Syariat Lokal
MENARIK membaca beberapa artikel tentang pelaksanaan syariat yang ditulis beberapa rekan di harian ini, menurut saya inilah kajian “tingkat tinggi”, kajian dalam tataran filosofis mulai dari asumsi sampai paradigma. Ada banyak manuver-manuver pemikiran yang layak untuk dicermati.
Setiap orang tentu memiliki sudut pandang berbeda dalam menilai syariat. Sudut pandang itu terbentuk dari latar belakang keluarga, lingkungan, dan terutama pendidikan seseorang. Perbedaan sudut pandang ini hendaknya tidak menggiring kita pada upaya “mihnah” dan fitnah, karena kedua sikap itu cermin dari tertutupnya kita pada ide-ide pencerahan. Pola-pola seperti itu menggiring kita kembali ke era Abbasyiah di masa al-Makmun.
Saya kurang sepakat jika rubrik ini menjadi ajang “saling menghakimi” dan saling menyalahkan. Sebab dalam tataran logika tidak ada hukum positif yang menyatakan ini benar ini salah, yang bisa menghukuminya barangkali hukum logika itu sendiri, tetapi itu juga menjadi relatif manakala logika digunakan orang yang berbeda dengan latar belakang pendidikan yang berbeda.
Karena itulah, ada prinsip diskusi untuk mencari hikmah. Hikmah itu bukan tampak sekarang, tapi nanti seiring waktu berjalan. Konyol sekali jika kita menghakimi pendapat (konsep) orang lain. Yang bisa menghakiminya barangkali adalah pihak ketiga atau publik. Waktu dan proseslah yang akan memenangkan atau mengalahkan satu pendapat atau pandangan. Hal ini sudah terbukti dalam semua bidang ilmu, bahkan dalam ilmu eksak sekalipun.
Termasuk dalam diskusi tentang paradigma penerapan syariat. Orang yang berlatar belakang hukum akan melihat syariat dari perspektif hukum, yang berlatar belakang filsafat akan melihat syariat dari aspek filosofis, yang berlatar belakang sosiologi akan melihat syariat dari perspektif sosiologi, dan seterusnya.
Konsep Islam humanis yang ditawarkan oleh Affan Ramli (AF) yang kemudian ditanggapi “panas” oleh beberapa rekan yang lain sebetulnya tidak perlu terlalu dibesarkan, sebab konsep humanisme itu sendiri bukan kebenaran yang absolut, itu juga hasil pemikiran. Menjadi relatif lagi jika kita pertanyakan apakah pemahaman tentang humanis itu sendiri sudah tepat?
Mengkontradiksikan konsep humanis dengan hukuman cambuk juga bukan logika yang bijak, sebab humanis dari sudut pandang syariat berbeda dengan sudut pandang lain. Masalahnya, sekarang kita berdiri di mana, di sudut ring syariat atau sudut yang lain. Jika humanisme datang dari Barat, apakah konsep penjara yang datang dari dan menjadi primadona hukum pidana di Barat lebih humanis dari hukuman cambuk?
Tataran logika, apalagi menyangkut ilmu sosial dan ilmu budaya, selalu berada dalam relativitas. Teori dan paradigma apapun yang dihasilkan memiliki relativitas masing-masing. Isme-isme yang digagas apakah dari Barat atau dari Timur semuanya relatif, karena itu kita tidak boleh memegangnya secara mati-matian. Mazhab-mazhab dan aliran pemikiran awal memang pijakan untuk menggapai tempat yang lebih tinggi, tetapi pijakan itu juga bukan satu, ada banyak pilihan yang bisa dipilih menurut tuntutan konteks. Jika pijakan tunggal pada aliran humanisme itu yang kita lakukan, kita belum terbebas dari kungkungan paradigma orang lain.
Tidak hanya melepaskan diri dari kungkungan pola penerapan syariat di tempat lain, kita juga harus membebaskan diri dari kungkungan konsep. Konsep masa lalu seperti konsep maqashid syari’ah seperti yang diusung oleh Jabbar Sabil (JS) juga bebas untuk kita “hakimi”. Itu juga bukan konsep absolut. Kita dianjurkan untuk mempelajarinya bukan dengan maksud menganggapnya sebagai satu-satunya kebenaran. Untuk menjadikannya tawaran konsep sah-sah saja.
Syariat Islam di Aceh memerlukan paradigma tersendiri, dan itu bukan tanpa proses. Syariat Islam memang universal, tapi jika sudah dihubungkan dengan suku kata “Aceh”, maka sifatnya telah berubah menjadi lokal. Ini yang perlu dipahami. Syariat di Aceh beda dengan di Saudi, Malaysia, Iran, Sudan, atau daerah manapun di dunia. Karena itu, diperlukan racikan paradigma yang khas Aceh. Menemukan racikan yang khas itu membutuhkan waktu dan kesabaran. Lemparan wacana oleh beberapa rekan akan menjadi kontribusi tersendiri pada racikan itu. Harapan kita akan ada racikan “dari Aceh untuk dunia”. Kita punya struktur dan kultur sendiri yang berbeda dengan tempat dan paradigma manapun di dunia. Pilihan terhadap satu-satu konsep atau paradigma haruslah dianggap sebagai pilihan sementara menunggu konsep atau paradigma lain yang lebih baik. Karena itu tantangannya adalah kitalah yang lebih tahu bagaimana menerapkan syariat yang bisa memajukan peradaban kita. Jika mau maju jangan melulu melihat orang lain.
Saat ini pun, jika ada daerah lain yang melaksanakan syariat Islam pasti akan memerlukan paradigma sendiri yang tidak bisa diimpor dari daerah lain, atau ditarik dari masa lalu. Syariat Islam di Aceh adalah syariat dalam konteks kini dan di sini, bukan masa lalu dan bukan di bagian lain manapun di dunia ini. Bahwa syariat Islam kini diterapkan dalam paradigma negara bangsa adalah sesuatu yang tak terbantahkan. Karena itulah bicara syariat di Aceh kita tidak boleh lepas dari konsep negara, tata negara, administrasi negara, dan pergaulan global. Jadi bicara syariat yang nyata tidak terlepas dari 5W1H: apa, siapa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana; dan itu semua dalam lingkaran relativitas.
Perkara apakah syariat Islam di Aceh ini berkah politik atau bukan sepertinya sudah tidak penting lagi, karena penerapan syariat tidak bisa dilepaskan dari proses sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sulit menerapakan syariat bukan berarti penerapannya gagal dan tak usah terlalu dipermasalahkan. Kalaupun kesulitan tidak ada maka penerapan syariat tidak akan seseru seperti sekarang. Itulah yang disebut sebagai dinamika dan dialektika. Peradaban maju karena kesiapan manusianya untuk menerima hal-hal yang dinamis dan dialektis.
Syariat yang termaktub dalam Alquran dan Sunnah yang kini dipahami sebagai teks memang merupakan kumpulan ide tentang apa yang benar dan yang salah, apa yang baik dan apa yang buruk, dan apa yang indah dan apa yang jelek. Ide tentang itu terbungkus dalam teks, setiap ide mengandung informasi, dan setiap informasi mengandung nilai. Tantangan bagi kita adalah menangkap dan menggali nilai-nilai positif dari teks itu untuk diterapkan dalam dunia kita masing-masing.
Saat ini kita sedang dirasuki oleh virus “Hermeneutika”. Paradigma pemaknaan teks warisan Barat ini kini menjadi primadona kalangan “Islam Liberal”, termasuk mungkin pemikir-pemikir muda di Aceh. Kajian-kajian sosial dan budaya saat ini sedang getol dihubungkan dengan pendekatan ini. Walaupun ada juga sebagian ada yang ber-apologize menyatakan itu tidak lebih dari ilmu tafsir, namun sebagai sebuah paradigma juga sebaiknya diketahui dan dipelajari dengan sikap terbuka.
Paradigma apapun yang lahir dalam menerapkan syariat Islam tidak terlepas dari usaha kita “membaca” kebenaran nash. Kebenaran yang dicapai manusia sifatnya relatif dan temporer, karena itulah semua pendapat dan pandangan semestinya digabungkan dan disortir mana yang membangun dan mana yang tidak.
Sebagai penutup penulis ingin menegaskan bahwa dialektika penerapan syariat adalah bukti besarnya atensi kita pada pelaksanaan syariat. Berbagai sudut pandang pada saatnya nanti bisa dipadukan karena “perang wacana” ini adalah bagian dari ijtihad jama’i di era modern. Konsep-konsep yang brilian pada waktunya juga akan mengkristal menjadi satu konsep yang siap diluncurkan. Kajian-kajian filosofis seperti ini akan menjadi jiwa qanun-qanun syariat yang akan lahir di Aceh.
* Penulis adalah Widyaiswara BKPP Aceh, alumnus IAIN Ar-Raniry.
sumber:http://serambinews.com/news/view/43404/syariat-lokal
Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection
0 comments:
Post a Comment