SELAIN bahasa yang sering disebut-sebut sebagai salah satu biang yang
mengakibatkan krisis sastra masa kini di Indonesia, moralitas juga sekarang
menjadi fokus para penulis senior ataupun para akademisi. Saya merasa sangat
terusik untuk membahas soal krisis moral dalam sastra Indonesia yang konon
oleh beberapa penulis senior ibarat tubuh yang sudah kehilangan kepala. Yang
dimaksud penulis-penulis ini tentu saja adalah sastra modern seakan-akan
sangat terjerumus dalam persoalan eros dan erotisisme ketimbang moralitas.
Pergunjingan soal moralitas muncul dalam kesusastraan dan kebudayaan pada
awal agama mulai tersebar luas dalam peradaban. Sebelumnya moralitas dalam
karya-karya drama ataupun mitos Yunani terasa sangat terbuka dan sifatnya
tidak mengkhotbah, tetapi lebih sering merupakan sebuah ungkapan dari
kehidupan, atau lebih tepatnya seperti disebut oleh Nietzsche, The Gay
Science, yang intinya adalah bahwa moralitas pun merupakan suatu aspek
ringan atau komedi dalam kehidupan kita. Moralitas menjadi momok yang sering
dipergunakan oleh para wali keagamaan untuk menindas para pemikir dan
pekerja kesenian selama berabad-abad. Walaupun demikian, dari masa ke masa,
dari peralihan zaman pencerahan hingga ke era Victoria hingga masa kini,
moralitas tidak hentinya digempur oleh para penulis dan seniman di mana pun.
Adalah suatu pemikiran yang sangat kolot dan antimodernisme untuk meneropong
sastra Indonesia saat ini bagaikan seorang moralis yang merasa jijik melihat
kenyataan bahwa dunia yang bajik dan sangat sempurna yang dihuni mereka
sudah berubah begitu dahsyatnya. Keberatan mereka seharusnya ditujukan pada
persoalan kehidupan masa kini yang memang sejak perang dunia kedua telah
usang, daripada menekan para penulis sastra masa kini yang ingin membawakan
berbagai kompleksitas kehidupan masa kini dalam karya-karya mereka.
Keberanian dari para penulis ini, menurut saya patut kita puji, karena
penulis-penulis ini telah beranjak jauh dari zaman di mana sastra masih
ditindas oleh kekangan masyarakat ataupun agama, seperti pada masa Flaubert,
yang karyanya Madame Bovary dihujat sebagai amoral, dan zaman DH Lawrence,
yang karyanya Lady Chatterly's Lover dianggap mesum, dan James Joyce dengan
karyanya Ulysses yang terpaksa harus diterbitkan di Perancis, karena
dianggap porno! Tetapi sebelum para penulis berani ini, mereka sudah punya
kolega yang tidak kalah beraninya: Daniel Dafoe di abad ke-18, dengan karya
yang berani Moll Flanders tentang pelacuran, di abad ke-16, Rabelais dengan
karya Gargantua and Pantagruel yang heboh karena keberaniannya mencatat
kebobrokan manusia dalam detail-detail yang berani, dan Chaucer, di abad
ke-14 bahkan sebelum Shakespeare, dengan karyanya Canterbury's Tales,
melukiskan keanekaragaman karakter manusia dari yang munafik hingga yang
seronok.
Di masanya, penulis-penulis ini dianggap sangat kontroversial dan sering
ditindas oleh para wali agama ataupun penguasa, tetapi hari ini mereka kita
anggap sebagai pahlawan-pahlawan sastra yang karyanya dipelajari oleh
siswa-siswa di sekolah di segala penjuru dunia.
Penafsiran pada suatu karya sastra menurut saya menjadi problematika kalau
tolok ukurnya adalah moralitas. Penulis sastra tidak bertanggung jawab pada
suatu masyarakat ataupun pembaca akan keabsahan moralitas mereka dalam
karya-karya yang ditampilkannya. Seorang seniman menciptakan sebuah karya
tidak berdasarkan suatu konsensus massa ataupun masa, tujuan akhir dari
sebuah karya bukanlah betapa tingginya nilai moralitas yang dicapai tetapi
seberapa jauhnya estetika ataupun moralitas yang dianut sekelompok
masyarakat dapat digeserkan. Karena melalui tiap pergeseran ini, yang
sebenarnya juga merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri, maka
terciptalah karya-karya terobosan besar. Persoalan menjadi semakin runyam
ketika penulis-penulis yang berani menulis karya-karya yang berani dikaitkan
dengan kebobrokan pribadi mereka. Atau mereka dianggap pengaruh negatif yang
merusak serat moralitas masyarakat.
Di sini letak kemunafikan suatu komunitas. Karena di satu sisi para seniman
diminta untuk melakukan terobosan dengan berani dalam karya-karya mereka, di
sisi lain mereka juga diberikan batas-batas kelayakan yang dianggap
merupakan konsensus umum yang perlu dipertahankan. Alasan mereka selalu
adalah bila tidak pilar-pilar kesusilaan sipil akan roboh. Apakah kehebatan
suatu masyarakat dan kemandiriannya bisa dirobohkan oleh karya-karya seni?
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana suatu karya seni bisa melakukan
terobosan dengan batas-batas seperti ditetapkan oleh para petinggi moralitas
itu? Saya kira pertanyaan balasan yang tepat adalah kenapa pula kita perlu
takut dengan karya-karya berani ini? Kalau kita tidak ingin anak-anak kita
membaca karya-karya tertentu, atau pemikiran kita bahwa mereka masih belum
siap membaca karya-karya tertentu, kita bisa melarang mereka untuk tidak
membaca karya-karya itu. Jadi batas-batas kelayakan pada karya sastra tidak
perlu kita pergunjingkan sebagai persoalan publik tetapi membataskannya
menjadi suatu persoalan individu. Seperti juga bagaimana kita menyambut
dengan gembira buku-buku berbobot moralitas tinggi, kita seharusnya juga
bisa menyambut dengan toleransi yang tinggi buku-buku yang berani menerobos
'batas-batas' kelayakan itu. Keberatan kita dan ketakutan kita menerima
karya-karya tersebut hanya mencerminkan keangkuhan supremasi moralitas kita
atau memberikan kesan seakan batas zona keamanan pribadi sedang terancam.
Di sini kita perlu bedakan antara erotisisme dan pornografi, karena kedua
hal sering disalahtafsirkan, atau menjadi tercampuraduk dalam pembahasan
soal kelayakan dalam satu karya seni. Eros dan erotisisme oleh Octavio Paz
digambarkan sebagai kecenderungan yang normal bagi manusia yang punya
imajinasi dan budi pekerti. Berbeda dengan hewan yang dalam tindakan
seksualnya hanya untuk mereproduksi, menurut Octavio Paz, manusia mempunyai
kapasitas untuk merasakan kenikmatan dan punya daya imajinasi yang tinggi
untuk menambah nilai kenikmatan itu dalam hubungan seksual. Dengan demikian,
erotisisme adalah bagian yang wajar dari fakultas manusiawi, sedangkan
pornografi adalah suatu penghasutan indera yang tidak mempunyai nilai
imajinasi. Repetisi imaji yang ditampilkan untuk menggugah berahi terlihat
jelas sangat mekanis dan tidak mempunyai nilai-nilai estetika ataupun tujuan
lain selain menggugah insting-insting purba dalam diri kita.
Berbicara tentang estetika dan etika, perlu juga kita bahas apakah sebuah
karya perlu ada sebuah tujuan etika yang konkret. Perlukah sebuah karya
punya misi moralitas? Inilah antara lain hal yang sering dipersoalkan dalam
pembahasan krisis moral dalam kesusastraan kita. Persoalan ini menurut saya
akan sangat sulit diselesaikan karena kalau kita serapkan apa yang ditulis
oleh Nietzsche dalam karyanya The Genealogy of Morals, maka sangat jelas
sekali bahwa seharusnya kita menanggapi pergeseran moralitas dalam karya
seni dengan keringanan jiwa. Karena persoalan moralitas akan sangat relatif.
Bagaimana seseorang mengukur batas-batas etika yang seharusnya ataupun
seharusnya tidak dilanggar dalam sebuah karya? Apakah karya-karya seni harus
merujuk pada suatu pakam moralitas suatu kepercayaan ataupun suatu konsensus
massa? Bila demikian halnya, saya kira karya-karya yang diciptakan tidak
lagi bisa dikategorikan sebagai karya seni, tetapi lebih mendekati
karya-karya hymna bagi suatu kepercayaan.
Tuntutan pada seorang seniman menjadi seorang panutan moralitas tinggi
menurut saya adalah penafsiran yang salah pada fungsi seorang seniman.
Penafsiran ini seakan menempatkan seorang seniman pada posisi seorang
pengkhotbah ataupun seorang wali terhormat dari suatu masyarakat. Pemikiran
demikian sangat bertolak belakang dengan kenyataan posisi seorang seniman.
Seniman di bidang mana pun senantiasa akan tetap merupakan manusia marjinal.
Posisi mereka, bila bukan karena dalam realitas mereka memang terpojok ke
pinggiran kehidupan, adalah pilihan mereka sendiri dalam menempatkan diri di
pinggiran sehingga mereka dapat menyaksikan ataupun meneropong dunia dari
dekat, yang kemudian, melalui kepedihan hasil pergelutan kehidupan mereka
dengan dunia ataupun kejeliannya dalam mengupas kehidupan di hadapan mata
mereka, akan menjelma menjadi keoriginalitas karya-karya seniman itu.
Lihat dalam sejarah kesusastraan dunia dan Anda akan menemukan nama-nama
besar seperti Rimbaud, penyair muda yang berhenti menulis syair pada saat
dia berumur 20 tahun, yang mempunyai metode khusus mengakses keaslian
jiwanya dengan membius otaknya dengan rangsangan alkohol dalam kuantitas
yang tinggi. Pelbagai penggunaan obat terlarang juga dilakukan oleh
penulis-penulis besar, seperti dengan opium oleh Graham Greene, LSD oleh
semua penulis generasi Beatnik dari Allen Ginsberg hingga Jack Keruac, dan
di era 80-an, kokain oleh Jay McInnerny, dan alkohol, pilihan Bacchus
favorit rata-rata semua penulis, dari William Faulkner hingga Dylan Thomas.
Mereka ini manusia besar dalam kesusastraan yang gagal dalam ketertiban
kehidupan sehari-hari. Mereka jauh dari manusia sempurna yang didambakan
banyak orang. Karya-karya mereka diciptakan juga bukan untuk diukur dari
segi bobot moralitas pribadi mereka, tetapi dari kedalaman jiwa mereka yang
lahir dari pergesekan mereka dengan dunia.
Sampai di sini, saya mendengar keluhan sang moralis yang menanyakan, "Jadi
apa fungsi sastra sebenarnya?" Sastra menurut saya adalah muntahan balik
dari seorang penulis kepada masyarakatnya. Keberaniannya dan ketulusannya
dalam berkarya adalah keoriginalitas suaranya. Perkembangan sastra sudah
lama bergeser dari karya-karya sastra yang gentil. Karya-karya penuh bobot
moralitas Jane Austen hingga Nathaniel Hawthorn sudah tergeser oleh
karya-karya pembangkang seperti Flaubert, James Joyce, DH Lawrence,
Baudelaire, dan pada era modern oleh hampir semua penulis berani dari Jean
Genet, Allen Ginsberg, Bukowski, John Fante hingga oleh pemenang Nobel tahun
2004 Elfriede Jelinek. Hampir semua tabu dalam kehidupan sudah dilabrak oleh
penulis-penulis ini. Adalah sangat egois bagi para petinggi moralitas di
negara kita menuntut bahwa penulis-penulis kita kembali ke zaman abad
pertengahan dan mengabadikan karya-karya mereka pada kebesaran moralitas
dengan huruf M besar, sedangkan perkembangan sastra dunia sudah berlaju
demikian maju dan sudah lama meninggalkan rambu-rambu moralitas yang masih
dipersoalkan kita. Karena selain tidak mungkin memutarbalikkan perkembangan
masa, saya rasa tuntutan para petinggi moralitas ini sangat mengganjal
perkembangan sastra di negeri ini. Persoalan moralitas seharusnya dibahas
dalam konteks di luar kesenian seperti dalam forum kebatinan ataupun dalam
kajian sosiologi. Karena persoalan moralitas sangat berseberangan dengan
penciptaan karya seni. Seniman tidak kenal rambu-rambu moralitas dalam
penciptaan mereka. Yang disasarkan dalam setiap karya seni bukan lagi
capaian moralitas, tetapi capaian originalitas dalam suara, visi ataupun
estetika. Sastra dunia sudah mencapai titik capaian yang begitu maju
sehingga ia tidak lagi mencoba mengupas moralitas manusia tetapi lebih pada
bagaimana menangkap dilema ataupun paradoks manusia dalam sekeping
kehidupannya. Kadang bahkan tanpa suatu tujuan ataupun subyek yang jelas,
selain potret-portret kecil suatu kehidupan seperti yang ditampilkan dalam
cerita-cerita penulis Sicilia Giovanni Verga.
Menutup penulisan ini saya ingin mengutip Oscar Wilde, juga salah satu
spirit pembangkang dalam kesusastraan yang ditindas oleh para petinggi
moralitas masyarakatnya pada masanya. Dia mengatakan bahwa kebenaran tidak
lagi benar bila ia diterima oleh semua pihak. Semangat setiap pekerja
kreatif adalah bagaimana berbagi kebenaran individunya dengan dunia di mana
dia bercokol. Persembahan mereka yang diperoleh dari tetes-tetes darah jiwa
mereka merupakan ungkapan kecintaan ataupun ketulusan mereka pada dunia.
Penindasan, penghujatan, pendakwahan negatif pada karya-karya seni sudah
bukan hal baru lagi bagi mereka, dan tidak pernah berhasil menghalangi
mereka, bahkan malah mengobarkan semangat mereka, untuk tetap menampilkan
tiap karya mereka dengan keberanian dan ketulusan yang tidak dapat
dikompromikan. *Source URL: https://pokbongkoh.blogspot.com/2010/01/adakah-krisis-moralitas-dalam.html
Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection
0 comments:
Post a Comment