FREE DOWNLOAD PICTURE
MORE INFO ABOUT WALLPAPER
Saturday, January 2, 2010

Bahasa dan Sastra Sebagai Identiti Bangsa Dalam Proses Globalisasi

    *Bahasa dan Sastra Sebagai Identiti Bangsa Dalam Proses Globalisasi*

    Pendahuluan

    Kita tengah memasuki abad XXI. Abad ini juga merupakan milenium III
    perhitungan Masehi. Perubahan abad dan perubahan milenium ini diramalkan
    akan membawa perubahan pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan,
    dan struktur kebudayaan dunia.

    Fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah
    terjadinya proses globalisasi. Proses perubahan inilah yang disebut Alvin
    Toffler sebagai gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama
    (agrikultiur) dan gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian
    menyebabkan terjadinya pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang
    bersumber pada tanah, kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya (dalam
    gelombang ketiga) kepada penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan
    tekhnologi).

    Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dipahami untuk
    kemudian diantisipasi dengan arif dan cermat. Oleh rasa takut dan cemas yang
    berlebihan itu, antisipasi yang dilakukan cenderung bersifat defensif
    membangun benteng-benteng pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada
    subjek di dalam proses perubahan.

    Bagaimana dengan bahasa dan sastra? Apakah yang terjadi dengan bahasa dan
    sastra Indonesia di dalam proses globalisasi? Apakah yang harus dilakukan
    dan kebijakan yang bagaiman yang harus diambil dalam hubungan sastra
    Indonesia dalam menghadapi proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas?


    Mitos Tentang Globalisasi

    Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses
    globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus
    identitas dan jati diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh
    kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.

    Anggapan atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan
    teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi
    hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi telah
    membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Akan
    tetapi, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox memperlihatkan hal yang
    justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi,
    misalnya, Naisbitt mengatakan "Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi
    dunia, semakin perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi". Ia
    di dalam bukunya itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang
    paradoks sehubungan dengan masalah ini. "Semakin kita menjadi universal,
    tindakan kita semakin bersifat kesukuan", "berfikir lokal, bersifat global."
    Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa pertama,
    bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih
    giat.

    Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses globalisasi
    tetap menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis (tribe) sebagai
    masalah yang penting yang harus dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain
    Megatrends 2000, Naisbitt juga mengatakan bahwa era yang akan datang adalah
    era kesenian dan era pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk
    bepergian dan menikmati karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang
    akan menjadi perhatian utama dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang
    sebelumnya lebih mendapat tempat.

    "Berpikir lokal, bertindak global", seperti yang dikemukakan Naisbitt itu,
    pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan
    sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang penting di dalam era globalisasi.
    Proses berpikir tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab
    untuk masyarakat (lokal) Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir
    dan kemudian dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan
    karya-karya sastra, yakni karya sastra Indonesia.

    Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia

    Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa
    Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang
    kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah
    menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian
    besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
    pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu
    telah "menggusur" sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia
    yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan
    menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan
    bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru
    yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut
    pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang
    ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi
    bahasa yang modern pula.

    Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan
    banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang
    strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa
    masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai
    Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting
    di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga
    akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa
    Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk
    kawasan Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan.
    Peranan kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan
    ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan
    pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern.
    Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi
    kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra
    tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara.

    Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan
    bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau
    lebih tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam
    sebuah proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel
    Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh
    Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di
    dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu,
    sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh
    yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan
    tertatih-tatih.

    Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah
    sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan
    perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam
    globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah
    bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di
    tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk
    menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat
    dunia (lainnya).

    Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt,
    dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra
    Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.

    Politik Bahasan dan Politik Sastra

    Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya
    paradigma tentang "pembinaan" dan "pengembangan" bahasa. Bahasa Indonesia
    pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi
    bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu
    mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang
    mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan
    oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh
    mekanisme "pasar". Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan "bahasa
    yang baik dan benar". Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus
    ditinggalkan.

    Di dalam kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik sastra. Sastra
    Indonesia harus lebih dimasyarakatkan, tidak saja untuk bangsa Indonesia,
    tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra
    harus dilakukan dalam jumlah yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan
    tinggi semestinya menjadi tempat untuk membaca karya-karya sastra.
    Pengajaran sastra haruslah menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber
    pengajaran.

    Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek
    perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia)
    amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia
    global.

    Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global-tribe
    di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga
    berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu (dan Indonesia) harus siap menerima
    peranan yang demikian. Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik
    di tengah-tengah dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu)
    harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk
    itu, diperlukan suatu politik bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan
    bersifat defensif.
    Oleh:Prof. Dr. Mursai EstenSource URL: https://pokbongkoh.blogspot.com/2010/01/bahasa-dan-sastra-sebagai-identiti.html
    Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection

0 comments:

Post a Comment