ETIKA DARI SUDUT PANDANG ONTOLOGI, EPISTEMOLOI, DAN AKSIOLOGI
1. Pendahuluan
Ketika hidup dijalani, seorang manusia tidak akan terlepas dari keterikatan
hubungan dengan manusia lainnya. Hal ini dapat dipahami karena ia adalah makhluk sosial. Tidak satupun yang merasa dan siap menghadapi kenyataan hidup seorang diri di tengah keramaian dan hiruk pikuknya dunia ini tanpa bantuan orang lain. Bahkan Islam mengajarkan akan pentingya hablun min Allah dan hablun min al naas (hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia) dan shilah al rahim (hubungan kasih sayang), sehingga tercipta kehidupan yang ideal dan harmonis.
Namun, aktivitas yang dilakukan manusia dalam interaksi sosial itu tidak akan pernah lepas dan selalu bersinggungan dengan nilai-nilai, baik yang tertulis maupun tidak. Sehingga disadari ataupun tidak, dalam menjalani aktivitas hidupnya, selalu dilandaskan pada nilai-nilai dalam lingkup dirinya, orang lain dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat pun seyogyanya tidak terlepas dari nilai-nilai sebagai pengontrol/pengendali, agar tidak terjerembab ke dalam keangkaramurkaan dan nafsu serakah yang pada akhirnya akan menghancurkan dunia dan peradaban manusia itu sendiri. Iptek yang disenyawakan dengan nilai-nilai atau etika ilmiah niscaya akan membuahkan produk yang bermanfaat tanpa harus bermasalah dengan tatanan peradaban umat manusia.
Pembahasan yang terkait dengan konsep nilai, sebanarnya merupakan kajian yang sangat erat secara substansial dengan persoalan etika. Kajian dalam persoalan ini biasanya mempertanyakan "apakah baik atau buruk", atau "bagaimana mestinya berbuat baik sehingga tujuan dapat dicapai dan bernilai". Menyikapi hal tersebut, dalam pembahasan makalah ini, akan dipaparkan tentang apa pengertian dan kajian etika ditinjau dari sudut pandang ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
2. Nilai, Etika, dan Filsafat
a. Nilai
Nilai diartikan sebagai suatu keyakinan/kepercayaan yang berkaitan dengan cara bertingkah laku untuk mencapai tujuan akhir yang diinginkan oleh manusia dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Definisi tersebut adalah seperti yang disarikan dari pendapat para ahli ilmu pengetahuan yang tertarik dengan tingkah laku manusia dan konsep nilai.
Beberapa diantaranya adalah:
"Value is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct or end-state of existence." (Rokeach, 1973)
"Value is a general beliefs about desirable or undesirable ways of behaving and about desirable or undesirable goals or end-states". (Feather, 1994)
"Value is desirable transsituational goal, varying in importance, that serve as guiding principles in the life of a person or other social entity". (Schwartz, 1994)
Schwartz (1994) menambahkan bahwa pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana nilai itu terbentuk. Dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, ia mengemukakan teori bahwa nilai berasal dari tuntutan manusia yang universal sifatnya yang direfleksikan dalam kebutuhan organisme, motif sosial (interaksi), dan tuntutan institusi sosial.
Sekarang jika diperhatikan, sebenarnya kehidupan memaksa kita untuk mengadakan pilihan, mengukur sesuatu dari segi lebih baik atau lebih buruk dan untuk memberi formulasi tentang ukuran nilai. Kita memuji atau mencela, mengatakan bahwa suatu tindakan itu benar atau salah. Setiap individu mempunyai perasaan tentang nilai, sehingga setiap gerak langkah dan prilakunya harus dipertimbangkan apakah harus atau tidak perlu mempunyai ukuran, keyakinan, kesetiaan atau idealisme sebagai dasar untuk mengatur kehidupan. Begitu juga apakah ukuran-ukuran itu konsisten atau tidak, harus mengembangkan kehidupan atau merusaknya.
Kita sadar betul bahwa menganggap sepi dari peran nilai berarti mempunyai gambaran yang keliru tentang manusia dan alamnya. Karena meskipun beberapa ilmuwan Barat menganggap pengetahuan yang dikembangkannya tidak tidak harus bersinggungan dengan nilai, seperti yang dikemukakan sekelompok ilmuwan bahwa filsafat dan ilmu bebas nilai (value free), namun ternyata ada beberapa cabang pengetahuan yang terkait dengan masalah nilai, misalnya ekonomi, etika, estetika, filsafat agama dan epistemology kebenaran. Semua ini pasti membutuhkan kaidah nilai. Meski demikian, bukan berarti cabang ilmu lainnya sama sekali tidak perlu berkaitan dengan nilai-nilai, sebab apapun disiplin dan cabang ilmunya, jika system dan proses konstruksinya terlepas dari kaidah nilai, maka dipastikan atau setidaknya dimungkinkan akan berdampak pada hilangnya nilai substantifnya. Dengan kata lain hal ini akan memberangus keluhuran martabat penggunanya.
b. Etika
Sementara etika, pada dasarnya merupakan penerapan dari nilai tentang baik buruk yang berfungsi sebagai norma atau kaidah tingkah laku dalam hubungannya dengan orang lain, sebagai ekspektasi atau yang diharapkan oleh masyarakat terhadap seseorang sesuai dengan status dan peranannya. Dilihat dari asal usul kata, etika berasal dari bahasa Yunani "ethos" yang berarti adat istiadat/kebiasaan yang baik. Pada perkembangannya, etika adalah studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan bagaimana mereka harus bertindak.
Dalam teori nilai, etika dijadikan sebagai salah satu unsur penting dalam kajian filsafat. Ini berarti bahwa tingkah laku sosial manusia bertumpu pada system nilai yang berlaku, di manapun posisi dia berada. Peribahasa "dimana bumi dipijak, disitu langit dijungjung" barangkali sangat cocok menjadi gambaran diperlukannya penerapan etika.
Etika dapat berfungsi sebagai penuntun pada setiap orang dalam mengadakan kontrol sosial. Karena etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formalnya adalah norma-norma kesusilaan manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik dalam suatu kondisi yang normative, yakni adanya pelibatan norma. Ketika bersinggungan dengan norma, maka muncullah pemikiran-pemikiran tentang etika itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Dr. Frans Magnis Suseno, bahwa etika memang tidak dapat menggantikan agama, tetapi di lain pihak tidak bertentangan dengan agama. Manusia akan menjadi baik sekalipun tidak mempunyai tuntunan sebagai mana disebut dalam Al Quran, yaitu dengan mengandalkan akal budi dan daya pikirannya untuk memecahkan masalah atau dengan kata lain kita sebut kebijaksanaan. Sehingga dengannya, kita dapat memilih mana yang baik dan mana pula yang buruk bagi kita.
Namun perlu ditegaskan dalam diri kita bahwa Yang Maha Bijaksana hanyalah Allah, sehingga kebijaksanaanNya dalam mengatur dan menentukan sesuatu hal berada di atas kebijaksanaan kita. Oleh karenanya jika mungkin orang akan menjadi baik tanpa tuntunan Al Quran, maka "baiknya" adalah tidak baik, atau paling tidak menjadi "semu". Dalam Islam, semua urusan manusia, termasuk urusan segai baik dan buruk, jika tidak ada tuntunan dalam Al Quran, maka mesti dirujuk dalam al Hadits. Sedang urusan baru yang mungkin ditemukan pada abad modern dewasa ini, maka dasar tuntunannya adalah ijtihad qiyashi, yakni ijtihad dengan memperhatikan perbadingan qaidah ushul. Jadi, etika di sini yang penulis maksud, adalah etika yang didasarkan pada asas ruh Islam.
c. Filsafat
Dari segi semantik, filsafat dalam bahasa Yunani adalah "philosophia" yang diartikan sebagai cinta/suka kepada pengetahuan, hikmah/kebijaksanaan, atau kebenaran. Filsafat mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa. Karena ia merupakan hasil daya upaya manusia dengan akal budinya dalam memahami dan mendalami hakikat yang ada, maka ranah Tuhan, alam semesta, dan manusia itu sendiri menjadi sasaran dalam pengkajiannya.
Dikaitkan dengan etika, maka filsafat merupakan induk pengayomnya. Ilmu-ilmu lain seperti: logika, metafisika, estetika, epistemologi, filsafat sejarah, sosiologi dan antropologi, dan lain-lain juga berada di naungannya. Dengan kata lain cabang-cabang ilmu yang dalam kajiannya memerlukan pola berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh dalam menemukan hakikat kebenaran segala sesuatu, merupakan kajian filsafat. Apapun yang dipelajari dalam etika, adalah nilai-nilai kebenaran dan hikmah. Karena ia adalah bagian dari filsafat, maka segala yang dipelajari dalam teori nilai (axiology) haruslah dilakukan secara mendalam dan sungguh-sungguh.
3. Sistem Filsafat Moral
Secara garis besar, sistem filsafat moral dibedakan dalam dua macam etika, yaitu etika bertujuan (teleologis) dan etika berkewajiban (deontologis). Dalam hal ini filsafat dipusatkan pada pemberdayaan nilai-nilai moralitas ilmu. Etika dipandang sebagai ruh dalam memberi batasan-batasan penggalian pengetahuan yang mendalam. Sehingga hasil yang didapat, baik secara empirik maupun rasional, menjadi bermakna karena adanya pengevaluasian terhadap nilai manfaatnya.
a. Etika Bertujuan
Dalam etika ini, sistem filsafat moral terbagi dalam beberapa aliran (isme). Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Ini karena tokoh pencetusnya menggunakan paradigma tujuan yang berbeda.
1). Hedonisme
Aliran ini berasumsi bahwa hal yang terbaik bagi manusia adalah kesenangan (hedone), yaitu segala apa yang dapat memuaskan keinginan kita. Aristippos (±433-355 SM) berpendapat bahwa yang baik adalah kesenangan karena fakta menunjukkan bahwa sejak kecil manusia tertarik akan kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. Sedangkan kesenangan itu bersifat badani yang hakikatnya adalah gerak. Ia juga bersifat aktual, bukan masa lau (ingatan) dan bukan pula masa yang akan datang (harapan), tetapi sekarang dan di sini. Termasuk bersifat individual, karena dialami oleh setiap individu. Meskipun dilakukan secara sosial, namun tetap saja kesenangan dirasakan oleh orang perorangan.
Hal senada dikemukakan oleh Epikuros (341-270 SM). Ia menyebutkan bahwa kesenangan adalah tujuan kehidupan manusia. Namun demikian, katanya, yang terbaik dan terpenting adalah yang terbebas dari segala keinginan itu, tapi justru mencapai ketengan jiwa (ataraxia).
2). Eudemonisme
Dikatakan bahwa dalam tiap aktivitas, manusia mengejar tujuan dan tujuan akhir yang ingin dicapai adalah kebahagiaan (eudemonia). Agar hal ini dapat dicapai, maka diperlukan cara-cara untuk menjalankan fungsi rasio/akalnya. Sebagaimana digagas oleh Aristoteles (384-322 SM). Di sini kekuatan rasio manusia harus dibarengi dengan kekuatan moralnya. Sedemikian hingga eudemonia betul-betul terasa mendalam.
3). Utilitarisme
Prinsip aliran ini adalah kegunaan (utility). Jeremy Bentham (1748-1832) mengemukakan sebuah teori, yaitu kebahagiaan terbesar adalah berasal dari jumlah orang terbesar (the greatest happiness of the greatest number). Oleh karenanya penetapan kegunaan pun melalui kuantifikasi (the hedonistic number), yakni penentuan jumlah terbesar. Artinya suatu perbuatan dinilai baik, menurut paham ini, jika dapat meningkatkan kebahagiaan orang sebanyak mungkin.
Namun John Stuart Mill (1806-1873), tokoh lain aliran ini, menambahkan bahwa kebahagiaan dan kesenangan tidak hanya diukur dengan kuantitasnya saja, tetapi juga perlu mempertimbangkan sisi kualitasnya. Dikatakannya bahwa kesenangan dan kebahagiaan itu ada yang bermutu tinggi ada pula yang rendah.
Jadi, penilaian suatu perbuatan itu baik atau tidak dipengaruhi oleh penentuan kualitas dan kuantitas terhadap kesenangan dan ketidaksenangan.
b. Etika Berkewajiban
Salah seorang pakar etika deontologis, Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa yang baik itu adalah kehendak baik itu sendiri. Suatu kehendak menjadi baik karena bertindak menurut kewajiban. Kewajiban dimaksud adalah imperative category (perintah yang mewajibkan begitu saja, dan tanpa syarat). Ini nantinya menjadi hukum moral. Dikatakannya bahwa kebebasan bukan berarti bebas dari segala ikatan, tetapi tetap dengan taat pada hukum (moral).
4. Implementasi Nilai Etik dalam Ilmu
Telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa disukai atau tidak, nampaknya nilai-nilai etika dipandang perlu diimplementasikan pada setiap kegiatan ilmiah, sebagai penyeimbang agar produknya tidak mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan. Ilmu diharapkan menjadi melek moral. Sementara nilai diperlakukan bersenyawa dengan proses dan hasil kemajuan itu.
Namun, dalam pertimbangannya, para ilmuwan berbeda pandangan terhadap apakah etika diperlukan dalam pekerjaan-pekerjaan ilmiah atau tidak. Apakah ilmu tidak menjadi stagnan atau mengalami kemunduran karena terlalu banyaknya pertimbangan nilai. Prof. DR. H. Cecep Sumarna (2008) membedakannya menjadi dua golongan. Pertama, ilmuwan yang menggunakan satu pertimbangan, berupa kebenaran dengan mengesampingkan semua pertimbangan nilai. Kedua, mereka yang menganggap perlunya memasukkan pertimbangan nilai-nilai etik dan nilai-nilai kesusilaan. Sehingga sisi utility(kegunaanya) terasa sebagai penyeimbang pertimbangan nilai kebenaran dalam setiap aplikasi ilmu.
Bertolak dari pandangan para ilmuwan yang satu sama lain berbeda, dengan berbagai dalil alasan yang dikemukakannya, dapat kita pahami bahwa pemasukkan nilai etika ke dalam ilmu, diterima atau tidaknya, akan sangat berurusan dengan tujuan penciptaan ilmu itu sendiri. Ilmuwan yang tujuan penciptaannya memperhatikan segi kemanusiaan dan kesusialaan demi kebenaran tujuan penggunaannya, akan berupaya memasukkan nilai etik ke dalam ilmu. Faktor empirik dan rasional tidak dimentahkan dengan adanya nilai etik, tapi justru dijadikannya bernilai/bermartabat bagi kemaslahatan umat manusia. Pandangan bahwa ilmu harus bebas nilai (free value) adalah sebuah keangkuhan dalam berhubungan dengannya.
Sedangkan ilmuwan yang tujuan penciptaannya harus steril dari nilai-nilai metafisik, akan berupaya membendung dan menafikan keterlibatan nilai etik. Penulis beranggapan kalangan ilmuwan pada golongan ini, melakukan dikotomi / pemisahan untuk suatu tujuan penciptaan tidak secara sosial atropogal, melainkan secara eksak matematis. Pertimbangan konotasi atas evaluasi ilmu dianggap tidak diperlukan sebagaimana dipergunakan oleh kalangan ilmuwan yang membolehkan.
Fakta sejarah telah terbukti, proses dan pengawasan terhadap hasil rekayasa ilmu tidak selamanya dipergunakan dengan bebas dampak negatif. Sejak perang dunia kedua, bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima (Jepang) oleh sekutu dibawah pimpinan Amerika Serikat, berdampak negatif pada hilangnya sisi-sisi kemanusiaan dan rusaknya peradaban manusia. Obat bius jenis psikotroprika yang semestinya digunakan dalam pembedahan klinis, dengan lemahnya pengawasan yang menyeluruh, begitu juga teknologi kondom, karena bebas nilai moral dan tidak disertai dengan aturan yang jelas dan mengikat sebagai bentuk pengawasan, maka yang terjadi adalah penyalahgunaan (misuse).
Kita patut berbangga karena ilmu pengetahuan telah dikembangkan sedemikian rupa. Ia banyak menawarkan jasa bagi pemenuhan hajat hidup manusia, baik bersifat primer (kebutuhan pokok), sekunder (kebutuhan penyerta/sampingan), ataupun tersier (kebutuhan luks kesenangan). Kesemuanya merupakan produk dari perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Di bidang kedokteran, dengan ditemukannya berbagai macam obat, termasuk antibiotika, membawa dampak bagi terselamatkannya jutaan manusia yang sakit. Di bidang pengayaan Uranium, tenaga muklir amat berjasa dalam pembangkit tenaga listrik. Di bidang militer, pengembangan peralatan senjata mutakhir, akan sangat membantu dalam pertahanan negara.
Namun semua itu akan bernilai baik jika ilmu pengetahuan sebagai pilar utamanya dan hasil yang telah dikembangkan itu diikat dengan nilai. Dengan demikian tragedi dehumanisasi tidak akan menggejala. Majunya ilmu diharapkan mengikatnya nilai peradaban umat manusia.
5. Manfaat Mempelajari Etika
Seperti diibaratkan nasihat dokter kepada pasien dengan memberikan petunjuk/nasihat tentang apa yang boleh dan tidak berkenaan dengan penyakitnya, maka etika dapat membuat kita menjadi baik ataupun tidak bergantung pada kemauan kita mau mengikutinya atau tidak. Jika kita mau mentaati etika maka kita bisa menjadi manusia yang baik, jika tidak ia tidak akan berguna bagi kita. Yang jelas, manfaat yang diberikan begitu besar kepada siapapun yang mengikutinya. Ia dapat membukakan mata manusia untuk melihat baik dan buruk.
Sebenarnya tujuan etika bukan hanya untuk mengetahui pandangan (teori) di dalamnya semata. Akan tetapi yang paling penting adalah agar mendorong kita supaya membentuk hidup bahagia, menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan serta memberikan manfaat kepada sesama manusia.
6. Penutup
Secara ontologi, etika dalam filsafat ilmu yang merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat, adalah bagian yang tak terpisahkan dalam peradaban umat manusia. Sifat dasarnya sangat kritis, karena selalu mempersoalkan norma-norma yang berlaku, menyelidiki dasar dari norma-norma tersebut, begitu juga siapapun yang menetapkan norma itu.
Dari segi kegunaan (aksiologi), bahwa kehidupan manusia perlu ditopang dengan nilai-nilai etika, agar keberadaannya betul-betul dapat dinikmati dengan penuh arti. Dehumanisasi tidak perlu terjadi bilamana human (manusia) berikap legowo menetapkan etika kerja dan etika pengkajian ilmu. Itulah sebabnya mengapa kajian yang mendalam dan sungguh-sungguh ini dikemas dalam wadah filsafat.
Kita bersyukur sebahagian para ilmuwan telah berani memfatwakan perlunya nilai etika dalam semua bidang dan sendi-sendi kehidupan. Meski sebagian yang lain menafikannya. Sebab yang terpenting adalah berpulang kepada kitanya, mau mengiktui etika atau tidak. Mudah-mudahan kesungguhan kita dalam pengamalannya itu akan beroleh manfaat yang besar dan tak hingga nilainya.
Akhirnya mudah-mudahan makalah ini membawa percerahan baru bagi yang membacanya dalam memperoleh pemahaman tentang etika sebagai bagian dari filsafat ilmu.Source URL: https://pokbongkoh.blogspot.com/2009/12/etika-dari-sudut-pandang-ontologi.html
Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection
1. Pendahuluan
Ketika hidup dijalani, seorang manusia tidak akan terlepas dari keterikatan
hubungan dengan manusia lainnya. Hal ini dapat dipahami karena ia adalah makhluk sosial. Tidak satupun yang merasa dan siap menghadapi kenyataan hidup seorang diri di tengah keramaian dan hiruk pikuknya dunia ini tanpa bantuan orang lain. Bahkan Islam mengajarkan akan pentingya hablun min Allah dan hablun min al naas (hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia) dan shilah al rahim (hubungan kasih sayang), sehingga tercipta kehidupan yang ideal dan harmonis.
Namun, aktivitas yang dilakukan manusia dalam interaksi sosial itu tidak akan pernah lepas dan selalu bersinggungan dengan nilai-nilai, baik yang tertulis maupun tidak. Sehingga disadari ataupun tidak, dalam menjalani aktivitas hidupnya, selalu dilandaskan pada nilai-nilai dalam lingkup dirinya, orang lain dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat pun seyogyanya tidak terlepas dari nilai-nilai sebagai pengontrol/pengendali, agar tidak terjerembab ke dalam keangkaramurkaan dan nafsu serakah yang pada akhirnya akan menghancurkan dunia dan peradaban manusia itu sendiri. Iptek yang disenyawakan dengan nilai-nilai atau etika ilmiah niscaya akan membuahkan produk yang bermanfaat tanpa harus bermasalah dengan tatanan peradaban umat manusia.
Pembahasan yang terkait dengan konsep nilai, sebanarnya merupakan kajian yang sangat erat secara substansial dengan persoalan etika. Kajian dalam persoalan ini biasanya mempertanyakan "apakah baik atau buruk", atau "bagaimana mestinya berbuat baik sehingga tujuan dapat dicapai dan bernilai". Menyikapi hal tersebut, dalam pembahasan makalah ini, akan dipaparkan tentang apa pengertian dan kajian etika ditinjau dari sudut pandang ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
2. Nilai, Etika, dan Filsafat
a. Nilai
Nilai diartikan sebagai suatu keyakinan/kepercayaan yang berkaitan dengan cara bertingkah laku untuk mencapai tujuan akhir yang diinginkan oleh manusia dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Definisi tersebut adalah seperti yang disarikan dari pendapat para ahli ilmu pengetahuan yang tertarik dengan tingkah laku manusia dan konsep nilai.
Beberapa diantaranya adalah:
"Value is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct or end-state of existence." (Rokeach, 1973)
"Value is a general beliefs about desirable or undesirable ways of behaving and about desirable or undesirable goals or end-states". (Feather, 1994)
"Value is desirable transsituational goal, varying in importance, that serve as guiding principles in the life of a person or other social entity". (Schwartz, 1994)
Schwartz (1994) menambahkan bahwa pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana nilai itu terbentuk. Dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, ia mengemukakan teori bahwa nilai berasal dari tuntutan manusia yang universal sifatnya yang direfleksikan dalam kebutuhan organisme, motif sosial (interaksi), dan tuntutan institusi sosial.
Sekarang jika diperhatikan, sebenarnya kehidupan memaksa kita untuk mengadakan pilihan, mengukur sesuatu dari segi lebih baik atau lebih buruk dan untuk memberi formulasi tentang ukuran nilai. Kita memuji atau mencela, mengatakan bahwa suatu tindakan itu benar atau salah. Setiap individu mempunyai perasaan tentang nilai, sehingga setiap gerak langkah dan prilakunya harus dipertimbangkan apakah harus atau tidak perlu mempunyai ukuran, keyakinan, kesetiaan atau idealisme sebagai dasar untuk mengatur kehidupan. Begitu juga apakah ukuran-ukuran itu konsisten atau tidak, harus mengembangkan kehidupan atau merusaknya.
Kita sadar betul bahwa menganggap sepi dari peran nilai berarti mempunyai gambaran yang keliru tentang manusia dan alamnya. Karena meskipun beberapa ilmuwan Barat menganggap pengetahuan yang dikembangkannya tidak tidak harus bersinggungan dengan nilai, seperti yang dikemukakan sekelompok ilmuwan bahwa filsafat dan ilmu bebas nilai (value free), namun ternyata ada beberapa cabang pengetahuan yang terkait dengan masalah nilai, misalnya ekonomi, etika, estetika, filsafat agama dan epistemology kebenaran. Semua ini pasti membutuhkan kaidah nilai. Meski demikian, bukan berarti cabang ilmu lainnya sama sekali tidak perlu berkaitan dengan nilai-nilai, sebab apapun disiplin dan cabang ilmunya, jika system dan proses konstruksinya terlepas dari kaidah nilai, maka dipastikan atau setidaknya dimungkinkan akan berdampak pada hilangnya nilai substantifnya. Dengan kata lain hal ini akan memberangus keluhuran martabat penggunanya.
b. Etika
Sementara etika, pada dasarnya merupakan penerapan dari nilai tentang baik buruk yang berfungsi sebagai norma atau kaidah tingkah laku dalam hubungannya dengan orang lain, sebagai ekspektasi atau yang diharapkan oleh masyarakat terhadap seseorang sesuai dengan status dan peranannya. Dilihat dari asal usul kata, etika berasal dari bahasa Yunani "ethos" yang berarti adat istiadat/kebiasaan yang baik. Pada perkembangannya, etika adalah studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan bagaimana mereka harus bertindak.
Dalam teori nilai, etika dijadikan sebagai salah satu unsur penting dalam kajian filsafat. Ini berarti bahwa tingkah laku sosial manusia bertumpu pada system nilai yang berlaku, di manapun posisi dia berada. Peribahasa "dimana bumi dipijak, disitu langit dijungjung" barangkali sangat cocok menjadi gambaran diperlukannya penerapan etika.
Etika dapat berfungsi sebagai penuntun pada setiap orang dalam mengadakan kontrol sosial. Karena etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formalnya adalah norma-norma kesusilaan manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik dalam suatu kondisi yang normative, yakni adanya pelibatan norma. Ketika bersinggungan dengan norma, maka muncullah pemikiran-pemikiran tentang etika itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Dr. Frans Magnis Suseno, bahwa etika memang tidak dapat menggantikan agama, tetapi di lain pihak tidak bertentangan dengan agama. Manusia akan menjadi baik sekalipun tidak mempunyai tuntunan sebagai mana disebut dalam Al Quran, yaitu dengan mengandalkan akal budi dan daya pikirannya untuk memecahkan masalah atau dengan kata lain kita sebut kebijaksanaan. Sehingga dengannya, kita dapat memilih mana yang baik dan mana pula yang buruk bagi kita.
Namun perlu ditegaskan dalam diri kita bahwa Yang Maha Bijaksana hanyalah Allah, sehingga kebijaksanaanNya dalam mengatur dan menentukan sesuatu hal berada di atas kebijaksanaan kita. Oleh karenanya jika mungkin orang akan menjadi baik tanpa tuntunan Al Quran, maka "baiknya" adalah tidak baik, atau paling tidak menjadi "semu". Dalam Islam, semua urusan manusia, termasuk urusan segai baik dan buruk, jika tidak ada tuntunan dalam Al Quran, maka mesti dirujuk dalam al Hadits. Sedang urusan baru yang mungkin ditemukan pada abad modern dewasa ini, maka dasar tuntunannya adalah ijtihad qiyashi, yakni ijtihad dengan memperhatikan perbadingan qaidah ushul. Jadi, etika di sini yang penulis maksud, adalah etika yang didasarkan pada asas ruh Islam.
c. Filsafat
Dari segi semantik, filsafat dalam bahasa Yunani adalah "philosophia" yang diartikan sebagai cinta/suka kepada pengetahuan, hikmah/kebijaksanaan, atau kebenaran. Filsafat mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa. Karena ia merupakan hasil daya upaya manusia dengan akal budinya dalam memahami dan mendalami hakikat yang ada, maka ranah Tuhan, alam semesta, dan manusia itu sendiri menjadi sasaran dalam pengkajiannya.
Dikaitkan dengan etika, maka filsafat merupakan induk pengayomnya. Ilmu-ilmu lain seperti: logika, metafisika, estetika, epistemologi, filsafat sejarah, sosiologi dan antropologi, dan lain-lain juga berada di naungannya. Dengan kata lain cabang-cabang ilmu yang dalam kajiannya memerlukan pola berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh dalam menemukan hakikat kebenaran segala sesuatu, merupakan kajian filsafat. Apapun yang dipelajari dalam etika, adalah nilai-nilai kebenaran dan hikmah. Karena ia adalah bagian dari filsafat, maka segala yang dipelajari dalam teori nilai (axiology) haruslah dilakukan secara mendalam dan sungguh-sungguh.
3. Sistem Filsafat Moral
Secara garis besar, sistem filsafat moral dibedakan dalam dua macam etika, yaitu etika bertujuan (teleologis) dan etika berkewajiban (deontologis). Dalam hal ini filsafat dipusatkan pada pemberdayaan nilai-nilai moralitas ilmu. Etika dipandang sebagai ruh dalam memberi batasan-batasan penggalian pengetahuan yang mendalam. Sehingga hasil yang didapat, baik secara empirik maupun rasional, menjadi bermakna karena adanya pengevaluasian terhadap nilai manfaatnya.
a. Etika Bertujuan
Dalam etika ini, sistem filsafat moral terbagi dalam beberapa aliran (isme). Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Ini karena tokoh pencetusnya menggunakan paradigma tujuan yang berbeda.
1). Hedonisme
Aliran ini berasumsi bahwa hal yang terbaik bagi manusia adalah kesenangan (hedone), yaitu segala apa yang dapat memuaskan keinginan kita. Aristippos (±433-355 SM) berpendapat bahwa yang baik adalah kesenangan karena fakta menunjukkan bahwa sejak kecil manusia tertarik akan kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. Sedangkan kesenangan itu bersifat badani yang hakikatnya adalah gerak. Ia juga bersifat aktual, bukan masa lau (ingatan) dan bukan pula masa yang akan datang (harapan), tetapi sekarang dan di sini. Termasuk bersifat individual, karena dialami oleh setiap individu. Meskipun dilakukan secara sosial, namun tetap saja kesenangan dirasakan oleh orang perorangan.
Hal senada dikemukakan oleh Epikuros (341-270 SM). Ia menyebutkan bahwa kesenangan adalah tujuan kehidupan manusia. Namun demikian, katanya, yang terbaik dan terpenting adalah yang terbebas dari segala keinginan itu, tapi justru mencapai ketengan jiwa (ataraxia).
2). Eudemonisme
Dikatakan bahwa dalam tiap aktivitas, manusia mengejar tujuan dan tujuan akhir yang ingin dicapai adalah kebahagiaan (eudemonia). Agar hal ini dapat dicapai, maka diperlukan cara-cara untuk menjalankan fungsi rasio/akalnya. Sebagaimana digagas oleh Aristoteles (384-322 SM). Di sini kekuatan rasio manusia harus dibarengi dengan kekuatan moralnya. Sedemikian hingga eudemonia betul-betul terasa mendalam.
3). Utilitarisme
Prinsip aliran ini adalah kegunaan (utility). Jeremy Bentham (1748-1832) mengemukakan sebuah teori, yaitu kebahagiaan terbesar adalah berasal dari jumlah orang terbesar (the greatest happiness of the greatest number). Oleh karenanya penetapan kegunaan pun melalui kuantifikasi (the hedonistic number), yakni penentuan jumlah terbesar. Artinya suatu perbuatan dinilai baik, menurut paham ini, jika dapat meningkatkan kebahagiaan orang sebanyak mungkin.
Namun John Stuart Mill (1806-1873), tokoh lain aliran ini, menambahkan bahwa kebahagiaan dan kesenangan tidak hanya diukur dengan kuantitasnya saja, tetapi juga perlu mempertimbangkan sisi kualitasnya. Dikatakannya bahwa kesenangan dan kebahagiaan itu ada yang bermutu tinggi ada pula yang rendah.
Jadi, penilaian suatu perbuatan itu baik atau tidak dipengaruhi oleh penentuan kualitas dan kuantitas terhadap kesenangan dan ketidaksenangan.
b. Etika Berkewajiban
Salah seorang pakar etika deontologis, Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa yang baik itu adalah kehendak baik itu sendiri. Suatu kehendak menjadi baik karena bertindak menurut kewajiban. Kewajiban dimaksud adalah imperative category (perintah yang mewajibkan begitu saja, dan tanpa syarat). Ini nantinya menjadi hukum moral. Dikatakannya bahwa kebebasan bukan berarti bebas dari segala ikatan, tetapi tetap dengan taat pada hukum (moral).
4. Implementasi Nilai Etik dalam Ilmu
Telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa disukai atau tidak, nampaknya nilai-nilai etika dipandang perlu diimplementasikan pada setiap kegiatan ilmiah, sebagai penyeimbang agar produknya tidak mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan. Ilmu diharapkan menjadi melek moral. Sementara nilai diperlakukan bersenyawa dengan proses dan hasil kemajuan itu.
Namun, dalam pertimbangannya, para ilmuwan berbeda pandangan terhadap apakah etika diperlukan dalam pekerjaan-pekerjaan ilmiah atau tidak. Apakah ilmu tidak menjadi stagnan atau mengalami kemunduran karena terlalu banyaknya pertimbangan nilai. Prof. DR. H. Cecep Sumarna (2008) membedakannya menjadi dua golongan. Pertama, ilmuwan yang menggunakan satu pertimbangan, berupa kebenaran dengan mengesampingkan semua pertimbangan nilai. Kedua, mereka yang menganggap perlunya memasukkan pertimbangan nilai-nilai etik dan nilai-nilai kesusilaan. Sehingga sisi utility(kegunaanya) terasa sebagai penyeimbang pertimbangan nilai kebenaran dalam setiap aplikasi ilmu.
Bertolak dari pandangan para ilmuwan yang satu sama lain berbeda, dengan berbagai dalil alasan yang dikemukakannya, dapat kita pahami bahwa pemasukkan nilai etika ke dalam ilmu, diterima atau tidaknya, akan sangat berurusan dengan tujuan penciptaan ilmu itu sendiri. Ilmuwan yang tujuan penciptaannya memperhatikan segi kemanusiaan dan kesusialaan demi kebenaran tujuan penggunaannya, akan berupaya memasukkan nilai etik ke dalam ilmu. Faktor empirik dan rasional tidak dimentahkan dengan adanya nilai etik, tapi justru dijadikannya bernilai/bermartabat bagi kemaslahatan umat manusia. Pandangan bahwa ilmu harus bebas nilai (free value) adalah sebuah keangkuhan dalam berhubungan dengannya.
Sedangkan ilmuwan yang tujuan penciptaannya harus steril dari nilai-nilai metafisik, akan berupaya membendung dan menafikan keterlibatan nilai etik. Penulis beranggapan kalangan ilmuwan pada golongan ini, melakukan dikotomi / pemisahan untuk suatu tujuan penciptaan tidak secara sosial atropogal, melainkan secara eksak matematis. Pertimbangan konotasi atas evaluasi ilmu dianggap tidak diperlukan sebagaimana dipergunakan oleh kalangan ilmuwan yang membolehkan.
Fakta sejarah telah terbukti, proses dan pengawasan terhadap hasil rekayasa ilmu tidak selamanya dipergunakan dengan bebas dampak negatif. Sejak perang dunia kedua, bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima (Jepang) oleh sekutu dibawah pimpinan Amerika Serikat, berdampak negatif pada hilangnya sisi-sisi kemanusiaan dan rusaknya peradaban manusia. Obat bius jenis psikotroprika yang semestinya digunakan dalam pembedahan klinis, dengan lemahnya pengawasan yang menyeluruh, begitu juga teknologi kondom, karena bebas nilai moral dan tidak disertai dengan aturan yang jelas dan mengikat sebagai bentuk pengawasan, maka yang terjadi adalah penyalahgunaan (misuse).
Kita patut berbangga karena ilmu pengetahuan telah dikembangkan sedemikian rupa. Ia banyak menawarkan jasa bagi pemenuhan hajat hidup manusia, baik bersifat primer (kebutuhan pokok), sekunder (kebutuhan penyerta/sampingan), ataupun tersier (kebutuhan luks kesenangan). Kesemuanya merupakan produk dari perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Di bidang kedokteran, dengan ditemukannya berbagai macam obat, termasuk antibiotika, membawa dampak bagi terselamatkannya jutaan manusia yang sakit. Di bidang pengayaan Uranium, tenaga muklir amat berjasa dalam pembangkit tenaga listrik. Di bidang militer, pengembangan peralatan senjata mutakhir, akan sangat membantu dalam pertahanan negara.
Namun semua itu akan bernilai baik jika ilmu pengetahuan sebagai pilar utamanya dan hasil yang telah dikembangkan itu diikat dengan nilai. Dengan demikian tragedi dehumanisasi tidak akan menggejala. Majunya ilmu diharapkan mengikatnya nilai peradaban umat manusia.
5. Manfaat Mempelajari Etika
Seperti diibaratkan nasihat dokter kepada pasien dengan memberikan petunjuk/nasihat tentang apa yang boleh dan tidak berkenaan dengan penyakitnya, maka etika dapat membuat kita menjadi baik ataupun tidak bergantung pada kemauan kita mau mengikutinya atau tidak. Jika kita mau mentaati etika maka kita bisa menjadi manusia yang baik, jika tidak ia tidak akan berguna bagi kita. Yang jelas, manfaat yang diberikan begitu besar kepada siapapun yang mengikutinya. Ia dapat membukakan mata manusia untuk melihat baik dan buruk.
Sebenarnya tujuan etika bukan hanya untuk mengetahui pandangan (teori) di dalamnya semata. Akan tetapi yang paling penting adalah agar mendorong kita supaya membentuk hidup bahagia, menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan serta memberikan manfaat kepada sesama manusia.
6. Penutup
Secara ontologi, etika dalam filsafat ilmu yang merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat, adalah bagian yang tak terpisahkan dalam peradaban umat manusia. Sifat dasarnya sangat kritis, karena selalu mempersoalkan norma-norma yang berlaku, menyelidiki dasar dari norma-norma tersebut, begitu juga siapapun yang menetapkan norma itu.
Dari segi kegunaan (aksiologi), bahwa kehidupan manusia perlu ditopang dengan nilai-nilai etika, agar keberadaannya betul-betul dapat dinikmati dengan penuh arti. Dehumanisasi tidak perlu terjadi bilamana human (manusia) berikap legowo menetapkan etika kerja dan etika pengkajian ilmu. Itulah sebabnya mengapa kajian yang mendalam dan sungguh-sungguh ini dikemas dalam wadah filsafat.
Kita bersyukur sebahagian para ilmuwan telah berani memfatwakan perlunya nilai etika dalam semua bidang dan sendi-sendi kehidupan. Meski sebagian yang lain menafikannya. Sebab yang terpenting adalah berpulang kepada kitanya, mau mengiktui etika atau tidak. Mudah-mudahan kesungguhan kita dalam pengamalannya itu akan beroleh manfaat yang besar dan tak hingga nilainya.
Akhirnya mudah-mudahan makalah ini membawa percerahan baru bagi yang membacanya dalam memperoleh pemahaman tentang etika sebagai bagian dari filsafat ilmu.Source URL: https://pokbongkoh.blogspot.com/2009/12/etika-dari-sudut-pandang-ontologi.html
Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection
0 comments:
Post a Comment