FREE DOWNLOAD PICTURE
MORE INFO ABOUT WALLPAPER
Thursday, November 12, 2009

Demokrasi dan Kebebasan di Cina

    A. Syafi’i Ma’arif: Demokrasi dan Kebebasan di Cina?
    Anda masih ingat bukan pembicaraan saya pada Februari 2004 dengan Lu Shumin, Dubes Cina waktu itu? (Lih. Resonansi 2 Maret 2004). Kami telah berbicara tentang Marxisme dan korupsi di Cina, dan sedikit tentang demokrasi pasca pembaruan yang dilancarkan Deng Shiaoping dengan mengoreksi secara radikal politik Mao Zedong yang otoritarian yang banyak makan korban itu.
    Seperti saya katakan dalam kolom itu bahwa Lu adalah seorang intelektual Marxist yang tercerahkan, jika bukan telah meninggalkan Marxisme yang hampir bangkrut itu. Kali ini mari kita lihat apakah demokrasi punya prospek di negara dengan penduduk lebih dari 1,3 miliar itu. Bagaimana dengan kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi yang terpenting? Pengakuan Li Datong di bawah cukup menarik untuk disimak sebagaimana dituturkannya dalam wawancara dengan Melinda Liu dari Newsweek (3 April 2006).
    Li Datong semula adalah editor-in chief Freezing Point yang dibreidel Januari 2006, tetapi diizinkan terbit kembali pada 1 Maret 2006 tanpa mengikutsertakan namanya. Li dipindah ke News Research Institute of the China Youth Daily, suatu cara untuk merumahkan wartawan senior ini. Komentar Li tentang kepindahannya ini cukup lugas dan tanpa ragu-ragu: “Orang yang bekerja di sini [News Research] jika bukan orang tua, ya orang sakit. Ini adalah penghentian di tengah jalan sebelum mundur. Artikel-artikel saya sudah tak diizinkan lagi terbit di Cina sekarang –bahkan tidak di dalam internet. Segera setelah nama saya dikenali, artikel itu akan dibuang. Telepon saya juga dipantau. Saya tidak takut tentang masalah itu karena saya tak punya rahasia.”
    Saat disusuli pertanyaan: “Jika ini berlaku 10 tahun yang lalu, barangkali Anda juga telah kehilangan kebebasan Anda?” Li menjawab: “Tentu. Sekarang setidaknya mereka masih membayar gaji saya. Ini semacam kemajuan sosial.” Dari percakapan di atas kita melihat bahwa untuk membangun demokrasi yang sehat dan kuat dengan menjamin kebebasan pers di sebuah negara raksasa seperti Cina sukarnya bukan main. Ini berbeda dengan Taiwan setelah Presiden Chiang Ching-kuo mencabut UU Darurat untuk mengganti kediktatoran partai tunggal pada pertengahan 1980-an dengan sistem multipartai, sehingga memungkinkan negeri ini mengikuti cara demokrasi.
    Komentar Li: “Dia [Chiang] menyadari sesuatu yang mustahak, yaitu menyertai gelombang utama moral masyarakat di dunia. Dia paham betul apa yang akan berlaku kemudian, tetapi telah berketetapan hati untuk melakukan perubahan.” Dalam kasus Taiwan ini jelas sekali bahwa jika ingin demokrasi, pimpinan tertinggi negara harus memeloporinya. Di Cina Daratan gerak serupa belum terjadi, sekalipun sedikit ada kemajuan, Li Datong misalnya tidak langsung ditangkap, tetapi kebebasannya dikebiri.
    Anda tentu ingat nasib alm Mochtar Lubis, baik di era Bung Karno maupun di era Jenderal Soeharto? Dia dipenjara selama beberapa tahun dan/atau korannya, Indonesia Raya, diberangus atas nama demokrasi: terpimpin atau Pancasila. Pancasila telah disalahgunakan untuk menindas. Kalau sistem politik di Cina sampai sekarang masih bercorak autarki (despotik), tetapi karena tekanan internet, negara pada akhirnya akan kewalahan membendung kebebasan agar rakyat tidak punya akses terhadap informasi, termasuk informasi tentang apa yang sedang terjadi dalam negeri sendiri.
    Sebuah kebobrokan kebijakan tidak mungkin lagi ditutup-tutupi. Sewaktu Li ditanya apakah dia punya harapan di bawah Presiden Cina Hu Jintao sekarang, yaitu Cina Daratan mengikuti jejak Taiwan dalam hal kebebasan dan demokrasi. Dijawab, akan sulit sekali. Bahkan, dikatakan jika dua kecenderungan politik (kebebasan dan pengekangan) tidak teratasi, kekacauan besar akan berlaku. Tidak mustahil tragedi berdarah model Tiananmen pada 1989 akan berulang. Sekarang pemerintah Cina telah berunding dengan perusahaan asing Google dan Yahoo agar isi internet dikontrol sekalipun dengan biaya yang besar sekali. Kedua perusahaan ini, demi pangsa pasar yang dahsyat, setuju.
    Tetapi, kata Li, untuk mengontrol seluruh isi informasi sudah tidak mungkin lagi. Sebagai salah seorang intelektual kritikal jika bukan pembangkang, Li sampai pada kesimpulan: ‘Sebuah masyarakat yang sehat harus punya suara-suara yang berbeda, termasuk [suara] dari ekstrem kiri, ekstrem kanan, dan mereka yang berada di tengah. Suara tunggal untuk seluruh negeri jelas berbahaya bagi negeri manapun di dunia.’
    Bagaimana Indonesia? Dalam arti kebebasan, kita jauh lebih maju dibandingkan dengan negeri raksasa itu. Tetapi, yang baru kita alami di sini adalah: kebebasan untuk kebebasan atau untuk menghidupi kaum elite yang beruntung tetapi tidak pernah kenyang; bukan kebebasan untuk membantu rakyat yang kelaparan. Serba sulit bukan? Memang peradaban politik Indonesia baru sampai di situ, Anda mau apa?

    http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=19

    Source URL: http://pokbongkoh.blogspot.com/2009/11/blog-post_8512.html
    Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection

0 comments:

Post a Comment