Rendahnya tingkat apresiasi masyarakat (publik) terhadap sastra hingga kini masih terus menjadi perbincangan hangat di kalangan pengamat dan pemerhati sastra. Acara baca puisi, cerpen atau teater, apalagi seminar/diskusi, sering luput dari perhatian publik; hanya dihadiri oleh beberapa gelintir orang saja. Keadaan semacam itu diperparah dengan rendahnya minat baca publik terhadap buku-buku sastra. Lihat saja di perpustakaan atau toko-toko buku. Buku-buku sastra hanya sekadar jadi pelengkap dan pajangan; dibiarkan terpuruk tak tersentuh.
Tidak heran jika Taufiq Ismail pernah mengatakan bahwa masyarakat kita telah dihinggapi gejala “rabun sastra”, sehingga gagal menikmati keindahan nilai yang terkandung dalam karya sastra. Padahal, dengan membaca karya sastra, pembaca akan memperoleh kegembiraan dan kepuasan batin berupa hiburan intelektual dan spiritual yang akan membuka ruang kesadarannya akan makna kebenaran hidup hakiki; menjadikan manusia yang berbudaya, yakni manusia yang responsif terhadap sikap arif dan luhur budi (Sumardjo dan Saini, 1994).
Hal itu tidak berlebihan, sebab –meminjam istilah Amini (1996)– karya sastra mengandung nilai edukatif sebagai “panduan” dalam memasuki kompleksitas kejiwaan manusia, hubungan antarpribadi dan masyarakat, hingga alam semesta dan Tuhan. Seraya menghibur, sastra menawarkan pathos, nilai kearifan, kedalaman perenungan, dan menjadi semacam model-model perilaku yang dikandungnya.
Hal senada juga dikemukakan oleh Hassan (1989) bahwa karya sastra merupakan gelanggang manifestasi berbagai kondisi manusiawi, sehingga mampu mementaskan representasi aneka ragam penghayatan manusia. Melalui karya sastra, manusia berpeluang melakukan objektivikasi penghayatannya secara mendalam; menjadi tempat diproyeksikannya pengalaman psikis manusia. Dengan demikian, pembaca akan terbimbing kepekaan nuraninya untuk mengukuhi nilai keluhuran dan kemuliaan budi dalam hidup, serta berusaha menghindari perilaku yang bisa menodai citra keharmonisan hidup di tengah komunitas dan paguyuban sosialnya.
Yang lebih memprihatinkan, gejala “rabun sastra” dinilai telah mewabah pula di kalangan pelajar kita. Tingkat apresiasi mereka terhadap karya sastra dinilai belum seperti yang diharapkan. Mereka lebih akrab bergaul dengan situs-situs porno –konon pada bulan April nanti akan diblokir– atau melambungkan khayal lewat play-station. Akibatnya, mereka menjadi begitu rentan terhadap imaji kekerasan, seks, dan narkoba.
***
Mengapa apresiasi sastra pelajar kita menjadi demikian rendah? Setidaknya, ada tiga argumen yang layak dikemukakan. Pertama, pelajar kita mulai kehilangan kepekaan terhadap persoalan-persoalan moral, agama, dan budi pekerti akibat merebaknya “doktrin” materialisme, konsumtivisme, dan hedonisme yang dikibarkan oleh “bendera” modernisasi. Imbasnya, gebyar lahiriah dan duniawi dianggap lebih memiliki pesona dan daya pikat ketimbang urusan batiniah, kemanusiaan, budaya, dan religi.
Kedua, situasi pengajaran sastra di sekolah belum sepenuhnya mampu membangkitkan minat dan gairah siswa untuk belajar apresiasi sastra secara suntuk, total, dan intens. Suasana pengajaran sastra berlangsung monoton, tidak menarik, bahkan menegangkan. Siswa hanya diperlakukan bak “tong sampah” yang terus-terusan menerima transfer ilmu bercorak teoretis dan hafalan dari sang guru, tanpa disediakan ruang untuk berdiskusi, berdialog, dan bercurah pikir secara terbuka, interaktif, kritis, dan kreatif. Siswa hanya dibebani target untuk mencapai hasil maksimal dalam prestasi akademik tanpa diimbangi dengan pendalaman secara apresiatif.
Ketiga, tugas ganda guru bahasa Indonesia yang diwajibkan untuk mengajarkan sastra. Jika kita melihat fakta yang terjadi, secara jujur mesti diakui, guru yang mahir mengajarkan bahasa belum tentu tampil memikat ketika dituntut untuk mengajarkan sastra. Mengajarkan puisi, misalnya, selain dituntut menguasai materi ajar, guru juga diharapkan mampu “berakting” dengan vokal, gerak, dan ekspresi yang memikat, sehingga secara sugestif mampu menggairahkan minat siswa untuk belajar apresiasi sastra.
Tuntutan semacam itu jelas tidak mudah dilakukan oleh guru bahasa yang minim minat, wawasan, dan “talenta” sastranya. Akibatnya, muatan sastra dalam kurikulum sering gagal diterjemahkan, bahkan dilewati begitu saja, lantaran dianggap bukan sebagai materi esensial yang akan diujikan dalam ulangan umum maupun ujian.
***
Kalau keadaan semacam itu terus berlanjut, bukan mustahil pengajaran apresiasi sastra di sekolah makin terpuruk dan terpinggirkan di tengah hiruk-pikuk peradaban. Menghadapi era global yang serba kompetitif dan berdaya saing tinggi, sekolah diharapkan benar-benar mampu mengoptimalkan fungsinya sebagai pusat pendidikan nilai yang tidak hanya berbasiskan ranah kognitif-psikomotorik an-sich, tetapi juga ranah afektif yang berorientasi pada pembentukan watak dan kepribadian siswa didik. Dengan demikian, keluaran pendidikan tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial, sehingga kelak mampu bersaing di tengah-tengah arus global secara arif, matang, dan dewasa.
Dalam konteks demikian, pengajaran apresiasi sastra memiliki kontribusi penting dalam upaya melahirkan generasi yang cerdas dan bermoral seperti yang diharapkan. Ini artinya, mau atau tidak, sekolah harus memosisikan diri menjadi “benteng” utama apresiasi sastra melalui pengajaran yang dikelola secara tepat, serius, dan optimal.
Berkaitan dengan hal tersebut, setidaknya ada empat hal penting dan urgen untuk segera diagendakan. Pertama, memberdayakan guru bahasa Indonesia. Karena juga dituntut untuk mampu mengajarkan sastra dengan baik, maka harus ada upaya serius untuk membekali mereka melalui berbagai forum semacam Temu Sastrawan, diskusi, atau pelatihan untuk memperkuat basis dan wawasan kesastraannya. MGMP sebagai wadah dan forum guru mata pelajaran, perlu direvitalisasi agar tidak terus-terusan “menganaktirikan” pengajaran sastra seperti yang terjadi selama ini.
Kedua, guru bahasa mesti lebih kreatif dengan terus berupaya menciptakan atmosfer pembelajaran sastra yang lebih menarik dan memikat; tidak hanya sekadar menyuapi siswanya dengan setumpuk teori dan hafalan. Pendekatan apresiatif yang membuka ruang diskusi dan bercurah pikir yang membuat siswa gemar dan cinta sastra harus benar-benar dihadirkan.
Ketiga, program SMS (Sastrawan Masuk Sekolah) semacam Sastrawan Bicara Siswa Bertanya seperti yang pernah dirintis Yayasan Indonesia dan majalah sastra Horison bekerja sama dengan The Ford Foundation perlu “dibumikan” di sekolah-sekolah untuk ikut menjawab kegelisahan guru yang selama ini dinilai telah gagal dalam mengajarkan apresiasi sastra.
Keempat, seiring dengan bergulirnya desentralisasi pendidikan dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), perlu dipikirkan adanya pelaksanaan ujian sastra yang lebih apresiatif agar para guru tidak lagi menganggap muatan sastra sebagai materi yang tidak esensial.
Keempat agenda tersebut perlu didukung dengan komitmen tinggi para pengambil kebijakan, ditunjang dengan fasilitas perpustakaan sekolah yang memadai. Dengan demikian, sekolah benar-benar akan mampu menjadi “benteng” utama apresiasi sastra, tidak hanya sekadar slogan dan retorika belaka. Nah, bagaimana? ***
Source URL: https://pokbongkoh.blogspot.com/2009/12/rendahnya-tingkat-apresiasi-masyarakat.htmlVisit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection
0 comments:
Post a Comment