FREE DOWNLOAD PICTURE
MORE INFO ABOUT WALLPAPER
Saturday, January 2, 2010

Dua “Kiblat” dalam Sastra Indonesia

    *Dua "Kiblat" dalam Sastra Indonesia*

    Ada sebuah pertanyaan besar yang sampai sekarang belum ada jawaban yang
    memuaskan. Benarkah sastra Indonesia lahir pada 1920? Tidak sedikit pakar
    sastra Indonesia yang masih berpendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia
    dimulai pada 1920 dengan sejumlah argumentasi yang sekilas tampak mantap.
    Tanpa mengulang kembali apa yang telah disampaikan A. Teeuw, Ajip Rosidi,
    Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan
    Slametmoeljana, saya mencoba melihat upaya yang dilakukan para pakar sastra
    lainnya dalam merekonstruksi sejarah sastra Indonesia di era reformasi ini.

    Dalam artikel yang dibacakan di *11th European Colloquium on Indonesian and
    Malay Studies* yang diselenggarakan Lomonosov Moscow State University pada
    1999, pengajar sastra Universitas Indonesia (UI), Ibnu Wahyudi, mengatakan,
    awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai
    dengan terbitnya puisi "Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi"
    (anonim) yang sekarang diterbitkan kembali dalam *Kesastraan Melayu Tionghoa
    dan Kebangsaan Indonesia* (Jakarta: KPG, 2000).

    Pada 2002, redaksi majalah sastra *Horison* yang dipimpin Taufiq Ismail
    menerbitkan buku *Horison Sastra Indonesia* (empat jilid) yang di dalamnya
    menyebutkan awal mula penulisan puisi Indonesia dipelopori Hamzah Fansuri
    sekitar abad ke-17. Namun, Taufiq Ismail masih menyebut Hamzah Fansuri
    sebagai pionir sastra daerah, dalam hal ini Aceh. Ia tidak dengan tegas
    menyatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah sastrawan Indonesia.

    Dari kedua hal di atas, setidaknya ada keinginan pada Ibnu Wahyudi untuk
    meluruskan sejarah sastra Indonesia yang sekarang diajarkan di
    sekolah-sekolah. Pelurusan sejarah ini penting karena berkaitan langsung
    dengan kesadaran kita mengenai bangsa dan negara Indonesia.

    Sejak Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyarankan untuk memutuskan sejarah
    kebudayaan prae-Indonesia (masa sebelum akhir abad ke-19) dengan kebudayaan
    Indonesia (awal abad ke-20 hingga kini), serta merta menghasilkan mata
    rantai sejarah yang terputus. Seolah-olah kebudayaan Indonesia baru lahir
    mulai 1900 sekaligus menafikan perjalanan sejarah bangsa yang telah berjalan
    ribuan tahun.

    Lompatan besar yang dilakukan STA itu sejalan dengan politik etis yang
    tengah dilakukan kolonial Belanda. Tapi, hal itu sekaligus menjadi kabut
    yang mengaburkan jatidiri bangsa Indonesia. Pandangan Sanusi Pane yang
    senafas dengan Poerbatjaraka dalam menanggapi STA sebenarnya memperlihatkan
    pandangan yang khas Indonesia. Dalam arti, mereka tidak silau dengan
    pengaruh Barat yang masuk ke Indonesia dan tidak mabuk dengan kebudayaan
    bangsanya sendiri.

    Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah kelanjutan dari
    sejarah masa lalu dan tidak terpotong begitu saja. Ia pun menegaskan bahwa
    sejatinya yang harus dilakukan adalah menyeleksi kebudayaan Indonesia yang
    purba dan pengaruh kebudayaan Barat untuk diformulakan menjadi kebudayaan
    Indonesia baru. Dalam bahasa Sanusi Pane, sebaiknya kebudayaan Indonesia
    mengawinkan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur).

    Jika kita masih berpegang pada pendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia
    dimulai pada 1920, kita masih setia pada sejarah yang terpotong itu. Kalau
    merujuk politik etis kolonial Belanda yang membentuk *Commissie voor de
    Indlandsche School en Volkslectuur* (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan
    Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya pada 1917 mendirikan *Kantoor voor
    de Volkslectuur* (Kantor Bacaan Rakyat) yang diberi nama Balai Pustaka,
    kelahiran sastra Indonesia—dengan demikian—merupakan produk politik etis
    kolonial Belanda itu. Padahal, pengaruh Barat semacam itu hanyalah babakan
    kecil dari pengaruh luar yang masuk ke Indonesia. Dengan kata lain,
    keterpengaruhan itu hanya bagian kecil dari keindonesiaan kita.

    Hasil penelitian Ibnu Wahyudi di atas memperlihatkan bahwa ia sudah terlepas
    dari kungkungan pemikiran yang dibentuk Belanda. Dengan menempatkan
    karya-karya sastrawan Indonesia dari peranakan Cina dan peranakan Eropa
    sebagai titik awal kelahiran sastra Indonesia, sesungguhnya ia telah
    menghadirkan wacana baru bahwa karya sastra yang tidak melalui sensor Balai
    Pustaka, yang tidak menggunakan bahasa Melayu tinggi, yang disebut sebagai
    bacaan liar, yang ceritanya berdasarkan peristiwa "yang sungguh-sungguh
    pernah terjadi", adalah juga termasuk dalam khasanah sastra Indonesia.

    Penelusuran Pramoedya Ananta Toer terhadap karya sastra Indonesia tempo dulu
    juga memperlihatkan hal serupa. Sastrawan-sastrawan yang sebagian besar
    berlatar belakang wartawan dari peranakan Eropa, Cina, dan asli Minahasa,
    seperti F. Wiggers, G. Francis, H. Kommer, Tio Ie Soei, dan F.D.J.
    Pangemanann, merupakan anasir penting dalam sastra Indonesia yang berhasil
    diselamatkan.

    Terbitnya buku *Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia* karya Pramoedya
    Ananta Toer pada 1982 (dan direvisi pada 2003) ini memiliki dua arti
    penting. *Pertama*, ada semacam pengakuan terhadap eksistensi sastra
    Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu pasar. Pram pun telah berjasa
    karena telah menjalin kembali mata rantai sejarah sastra (dan juga
    kebudayaan) yang terputus akibat pemikiran STA.

    *Kedua*, hasil penelusuran semacam itu sekaligus memperlihatkan sebuah babak
    yang unik dalam sejarah sastra Indonesia bahwa politik etis kolonial Belanda
    yang diskriminatif, terlebih di dunia pendidikan, menghasilkan produk yang
    tidak adil bagi bangsa pribumi. Akibatnya, hanya mereka yang boleh mengecap
    pendidikan "Barat" yang memiliki kemampuan berproduksi, yakni kaum peranakan
    dan golongan ningrat.

    Karena itu, hanya kaum terpelajar seperti F.D.J. Pangemanann, sastrawan
    Minahasa yang juga pemimpin redaksi koran berbahasa Melayu, *Djawa
    Tengah*(1913-1938) dan bangsawan Jawa Noto Soeroto yang menghasilkan
    karya sastra
    pada masa maraknya sastra berbahasa Melayu pasar. Noto Soeroto sendiri
    menulis dalam bahasa Belanda, di antaranya *Melatiknoppen* ('Kuntum-kuntum
    Melati') pada 1915 dan * Wayang-liederan* ('Dendang Wayang') pada 1931, yang
    menurut Dick Hartoko berisi potret diri Noto Soeroto yang hidup dalam
    kemiskinan dan teralienasi dari masyarakatnya karena memilih sikap
    kooperatif dengan kolonial Belanda saat itu.

    Sementara itu, karya Taufiq Ismail dkk., *Horison Sastra Indonesia*,
    memiliki arti sekaligus pesan penting bagi pembacanya untuk tidak melupakan
    karya sastra Indonesia "klasik" yang telah ditulis oleh pujangga-pujangga
    zaman dulu, seperti Hamzah Fansuri, Ronggowarsito, Raja Ali Haji, Chik
    Pantee Kulu, Haji Hasan Mustapa, Tan Teng Kie, bahkan karya besar dari
    Bugis, *I La Galigo* (anonim, disusun Arung Pancana Toa).

    Apa yang dilakukan Ibnu Wahyudi dan Taufiq Ismail dkk. sudah memberi
    sumbangan yang sangat berarti bagi pelurusan sejarah sastra Indonesia. Hanya
    saja, perlu dilakukan upaya yang lebih radikal untuk kemajuan sastra
    Indonesia itu sendiri.

    Seperti yang kita ketahui, sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
    pada 1945, manusia yang mendiami wilayah Indonesia sudah memiliki kebudayaan
    masing-masing. Salah satu anasir badaya yang mereka hasilkan adalah karya
    sastra yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah).

    Dalam *Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang* karya P.J. Zoetmulder
    (1983), karya sastra tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno adalah *
    Arjunawiwaha* ('Perkawinan Arjuna') karya Empu Kanwa yang terbit sekitar
    1028-1035 di masa kerajaan Airlangga. Sementara dalam buku *Yang Indah,
    Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7--19* karya Vladimir
    I. Braginsky (1998) disebutkan bahwa pada Zaman Pertengahan,
    sastrawan-sastrawan Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia.

    Dengan tegas Braginsky menyatakan, "Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak
    terkecuali, yang tradisional dan yang modern saling berjalinan dengan erat
    dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin
    menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan
    demikianlah orang bisa menyelami sebab-musabab proses-proses yang kini
    tengah berlangsung di Indonesia… Di dunia Timur, bidang sastra ini juga
    menyimpan hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada
    generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik, dibandingkan dengan
    bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya."

    Datangnya pengaruh Hindu/Buddha, Islam, kemudian pengaruh Barat telah
    memberi warna baru yang memperkaya dan mematangkan kebudayaan Indonesia,
    termasuk di dalamnya khazanah sastra Indonesia. Sebagaimana yang terjadi di
    ranah agama, di ranah sastra pun terjadi "sinkretisme" yang dilakukan
    sastrawan setempat dengan pengaruh luar. Boleh saja Rudyard Kipling
    mengatakan * East is east and west is west and the twin shall never meet*.
    Tapi, bagi manusia Jawa, memadukan dua hal yang bertentangan bukanlah
    sesuatu yang tidak mungkin. Hal ini bisa terlihat dalam kakawin
    *Sutasoma*karya Empu Tantular, misalnya.

    Dari uraian singkat di atas, saya ingin menarik kesimpulan bahwa setidaknya
    ada dua "kiblat" dalam sastra Indonesia, yakni sastra Indonesia yang masih
    memperlihatkan pengaruh Hindu/Buddha yang sangat kuat, yang berpusat di Jawa
    dan sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Islam yang sangat
    kuat, yang berpusat di Sumatera. Kedua "kiblat" itu bisa menjadi runutan dan
    rujukan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia.
    Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian E.U. Kratz pada 1983 yang
    memperlihatkan bahwa sastrawan yang berasal dari Jawa (52,8%) dan Sumatera
    (30,3%) yang kini berperan besar dalam menghidupkan denyut nadi sastra
    Indonesia.*Source URL: https://pokbongkoh.blogspot.com/2010/01/dua-dalam-sastra-indonesia-ada-sebuah.html
    Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection

0 comments:

Post a Comment