikir yang dituntun intuisi disebut dengan kegiatan berpikir intuitif. Berpikir intuitif dapat saja diperoleh kebenaran, tetapi bisa juga hasilnya kurang tepat. Dalam kegiatan keilmuan yang lebih ditekankan adalah berpikir analisis.

    1.2.2 Logika
    Logika dapat diartikan sebagai cara penarikan kesimpulan. Ada bermacam cara yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan. Dua penarikan kesimpulan yang cukup penting adalah logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif berangkat dari pengamatan terhadap kasus-kasus untuk ditarik kesimpulan yang bersifat umum; sedangkan logika deduktif dimulai dari pemikiran yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus.
    Hasil penarikan kesimpulan, baik induktif maupun deduktif, berupa pernyataan yang bersifat umum. Pernyataan-pernyataan tersebut perlu dilacak lebih jauh untuk menetapkan hakikat sesuatu, yang dapat digunakan untuk mengembangkan pengetahuan lebih lanjut.
    1.2.3 Sumber Pengetahuan
    Ada dua cara pokok untuk mendapatkan pengetahuan, yakni rasio dan empiri. Kaum rasionalisme mengawali pemikiran dengan logika deduktif. Mereka berpendapat bahwa ide-ide (pengetahuan) ada sebelum manusia itu ada. Manusia hanya bertugas untuk menemukan pengetahuan yang sebenarnya telah ada dalam pikiran mereka. Dengan pengetahuan yang berupa pemikiran secara rasional itulah manusia dapat mengetahui kejadian di alam. Sebagai contoh, manusia pada hakikatnya telah dapat berbahasa. Dalam hidupnya manusia diharapkan dapat menggunakan konsep dasar yang telah dipunyainya sesuai dengan kebutuhannya.
    Permasalahan yang muncul adalah bagaimana mengetahui bahwa pemikiran mereka itu benar dan dapat dipercaya. Untuk itu manusia harus melakukan penelitian terhadap ide yang telah dimilikinya.
    Sebaliknya kaum emprisme menggunakan pengalaman (empiri) sebagai dasar penemuan pengetahuannya. Fakta-fakta yang ditemui selanjutnya digeneralisasikan menjadi pengetahuan. Pandangan ini pun diragukan karena sulitnya menentukan jenis pengalaman yang harus disimpulkan. Apakah yang dialaminya itu sekedar perasaan subjektif? Apakah yang dialaminya berlaku secara umum atau bersifat lokal saja?
    Selain kedua sumber pengetahuan tersebut, pengetahuan didapatkan melalui wahyu dan intuisi. Adakalanya tanpa berpikir dan atau melihat pengalaman, pengetahuan itu diperoleh. Namun demikian pengetahuan yang didapatkan pun tidak jarang diragukan. Hal ini disebabkan keraguan terhadap kebenaran turunnya wahyu dan intuisi pada seseorang yang dapat dipercaya.

    1.2.4 Kebenaran
    Suatu hal dapat dianggap benar jika hal itu bersifat konsisten dan koheren. Artinya, hal tertentu yang muncul harus selalu konsisten (bersifat tetap) dengan hal yang mendahuluinya. Sebagai contoh, jika manusia membutuhkan O2 untuk pernapasan, maka si X juga memerlukan O2 untuk bernapas.
    Kebenaran juga ditentukan oleh adanya hubungan antara hal yang dinyatakan dengan faktanya. Jika dikatakan bahwa hari ini sedang mendung, maka harus dibuktikan bahwa memang ada mendung dalam waktu sehari ini.
    Kebenaran juga dikaitkan dengan fungsi praktis pernyataan (yang dianggap benar). Jika hal tersebut tidak mempunyai nilai kebermanfaatan dalam kehidupan sehari-hari, maka biasanya hal tersebut dianggap tidak benar. Coba diskusikan dengan teman Anda contoh hal tersebut!
    Sehubungan dengan berbagai hal tersebut, maka kebenaran yang ada di dunia tidak ada yang abadi. Sebab, kebenaran itu hanya dapat dicapai pada kondisi yang situasi yang bersifat homogen. Jika di antara unsur-unsur yang ada mengalami perubahan, maka kebenaran itu tidak jarang mengalami pergeseran (tidak benar lagi). Hal inilah yang mendorong manusia unutk terus mencari kebenaran, dan tidak menganggap suatu kebenaran yang ada merupakan kebenaran mutlak.

    1.3 Landasan Filsafat Ilmu
    1.3.1 Ontologi
    Ontologi merupakan cabang filsafat yang membahas hakikat keberadaan sesuatu. Sehubungan dengan Filsafat Ilmu, objek kajiannya adalah hakikat ilmu. Dengan mengungkapkan hakikat ilmu, diharapkan dapat mengungkap rahasia alam. Selanjutnya, pengungkapan rahasia alam tersebut dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan hidup manusia.
    Perlu diketahui bahwa pandangan terhadap keberadaan ilmu tidak selalu sama. Perbedaan ini dimungkinkan karena perbedaan sudut pandang. Yang paling penting bukanlah mempermasalahkan perbedaan pandangan, tetapi menjadikan perbedaan itu untuk saling melengkapi dan menyempurnakan ilmu tersebut.
    Sehubungan dengan hal itu, Siswomihardjo (1999:63) menyatakan bahwa sebuah ilmu mengandung dua aspek penting, yakni aspek fenomenal dan aspek struktural. Aspek fenomenal menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan mengejawantah dalam bentuk masyarakat, proses, dan produk. Sedangkan aspek struktural menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan mempunyai unsur, yaitu:
    1) objek yang diketahui;
    2) objek tersebut dinyatakan secara terus menerus dengan metode tertentu tanpa mengenal henti;
    3) terdapat alasan dan motivasi penanyaan objek secara terus-menerus; dan
    4) jawaban yang diperoleh selanjutnya disusun dalam satu kesatuan sistem.
    Untuk mencapai tujuannya menemukan hakikat objek empiris, ilmu mempunyai asumsi terhadap objeknya. Suriasumantri (1978:8) menyatakan bahwa asumsi ilmu terhadap objeknya ialah:
    1) objek-objek tertentu mempunyai keserupaan dengan yang lain;
    2) suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu; dan
    3) tiap gejala bukan merupakan kejadian yang bersifat kebetulan; tiap gejala mempunyai pola dan urutan kejadian yang tidak sama.

    1.3.2 Epistemologi
    Seperti yang telah dinyatakan di atas, bahwa ilmu berbeda dengan pengetahuan yang lain. Hal utama yang membedakan ilmu dengan yang lain ialah metode penemuannya. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat dengan metode ilmiah yang mengutamakan penalaran. Penggunaan metode ilmiah dimaksudkan untuk menemukan suatu pengetahuan yang bersifat umum dalam bentuk teori, hukum, kaidah, asas, dan sebagainya (Surisumantri, 1978:19).
    Dalam pelaksanaannya, metode ilmiah mempunyai langkah-langkah tertentu, yakni: (1) perumusan masalah, (2) penyusunan hipotesis, (3) deduksi hipotesis, dan (4) penyusunan dan (5) pengujian teori. Langkah-langkah ini tidak bersifat kaku, tetapi tahapannya dapat dimodifikasi sesuai kepentingan ilmunya (Suriasumantri, 1978:29-33).

    1.3.3 Aksiologi
    Kebermanfaatan ilmu sangat ditentukan oleh pemilik ilmu., karena pada dasarnya ilmu itu bersifat netral. Ilmu dapat memberikan dampak yang positif, selama pemilik ilmu itu menggunakan untuk hal-hal yang mendatangkan kesejahteraan. Sebaliknya berdampak negatif jika digunakan untuk merusak atau merugikan pihak-pihak lain. Oleh sebab itu, pemilik ilmu harus mempunyai moral yang kuat.
    Dengan tujuan tersebut, pemahaman terhadap Filsafat Ilmu perlu dimilki oleh semua ilmuwan (pembelajar), sehingga penerapan ilmu itu benar-benar memberikan manfaat positif bagi manusia. Diskusikan dengan teman Anda beberapa penerapan ilmu yang tidak berdampak positif!








    BAB II
    HAKIKAT LINGUISTIK

    Untuk memperoleh pemahaman menyeluruh tentang linguistik, kiranya perlu dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Linguistik secara menyeluruh. Kajian ini diharapkan dapat mengungkap unsur-unsur penting dalam linguistik dan memahami kaitan-kaitan antarunsur tersebut. Oleh karena itu dalam bagian ini akan diuraikan tentang hakikat bahasa, hakikat ilmu bahasa, dan penelitian bahasa. Hal-hal inilah yang dapat menguak tentang hakikat tentang Linguistik.

    2.1 Hakikat bahasa
    Hakikat sesuatu, dalam hal ini bahasa, dapat diketahui antara lain setelah diketahui pengertian, karakteristik dan fungsinya.

    2.1.1 Pengertian bahasa
    Bahasa merupakan istilah yang digunakan dalam berbagai konteks dengan beragam pengertian. Adakalanya bahasa dimaknai sebagai langage, langue, parole, kalimat maupun hal lain yang bersifat khusus, antara lain kebijakan, maksud, atau hipotesis. Diskusikan contoh konkret masing-masing makna bahasa dengan teman Anda!
    Bahasa dapat diberikan pengertian yang beragam sesuai dengan sudut pandang yang digunakan. Beberapa ahli, antara lain Kridalaksana (1984:19) menyatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa digunakan oleh kelompok masyarakat yang satu berbeda dengan kelompok yang lain, dan di antara keduanya terjadi ketidaksalingmengertian. Hal ini untuk membedakan bahasa dengan varian bahasa.
    Bahasa dapat diartikan sebagai sistem unsur-unsur dan kaidah-kaidah. Bahasa juga dapat diartikan sebagai sistem tanda. Ada pula yang memberikan pengertian bahasa sebagai sebutan untuk alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada orang lain (Samsuri, 1982)
    Sebagai sebutan untuk alat komunikasi, bahasa diartikan dari sudut pandang fungsi bahasa. Bahasa ada karena manusia membutuhkan alat untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya kepada orang lain sehingga kebutuhannya dapat terpenuhi. Dapat dibayangkan betapa sulitnya kehidupan manusia jika tidak ada bahasa.
    Bahasa adalah sistem unsur-unsur dan kaidah-kaidah. Dinyatakan demikian karena bahasa dibangun oleh unsur-unsur, yakni: bunyi, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraph dan wacana. Unsur-unsur tersebut dalam tiap bahasa adakalanya berbeda. Ada unsur yang sama adapula unsur yang berbeda. Masing-masing unsur tersebut membentuk kaidah-kaidah tertentu yang berbeda pada tiap unsur maupun bahasa.
    Bahasa dianggap sebagai sistem tanda. Hal ini disebabkan karena bahasa merupakan tanda dari suatu acuan. Misal, [b][u][k][u] merupakan tanda dari sesuatu benda yang disepakati sebagai buku yang berupa lembaran kertas yang telah dijilid. Ada atau tidaknya benda itu di hadapan partisipan wicara, masing-masing telah memahami apa yang dimaksud oleh [b][u][k][u]. Selain tanda yang berupa bunyi bahasa, bahasa juga dapat berwujud tulis.

    2.1.2 Karakteristik bahasa
    Berdasarkan pengertian yang disampaikan oleh Kridalaksana, dapat dilihat bahwa karakteristik atau sifat bahasa adalah:
    1) merupakan sebuah sistem;
    2) berwujud lambang
    3) berupa bunyi;
    4) bersifat arbitrer;
    5) bermakna;
    6) konvensional;
    7) unik;
    8) universal;
    9) produktif;
    10) bervariasi;
    11) dinamis;
    12) berfungsi sebagai alat berinteraksi sosial; dan
    13) merupakan identitas penuturnya.
    Tugas: Jelaskan masing-masing karakteristik tersebut dengan disertai contoh konkret!

    2.1.3 Fungsi bahasa
    Secara umum fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi anatar penutur sehingga masing-masing dapat terpenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan jasmani maupun rohaninya. Namun secara khusus, fungsi bahasa dapat dirinci lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan penutur.
    Secara khus, fungsi bahasa adalah sebagai berikut:
    1) alat transformasi ilmu pengetahuan,
    2) alat pengembang kebudayaan;
    3) alat untuk menjalin kerjasama dengan pihak lain,
    4) alat untuk mengekspresikan rasa yang berkaitan dengan aspek estetika,
    5) alat untuk menyatakan identitas diri seseorang, dan lain sebagainya.
    Tugas: Sebutkan fungsi bahasa secara khusus lainnya. Berikan masing-masing argument untuk memperjelas pernyataan Anda!

    2.2 Hakikat ilmu bahasa (linguistik)
    Sudaryanto (1995:%)menyatakan bahwa linguistika adalah ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa. Dalam hal ini bahasa yang dimaksud adalah bahasa keseharian manusia sebagai anggota dari masyarakat tutur tertentu. Dengan kata lain linguistic adalah ilmu bahasa.
    Selain istilah tersebut, dikenal istilah ilmu lingistik dan lingguistik. Ilmu linguistik pada dasarnya mengacu pada makna yang sama ayaitu ilmu bahasa, tetapi penggunaan kata ilmu tersebut merupakan hal yang berlebihan. Hal ini disebabkan linguistik, yang dalam bahasa Inggrisnya dinyatakan sebagai linguistics, yaitu kata ics sudah bermakna ilmu. Sedangkan bentuk lingguistik merupakan penulisan yang tidak sesuai dengan kaidah Ejaan yang disempurnakan.
    Linguistik mengacu pada ilmu-nya, sedangkan objek ilmunya yaitu bahasa disebut dengan lingual. Linguistik berpadanan dengan linguistis yang menunjukkan “sifat ilmiah” atau yang “bersifat ilmiah”. Selain itu dikenal pula istilah linguis. Lingis menyatakan makna pakar atau orang yang ahli dalam mengkaji bahada dalam rangka disiplin ilmiah linguistik. Istilah yang berdekatan dengan istilah ini adalah linguist (bhs. Inggris) yang menyatakan makna orang yang menggunakan bahasa . Verhaar menyatakan bahwa istilah tersebut lebih baik disebut dengan polyglot.

    2.2.1 Sejarah Linguistik
    Tugas kelompok: Ringkaslah sejarah linguistik mulai dari jaman Yunani/Romawi sampai dengan jaman modern!

    2.2.2 Objek Materia Linguistik
    Secara umum, Linguistik menelaah bahasa manusia sebagai bagian universal yang dapat dikenali dari perilaku dan kemampuan manusia. Secara khusus, mempelajari sekumpulan bahan tertentu, yakni bahasa lisan dan bahasa tulis; yang dimulai dengan kegiatan-kegiatan yang dapat disampaikan dan dideskripsikan secara umum kepada masyarakat. Selain itu, juga dapat dibuktikan dengan mengacu kepada teori yang dirumuskan.
    Objek materia Linguistik adalah bahasa lisan, yaitu bahasa yang menggunakan suara yang dikeluarkan dari alat ucap manusia (mulut). Namun demikian, bahasa tulis juga dapat menjadi objek Linguistik, karena bahasa tulis merupakan penggambaran bahasa lisan (Sudaryanto, 1985:24).
    Pada pembahasan Linguistik, bahasa lisan lebih diutamakan karena dianggap lebih lengkap. Hal ini disebabkan (1) bahasa tulis diturunkan dari bahasa lisan, (2) tidak setiap masyarakat mempunyai bahasa tulis, dan (3) bahasa lisan lebih dahulu dipelajari daripada bahasa tulis.
    Bahasa lisan yang dijadikan objek kajian adalah bahasa lisan yang digunakan secara wajar. Maksudnya, bahasa tersebut digunakan sesuai dengan fungsinya sebagai alat komunikasi antarmasyarakat pemakainya.

    2.2.3 Objek materia bahasa
    Dalam kajian Linguistik, satuan lingual merupakan objek formanya. Sebagai objek forma, satuan lingual yang dimaksud diberi kualifikasi “kongkret” dan atau “primer” (Sudaryanto, 1985:167-168). Kualifikasi “kongkret” bukan hanya menunjuk pada satual lingual yang dapat diindera, tetapi juga pada satuan lingual yang adanya terutama dan pertama dialami dalam jiwa/benak kita. Dengan kata lain, benar-benar ada adalam realitas. Selanjutnya, kualifikasi “primer” mengacu pada satuan itu merupakan perwujudan yang pertama dan terutama bagi bahasa (bunyi) tutur.
    2.2.4 Penelitian bahasa
    Bahasa sebagai alat komunikasi selalu berkembangan sejalan dengan perkembangan dalam masyarakat bahasa. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam bahasa tersebut menimbulkan keingintahuan pada pemerhati bahasa (linguis). Keingintahuan inilah yang memicu linguis untuk melakukan penelitian bahasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa keingintahuan inilah yang pada akhirnya makin mengembangkan bahasa.
    Dalam penelitian bahasa terdapat hal-hal pokok yang tidak dapat diabaikan, yakni bahasa, linguis, dan metode. Ketiga hal tersebut merupakan syarat minimal yang harus ada dalam sebuah kegiatan penelitian bahasa. Namun tidak berarti, tidak ada hal lain yang diperlukan dalam penelitian bahasa.
    Sudaryanto (1985:35) menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) hal yang harus dipertimbangkan dalam melakukan analisis bahasa, yaitu (1) manusia, sebagai pemakai bahasa; (2) hubungan antarmanusia, dalam suasana atau situasi pemakaian yang wajar; (3) bunyi, sebagai penghadir bahasa; dan (4) informasi (isi tuturan dalam percakapan) (Sudaryanto, 1985:35). Keempat komponen itu tidak harus diteliti secara bersamaan, tetapi perlu dipertimbangkan sebagai komponen yang melekat dalam bahasa. Selain hal-hal tersebut, linguis menduduki peranan yang penting dalam analisis linguistik.
    Hal tersebut dapat dilihat pada pembahasan ontologi, epistemologi dan aksiologi penelitian bahasa berikut.

    2.2.4.1 Ontologi Penelitian Bahasa
    Bahasa merupakan objek yang diteliti dalam penelitian bahasa. Dalam hal ini bahasa yang dijadikan objek penelitian adalah sistem tanda yang digunakan oleh manusia sebagai alat komunikasi. Sedangkan, istilah bahasa yang lain tidak dijadikan sebagai objek kajian.
    Sebagai objek penelitian, bahasa dapat diteliti unsur pembangunnya atau hal-hal yang berada di sekitarnya. Berdasarkan unsur pembangunnya, penelitian dapat dilakukan pada fon, fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, wacana. Penelitian terhadap unsur bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni Fonetik dan Fonemik. Fonetik dikhususkan untuk mengkaji fon; sedangkan kajian terhadap fonem disebut dengan Fonemik. Penelitian terhadap kata dilakukan dua bidang yang berbeda yakni Morfologi yang membahas pembentukan kata dari morfem-morfem, dan pembahasan kata dilakukan oleh Leksikologi. Pembahasan pada tingkat berikutnya adalah frasa, klausa, dan kalimat yang dilakukan oleh Sintaksis. Terakhir, pembahasan paragraf dan wacana dilakukan oleh Analisis Wacana (Discourse Analysis). Di samping itu, pembahasan makna secara mandiri dilakukan oleh Semantik.
    Penelitian bahasa juga dilakukan terhadap aspek-aspek yang berpengaruh terhadap wujud bahasa, baik unsur sosial, antropologi, asal usul, maupun kesejarahan. Penelitian terhadap aspek-aspek sosial pemakaian bahasa dilakukan oleh Sosiolinguistik dan Pragmatik. Perbedaan keduanya terletak pada penekanan aspek yang diteliti. Pada penelitian Sosiolinguistik, aspek yang ditekankan adalah aspek yang berpengaruh pada pembentukan dan pemilihan wujud bahasa; sedangkan Pragmatik melihat kaitan langsung antara wujud bahasa, aspek yang berpengaruh, dan makna bahasa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kajian Pragmatik merupakan bagian dari kajian Sosiolinguistik dan Semantik. Kajian terhadap pengaruh aspek antropologi (budaya) terhadap bahasa dikaji oleh Antropolinguistik. Kajian asal usul wujud bahasa (kata) dibahas oleh Etimologi, yang dalam kajiannya tidak jarang harus bersentuhan dengan Morfologi. Tinjauan terhadap bahasa dengan mempertimbangkan aspek kesejarahan dibahas oleh Linguistik Historis Komparatif.

    .2.2.4.2 Epistemologi
    Dalam penelitian, metode memegang peranan yang sangat penting. Keberhasilan penelitian ditentukan oleh pemilihan dan penggunaaan metode yang tepat. Sebuah metode tidak dapat diberlakukan secara umum. Bidang ilmu tertentu memerlukan metode yang tertentu pula. Di samping bidang ilmu, tujuan penelitian juga menentukan metode yang digunakan.
    Secara umum metode penelitian dapat dibedakan menjadi dua, yakni metode kuantitatif dan metode kualitatif. Masing-masing metode dibagi-bagi lagi menjadi sub-sub metode. Sehubungan dengan pembahasan penelitian berikut pendapat tentang metode yang sering digunakan dalam penelitian bahasa.
    Poedjosoedarmo dalam diktatnya yang berjudul Penentuan Metode Penelitian menyatakan bahwa metode digunakan dalam penelitian bahasa harus sesuai dengan jenis penelitiannya, yaitu: survei, analitis struktural, kontekstual, historis komparatif, kontrastif. Pelabelan terhadap jenis penelitian ini biasanya sesuai dengan metode yang digunakan.
    Secara lebih khusus, Sudaryanto dalam Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa membagi metode analisis data penelitian bahasa menjadi dua, yakni: metode padan dan metode agih. Metode padan adalah metode yang alat penentunya berada di luar bahasa, sedangkan metode agih digunakan jika alat penentunya berada dalam bahasa yang diteliti. Dalam pembahasannya, Sudaryanto juga menguraikan teknik-teknik yang digunakan.



    2.2.4.3 Aksiologi Penelitian Bahasa
    Aksiologi penelitian bahasa merupakan pembahasan yang sering diabaikan, sebab biasanya yang diutamakan adalah penemuan hal-hal baru. Setelah hal-hal baru itu ditemukan, terdapat kecenderungan mengabaikan pemanfaatan hasil penelitian. Hal inilah yang sering mengakibatkan kerugian pada ilmu, pemilik ilmu, dan masyarakat. Ilmu sebagai hal yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tidak jarang berefek negatif. Ilmu yang dianggap berefek negatif akan “disisihkan”, pemilik ilmu dianggap “penjahat”, dan masyarakat menjadi korban tindakan penyimpangan tersebut. Sebagai contoh, bahasa yang digunakan oleh para jubir, jurkam.
    Sebagai linguis, pertanggunagjawaban keilmuan terhadap ilmu harus tuntas. Artinya pemanfaatan hasil penelitian pun menjadi sorotan dan menjadi bahan pertimbangan untuk dibahas dalam penelitian dan sosialisasi lebih lanjut.
    Source URL: https://pokbongkoh.blogspot.com/2009/11/blog-post_12.html
    Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection

0 comments:

Post a Comment