FREE DOWNLOAD PICTURE
MORE INFO ABOUT WALLPAPER
Tuesday, October 12, 2010

PENGANTAR MEMAHAMI UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

    PENGANTAR MEMAHAMI

    UNDANG-UNDANG TENTANG

    PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

    Oleh : Prof.Dr. Abdul Gani Abdullah, SH

    1. Pendahuluan

    Pada tanggal 24 Mei2004, Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Pemerintah telah menyetujuibersama Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan menjadi Undang-Undang. Undang-undang tersebut merupakanundang-undang organik, karena melaksanakan secara tegas perintah Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22A yang menyatakan bahwaketentuan mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur denganundang-undang.

    UUD 1945, Pasal20 ayat (5): “ Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersamatersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjakrancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebutsah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

    Dalam halPresiden tidak menandatanganinya sampai dengan batas waktu yang ditetapkanUndang-Undang Dasar 1945, dan Menteri Sekretaris Negara tidak pula menjalankankewajiban konstitusional untuk mengundangkannya dalam Lembaran Negara RepublikIndonesia, telah mendorong timbulnya perbincangan publik yang melahirkanberbagai tanggapan.[1]

    Sebagianberpendapat bahwa berdasarkan konstitusi suatu rancangan undang-undang yangtelah memperoleh persetujuan bersama DPR dan Presiden namun Presiden tidakmenandatanganinya setelah melampaui batas waktu 30 hari, maka rancangantersebut sah menjadi undang-undang, hanya tidak memiliki kekuatan hukummengikat orang banyak (legally binding force) jika belum dimuat dalamLembaran Negara Republik Indonesia dan tidak ada nomornya.[2] Pendapat lain mengatakan bahwa hak veto Presiden berdasarkan konstitusi untuktidak mengesahkan undang-undang berarti Presiden sebagai kepala pemerintahantidak bertanggung jawab terhadap pelaksanaan undang-undang tersebut. Pandanganlain menyebutkan Sekretaris Negara dianggap tidak menjalankan kewajibankonstitusi jika tidak mengundangkan suatu undang-undang yang telah mendapatkanpersetujuan bersama walaupun Presiden tidak menandatangani (mengesahkan)nya.Ada pula pendapat lain yang menganggap undang-undang belum ada, karenapersetujuan bersama DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat(2) UUD 1945 persetujuan tadi oleh Presiden diwujudkan dengan pembubuhan tandatangan Presiden atas undang-undang sebelum dimuat dalam lembaran negara.

    2. PembentukanUndang-Undang dalam Konstitusi

    Sebagai telaahsejarah perundang-undangan (wetshistorie), dapat dikemukakan bahwa sejakproklamasi 17 Agustus 1945, Republik Indonesia telah melewati 4 kali berlakunyaUndang-Undang Dasar, yaitu: (1) Undang-Undang Dasar 1945;[3](2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat[4];(3) Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia;[5]dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diubah(diamendemen) dengan empat kali perubahan.[6]

    UUD 1945(sebelum perubahan) tidak menjelaskan tentang pembentukan undang-undang denganlengkap, melainkan hanya menegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaanmembentuk undang-undang dengan persetujuan DPR[7]Mengenai proses pembentukan undang-undang hanya menyebutkan bahwa rancanganundang-undang yang tidak mendapat persetujuan DPR tidak boleh diajukan lagidalam persidangan berikutnya.[8]Selain itu pada bagian lain, yaitu mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja, UUD 1945 menyatakan bahwa hal itu ditetapkan dengan undang-undang, dan apabilaDPR tidak menyetujui yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah menjalankananggaran tahun yang lalu. (Pasal 23 ayat (1).[9]

    Konstitusi RIS(1950) yang terdiri dari 197 pasal dan UUDS (1950) yang terdiri dari 146 pasalmengatur tentang pembentukan undang-undang. Pasal 127 – Pasal 143 KonstitusiRIS memuat Bagian II tentang “Perundang-undangan” yang mengatur tentangkekuasaan perundang-undangan federal.[10]Bagian II UUDS (1950) yang terdiri dari 146 pasal juga memuat pengaturantentang “Perundang-undangan” (Pasal 89 – Pasal 100).[11]

    UUD 1945mengalami empat kali perubahan fundamental dalam waktu relatif sangat pendek.Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diberi wewenang untuk mengubah danmenetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat (1), sebagai perwujudan keinginanrakyat untuk melakukan reformasi di bidang hukum.

    Perubahan UUD1945 sangat mempengaruhi mekanisme penyelenggaraan negara dan urusanpemerintahan, sehingga berbagai lembaga negara diwajibkan untuk melakukanpembenahan yang menyangkut fungsinya untuk disesuaikan dengan perubahantersebut.

    Berkaitan denganpembentukan undang-undang yang melibatkan fungsi DPR dan Presiden, terdapatberbagai landasan pengaturan baru dalam UUD 1945 (setelah perubahan) antaralain sebagai berikut:

    a. beralihnya kekuasaan membentuk undang-undang dariPresiden kepada DPR (Pasal 20 ayat (1) walaupun setiap rancangan undang-undangdibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat(2);

    b. kewajiban Presiden mengesahkan rancangan undang-undangmenjadi undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.(Pasal 20 ayat (4);

    c. sahnya undang-undang setelah lewat waktu 30 hari sejakpersetujuan bersama atas rancangan undang-undang dalam hal RUU tersebut tidakdisahkan oleh Presiden (Pasal20 ayat 5);

    d. kewajiban mengundangkan undang-undang (Pasal 20 ayat (5).

    e. adanya undang-undang organik yang mengatur tentang tatacara pembentukan undang-undang (Pasal 22A); dan

    f. tugas pengundangan peraturan perundang-undangandiserahkan kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturanperundang-undangan. (Pasal 48).

    3. Undang-undang tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan

    Memenuhi amanatPasal 22A UUD 1945 dan Pasal 6 TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber HukumdanTata Urutan Peraturan Perundang-undangan, DPR bersama dengan Presiden telahmembentuk Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan yang telah mendapat persetujuan bersama pada tanggal 24 Mei2004. Pada dasarnya UU P3 dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang bakumengenai tata cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.[12]

    Substansi UU P3terdiri 13 bab dan 58 pasal disertai penjelasan umum dan pasal perpasal danlampiran yang berisi teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yangdahulunya dimuat dalam Keppres No. 44/1999 setelah diadakan modifikasi danpenyempurnaan.

    Secara umumdapat dikatakan bahwa UU P3 memuat ketentuan mengenai asas peraturanperundang-undangan (asas pembentukan, materi muatan, jenis dan hierarki ),materi muatan, pembentukan peraturan perundang-undangan, pembahasan danpengesahan, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, pengundangan danpenyebarluasan, dan partisipasi masyarakat dalam penyiapan atau pembahasanrancangan undang-undangan rancangan peraturan daerah.

    UU P3meningkatkan status berbagai pengaturan yang terdapat dalam Keputusan PresidenNomor 188 tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang,dan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan PeraturanPerundang-undangan (dimuat dalam lampiran UU P3), dan Keputusan Menteri DalamNegeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 mengenai mekanisme penyusunanrancangan peraturan perundang-undangan di daerah dan berbagai produk lain yangpernah ada yang sifatnya mengatur tentang teknik penyusunan peraturanperundang-undangan. Ini berarti bahwa sudah ada undang-undang yang mengaturtentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dan berdasarkan Pasal 54 UUP3, semua teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang pernah ada harusberpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam UU P3.

    UU P3 mengikatPemerintah, Pemerintah Daerah, DPR, MPR, Mahkamah Agung, BPK, Bank Indonesia,Mahkamah Konstitusi, menteri, kepala badan, lembaga dan komisi yang setingkatdan yang lainnya dalam tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan untukmenaatinya. Ketentuan UU P3 yang mengatur tentang asas, jenis dan hierarki,materi muatan, pembentukan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan danpenyebarluasan peraturan perundang-undangan menjadi landasan bagi kebijakanunifikasi pembentukan peraturan perundang-undangan di seluruh Indonesia,sehingga proses penyusunan dan pembahasan RUU dan Raperda makin lebih sederhanakarena sudah ada pedoman mengenai proses dan teknik yang harus ditaati.

    4. Asas, Jenis, danMateri

    Ada 7 “asaspembentukan peraturan perundang-undangan” yang dicantumkan dalam dalam Pasal 5huruf a s/d g. Di samping itu ada 10 “asas materi muatan peraturanperundang-undangan” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a s/d j. Asas pembentukanperturan perundang-undangan lahir dari asas negara berdasar hukum,[13]yang berarti suatu penetapan penggunaaan kekuasaan yang secara formal dibatasidalam dan berdasarkan UUD 1945, yang kemudian ditegaskan kembali di bidangpembentukan peraturan perundang-undangan.[14]Asas P3 dibedakan pada asas formal dan asas material. 7 Asas tersebut diseleksidari berbagai asas yang dikembangkan oleh para ahli perundang-undangan dandisesuaikan dengan P3 di negara kita. Menurut Hamid Attamimi, asas formaladalah tentang “bagaimananya” (het ‘hoe’) suatu peraturan, dan asasmaterial yang berhubungan dengan ‘apanya’ (het ‘wat’) suatu peraturan.[15]

    Van der Vliesmembahas asas P3 dan menyebutnya sebagai “beginselen van behooorlijkeregelgeving” (asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yangbaik). Asas berkaitan dengan norma yang harus terwujud dalam perbuatanpemerintahan dan yang dapat dipaksakan berlakunya oleh hakim. Misalnya asastentang perlakuan yang sama terhadap semua warganegara (gelijkheidsbeginsel).[16]

    Dikaitkan denganhukum administrasi, asas P3 dibedakan pada asas yang berkaitan dengan:

    a. proses persiapan dan pembentukan keputusan (hetprocess van voorbereiding en besluitvorming);

    b. asas yang berkaitan dengan motivasi dan pembentukankeputusan (de motivering en inrichting van het besluitvorming); dan

    c. asas isi keputusan (de inhoud van het besluit).

    Ketiga asas diatas lebih dititiberatkan pada asas formal P3 yang dapat dirumuskan lagisebagai berikut:

    a. asas terwujudnya suatu peraturan (de totstandkomingvan een regel);

    b. asas sistematika dan pengundangan (pengumuman) suatuperaturan (de systematiek en bekendmaking van een regel);

    c. asas kemendesakan dan tujuan dari peraturan (denoodzaak en de doelstelling van een regel); dan

    d. asas isi (muatan) suatu peraturan (de inhoud van eenregel).[17]

    Tidak dicantumkannyaasas alasan (motivasi) pembentukan peraturan perundang-undangan secaraeksplisit dalam UUP mungkin dimaksudkan karena asas tersebut sudah inklusifdalam asas tentang kejelasan tujuan dalam Pasal 5 huruf a yang dalampenjelasannya disebutkan bahwa setiap P3 harus mempunyai tujuan yang jelas yanghendak dicapai. Asas motivasi lebih mencerminkan tentang kehendak yangsebenarnya dari P3 yang sangat mungkin ditumpangi atau disusupi olehkepentingan kelompok tertentu atau berlatar belakang KKN seperti yang banyakdisinyalir akhir-akhir ini.

    Dalam UU P3,apakah asas undang-undang harus tercantum secara eksplisit dalam batang tubuh?Pembentuk undang-undang mungkin memerlukan pencantuman asas, dan jika demikianasas dapat dimasukkan dalam bab “ketentuan” umum dan bukan dalam tersendiri.Namun ketentuan umum sebaiknya hanya “mencerminkan “ asas, maksud dan tujuan.[18]

    UU P3 telahmenyelesaikan perbincangan sekitar masalah jenis peraturan perundang-undangansecara cukup memuaskan. Selama ini masih dipersoalkan tentang kedudukan“keputusan menteri” yang secara eksplisit tidak tercantum sebagai jenisperaturan perundang-undangan menurut TAP MPR No. III Tahun 2000 tentang SumberTertib Hukum. Jenis Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3ditetapkan 5 jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang tidakdicantumkan “peraturan menteri” di dalamnya. Namun dalam Pasal 7 ayat (4)dinyatakan:

    “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud padaayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjangdiperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”

    Penjelasan ayat 4) menyebutkan secara luas tentang jenis peraturanperundang-undangan, sehingga meliputi semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkanoleh MPR, DPR, DPRD, MA, MK, BPK, BI, Menteri, kepala badan, lembaga, ataukomisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau Pemerintah atasperintah undang-undang, DPRD, Gubernur, BupatiWalikota, Kepala Desa atau yangsetingkat.

    Dengan demikian, selain UUD, UU/Perpu, PP, Peraturan Presiden, dan Perda,terdapat banyak jenis peraturan perundang-undangan yang lain dengan kualifikasisebagai berikut:

    a. diakuikeberadaannya;

    b. mempunyaikekuatan hukum mengikat;

    c. dibentukatas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ; dan

    d. dibentukoleh badan yang diberi kewenangan.

    Dalamjenis dan hierarki tersebut terdapat instrumen hukum yang disebut “peraturanpresiden” (yang digunakan dalam masa orde lama) pengganti dari “keputusanpresiden” yang bersifat mengatur. Penggantian instrumen hukum tersebut tentudimaksudkan untuk menyederhanakan penyebutan jenis peraturan perundang-undangandan untuk menghindari peran ganda keputusan presiden, baik yang bersifatmengatur (regeling) maupun yang bersifat penetapan (beschikking).Disadari bahwa penggantian itu dikritik oleh sejumlah ahli perundang-undangankarena pengaturan yang lama (keputusan presiden yang bersifat mengatur) masihcukup valid.[19]

    UUP3 memberikan pedoman pasti tentang materi muatan bagi Undang-Undang, PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, Peraturan Desa/yang setingkat, dan materi muatan ketentuanpidana. Hal ini perlu dipertimbangkan dengan teliti oleh pembentuk rancanganundang-undang. Khusus untuk materi Peraturan Presiden, disebutkan bahwa materiPeraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang ataumateri untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Sepintas lalu terlihat bahwa PeraturanPresiden tidak bersumber dari Pasal 4 ayat (1) yaitu peraturan yang dikeluarkanPresiden untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar,melainkan adalah materi muatan delegasian dari Undang-Undang atau materimelaksanakan Peraturan Pemerintah. Jika demikian, pemikiran mengenai materimuatan Peraturan Presiden memang berbeda dengan paradigma konsepsionalKeputusan Presiden yang bersumber dari Pasal 4 ayat (1).[20]Jika demikian, bagaimana penjabaran kekuasaan pengaturan oleh Presidenberdasarkan Pasal 4 ayat (1)?[21]

    5. Pengharmonisasian,Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi RUU

    SubstansiPasal 18 ayat (2) tentang pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsiRUU mirip dengan substansi Keppres No. 188/1998. Tugas koordinasi masih tetapdibebankan kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturanperundang-undangan.

    Pasal18 mengandung konsekuensi bahwa rancangan undang-undang harus melewatimekanisme tertentu, yaitu pembahasan bersama Panitia Antar Departemen (PAD)agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan dalam sebuah RUU. Menteri dibidang perundang-undangan diserahi tugas koordinasi sesuai dengan tugas pokokdan fungsinya sebagai pembantu Presiden dalam penyelenggaraan urusanpemerintahan di bidang hukum pembinaan hukum nasional.

    Bagaimanajika instansi pemerintah yang memprakarsai RUU tidak menempuh prosedurtersebut? Bagaimana pula dengan prosedur yang harus ditempuh dalam rangkamempersiapkan rancangan peraturan daerah? Memang tidak ada pengaturan yangtegas memberikan semacam sanksi. Sebab hal itu sepenuhnya tergantung kepadakewenangan Presiden, apakah masih akan menerima sebuah rancangan undang-undangyang akan disampaikan kepada DPR tanpa memenuhi ketentuan Pasal 18 ataumenolaknya?

    Menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non-departemen yang berfungsisebgai pembantu Presiden seharusnya menyadari bahwa kewajiban Pasal 18dimaksudkan sebagai upaya pengawasan bersama oleh Panitia Antar Departemen yangbersifat mencegah terhadap kemungkinan sebuah rancangan mengandung cacathukum(preventief toezicht), yang tidak terlihat dengan jeli olehdepartemen pemrakarsa. UUD 1945 memang memberikan peluang bahwa rancangan yangtidak disetujui oleh Panitia Antar Departemen dapat diteruskan ke DPR sebagaiusul hak inisiatif, namun produk awal (initial draft) yang dikirimkantersebut mungkin akan mengandung berbagai norma yang berbenturan denganperaturan perundang-undangan dari departemen lain (conflicting norms),sehingga akan menyulitkan Presiden atau menteri yang bersangkutan dalampelaksanaannya. Sangat terbuka kemungkinan bagi para pihak yang merasadirugikan untuk mengajukan gugatan terhadap sebuah undang-undang yang“bermasalah” (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi, seperti yangbanyak terjadi akhir-akhir ini.

    6. Pengesahan,Pengundangan dan Penyebarluasan

    Pasal 37 s/d Pasal 39 memberi dua kemungkinan tentangpengesahan, yaitu

    (1) pengesahan dengan pembubuhan tanda tangan oleh Presiden terhadaprancangan undang-undang yang disampaikan oleh DPR; atau

    (2) pengesahan tanpa pembubuhan tanda tangan oleh Presiden, jikatelah melewati waktu paling lambat 30 hari sejak rancangan undang-undangdisetujui bersama.

    Untuk kasus kedua tanda pengesahan berbunyi: “Undang-Undang inidinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945.”

    UU P3 tidak menjelaskan tentang langkah-langkah yang seyogyanyadilakukan Presiden dalam hal dia tidak setuju atau menolak sebuah rancanganundang-undang yang telah disetujui bersama. Sebagai perbandingan dalam mekanisperundang-undangan menurut Konstitusi RIS (Pasal 138) dan UUDS, walaupun dalamsistem pemerintahan yang berbeda, Presiden berkewajiban memberitahukan kepadaDPR jika dia merasa masih ada keberatan terhadap rancangan undang-undang yangdisampaikan oleh DPR.

    Pengundangan (bekendmaking) peraturan perundang-undangandilakukan dengan menempatkan peraturan perundang-undangan pada: Lembaran NegaraRI, Berita Negara RI, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. (Pasal 45). Pengundanganperaturan perundang-undangan yang ditempatkan dalam Lembaran Negara atau dalamBerita Negara dilakukan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidangperundang-undangan. (Pasal 48)

    Ketentuan mengenai pengundangan tidak secara tegas menyebutkan statusTambahan Lembaran Negara yang selama ini berlaku sebagai tempat pengundanganbagi penjelasan peraturan perundang-undangan. Apakah ini berarti bahwa untukmasa akan datang tidak dikenal lagi Tambahan Lembaran Negara?

    Penyebarluasan (afkondiging) peraturan perundang-undangan yangdiundangkan dalam Lembaran Negara dan Berita Negara dibebankan kepadaPemerintah, sedangkan penyebarluasan Peraturan Daerah dan peraturan di bawahnyayang dimuat dalam Berita Daerah dibebankan kepada Pemerintah Daerah.

    Fungsi penyebarluasan sebenarnya tidak termasuk dalam prosespembentukan peraturan perundang-undangan, walaupun terkait dengan teori fictieleer yang masih dianut dalam frasa penutup sebuah undang-undang “agar setiaporang mengetahuinya”, karena pada umumnya masyarakat mengetahui adanyaundang-undang bukan dari Lembaran Negara atau Lembaran Daerah melainkan daripemberitaan mass-media atau publikasi khusus perundang-undangan.

    7. Penutupdan Saran

    UUP3 merupakan master piece di bidang perundang-undangan dan diharapkansebagai handboek wetgeving bagi para perancang peraturanperundang-undangan. Tentu terdapat beberapa titik kelemahan dalam UU P3 yangmungkin akan menimbulkan perbedaan tafsir di kalangan penggunanya. Berbagaipermasalahan yang muncul dalam rangka pemahaman UU P3 seperti diuraikan dalammakalah ini sama sekali bukan merupakan alasan untuk tidak menaati ketentuanyang terdapat di dalamnya. Justeru berbagai titik-titik lemah itu membukapeluang bagi para analis ilmu perundang-undangan untuk melahirkan berbagaikarya akademis guna menggantikan berbagai tulisan sebelumnya.

    UUP3 melahirkan berbagai paradigma konsepsional baru yang harus dijelaskan kepadamasyarakat luas, dan untuk itu memerlukan masa transisi yang cukup lama.Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (atau nama lain dalam kabinet baru)dibebankan tugas yang cukup berat. Tidak hanya tugas mensosialisasikan UU P3melainkan juga kewajiban mempersiapkan berbagai infrastruktur dan sarana yangdiperlukan untuk menunjang pelaksanaannya.



    [1]UUD 1945, Pasal 20 ayat (5): “ Dalam hal rancangan undang-undang yang telahdisetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluhhari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancanganundang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.Presiden pada beberapa tahun lalu “mengembalikan” RUU tentang Penyiaran yangtelah disetujui DPR, karena terdapat beberapa substansi yang tidak sesuaidengan kebijakan Presiden. Pengembalian ini dianggap sebagai sikap menolakmengesahkan RUU yang menyebabkan MPR mengubah dan menambah ketentuan baru dalamPasal 20 ayat (5) yang mewajibkan Presiden mengesahkan RUU.

    [2]Pemberitaan di sebuah koran ibukota beberapa waktu lalu mengutip pernyataanseorang anggota DPR bahwa RUU P3 telah menjadi UU No. 10 Tahun 2004 tentang P3,namun setelah dikonfirmasi ke Sekretariat Kabinet, tidak ada penegasan tentangkebenaran berita tersebut.

    [3]Dimuat dalam Berita Republik Indonesia, II, t, hal. 45 – 48, dan Penjelasanhal. 51 – 56.

    [4]Lihat Keputusan Presiden RIS 31 Januari 1950 Nr. 48; LN 50 – 3, d.u. 6Pebruari 1950.

    [5]Lihat Undang-undang 15 Agustus 1950 No. 7; LN 50 – 56, d.u. 15 Agustus 1950,Penjelasan dalam TLN 37.

    [6]Perubahan pertama pada tanggal 19 Oktober 1999; perubahan kedua tanggal 18Agustus 2000; perubahan ketiga 10 November 2001; dan perubahan keempat 10Agustus 2002.

    [7]Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1)

    [8]Pasal 20 ayat (2)

    [9]Menurut Hamid At Tamimi, mempersamakan Undang-undang yang lahir dari Pasal 5ayat (1) UUD 1945) dengan Undang-undang yang lahir dari Pasal 23 ayat (1) UUD1945 tidak tepat sama sekali. UUD 1945 dan penjelasannya dengan sengajamembedakan secara terpisah antara Presiden harus mendapat persetujuan DPR untukmembentuk Undang-Undang (Gesetzgebung) dan Presiden harus mendapatpersetujuan DPR untuk menetapkan angaran Pendapatan dan Belanja Negara (Staatsbegroting).Menurut Hamid, Undang-undang yang lahir dari Gesetzgebung selalumengandung ketentuan-ketentuan yang “regelgevend” atau mengatursedangkan Undang-undang yang lahir dari “Staatsbegroting” tidak“regelgevend atau tidak mengatur, dalam hal APBN hanyalah “consent”DPR. (lihat Hamid Attamimi, Beberapa Catatan untuk Sdr. Yusuf Indradewa,S.H. Sehubungan dengan Tulisan Sanggahannya dalam Majalah Hukum dan PembangunanNo. 5 Tahun XI September 1981, dalam Arifin P. Soeria Atmadja, KapitaSelekta Keuangan Negara(Universitas Tarumanagara, UPT Penerbitan, 1996), 71.)

    [10]Di antara yang menarik dari Konstitusi RIS adalah ketentuan Pasal 127 yangmenganut politik hukum konstitusi dengan membagi kekuasaanperundang-undangan federal menjadi dua bagian, yaitu kekuasaan yang dipegangoleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat jika berkaitan denganpengaturan mengenai daerah bagian atau perhubungan antara RIS dengandaerah-daerah tersebut, dan kekuasaan yang dipegang oleh Pemerintahbersama-sama dengan DPR dalam seluruh lapangan pengaturan selebihnya. JadiKonstitusi RIS menekankan “kekuasaan bersama” (joint authority) yangbersifat berimbang antara Presiden dan DPR. Ini berbeda dengan UUD 1945(sebelum perubahan) yang menerapkan politik hukum dengan konsentrase kekuasaan(concentrated authority) dengan menegaskan “Presiden sebagai pemegangkekuasaan membentuk undang-undang” dengan persetujuan DPR (Pasal 5 ayat (1). UUD 1945 (setelah perubahan) diubah secara dramatis yaitu Dewan PerwakilanRakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (1) dankewajiban suatu rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untukmendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2). Demikian pula pengaturan Pasal138 ayat (2) yang menyatakan bahwa Pemerintah harus mensahkan usulundang-undang yang sudah diterima, kecuali jika Pemerintah dalam satu bulansesudah usul itu disampaikan kepadanya untuk disahkan menyatakan keberatannyayang tak dapat dihindarkan. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa pensahan olehPemerintah ataupun keberatan Pemerintah diberitahukan kepada DPR dan kepadaSenat dengan amanat Presiden. Ini lebih jelas dibanding dengan perubahan UUD1945 Pasal 20 ayat (5) yang seolah-olah “membiarkan” masalah keberatan Presidentidak mensahkan undang-undang tanpa ada kewajiban memberitahukan kepada DPRtentang hal itu. Sekretaris Negara tentu mengalami hal dilematis. Di satupihak, sebagai “pembantu Presiden” (Pasal 17 ayat (1) dia harus bekerja atasdasar perintah Presiden (hubungan mandatoris), sedangkan di pihak lain diawajib menjalankan perintah UUD 1945 untuk “mengundangkan” UU dalam LembaranNegara walaupun Presiden tidak mensahkannya (Pasal 20 ayat (5).

    [11]Seperti juga pada Konstitusi RIS, dalam UUDS juga ditegaskan bahwa kekuasaanperundang-undangan “dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR. (Pasal89). Demikian pula tentang kewajiban Pemerintah memberitahukan kepada DPR,dengan amanat Presiden, jika Pemerintah menyatakan “keberatan yang tak dapatdihindarkan” untuk mengesahkan usul undang-undang. (Pasal 94 ayat (2) dan ayat(3).

    [12]Penjelasan Umum Alinea 6 UU P3.

    [13]Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: “Negara ndonesia adalah negara hukum.

    [14]Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI dalam PenyelenggaraanPemerintahan Negara, (disertasi Fakultas Pascasarjana UI, 1990), hal. 334 –335.

    [15]Ibid, hal. 335 – 336.

    [16]Van der Vlies, Handboek Wetgeving, (Zwolle: Tjeenk Willink, 1987), hal.175. Bandingkan dengan UU P3, Pasal 6 ayat (1) huruf h “kesamaan kedudukandalam hukum dan pemerintahan”.

    [17]Van der Vlies, Op cit, hal. 181

    [18]Lihat Lampiran UU P3 C1 Ketentuan Umum angka 74 huruf c.

    [19]Hamid Attamimi menguraikan secara luas luas tentang “peranan keputusanpresiden” dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemikiran untuk mempertahankankeputusan presiden yang bersifat mengatur bertitik tolak dari pemahaman UUD1945 (sebelum perubahan) tentang kekuasaan pengaturan oleh Presiden berdasarkanPasal 5 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 4 ayat 1),Hamid membedakan kekuasaan pengaturan presiden pada: (1) kekuasaan legislatifoleh Presiden dengan persetujuan DPR; (2) kekuasaan reglementer yang dijalankanPresiden tanpa persetujuan DPR; dan (3) kekuasaan eksekutif Presiden yangmengandung kekuasaan pengaturan. Dengan mengutip berbagai teori yang ada, dapatdipahami bahwa pemerintahan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) mengandung arti formalyaitu mengandung kekuasaan mengatur (verordenungsgewalt) danpemerintahan dalam arti material yang berisi dua unsur yang terkait menjadistu, yaitu unsur memerintah dan unsur melaksanakan (das Element derRegierung und der vollziehung). Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang tidak mengalamiperubahan mengatakan dengan jelas bahwa Presiden memegang kekuasaanpemerintahan “menurut Undang-Undang Dasar. Kekuasaan pemerintahan mengandungkekuasaan “memutuskan” (beslissende bevoegdheid) dan kekuasaan mengatur(regelende bevoegdheid) Di zaman Orde Lama, peraturan presiden dapatdijadikan lembaga pengaturan yang bersumber kepada kewenangan Presiden selakupenyelenggara tertinggi pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 namundapat pula bersumber pada penetapan presiden (PENPRES) yang digunakan sebagaiperaturan pelaksanannya. Perpres adakalanya memuat ketentuan pidana (PerpresNo. 14 tahun 1964) yang pada hakekatnya adalah ketentuan bagi tindakanadministratif, dan diundangkan dalam lembaran negara agar setiap orangmengetahuinya. Hamid menyebutkan tiga keuntungan memakai nama Perpres yaitulebih mudah disebut, langsung menunjuk kepada peraturan, dan diundnagkan dalamlembaran negara. Sedangkan unsur negatifnya, Perpres berkedudukan lebih tinggidari keputusan presiden lainnya, dapat bersumber pada penetapan presiden yangtidak mempunyai dasar dalam UUD 1945, dan memasuki materi muatan peraturanperundang-undangan yang lebih tinggi seperti materi muatan undang-undang. Unsurpositif keputusan presiden adalah berfungsi pengaturan yang mandiri mandiri berpegang kepada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. (lihat Hamid Attamimi, Op cit, hal.75– 276).

    [20]Menurut Hamid, paradigma konsepsional tentang keputusan presiden yang berfungsipengaturan yang mandiri adalah: (a) dari segi kewenangan membentuknya,didasarkan pada kekuasaan pemerintahan dimaksud Pasal 4 ayat (1); (b) dari segisifat normanya melakukan pengaturan yang berlaku ke luar dan berlaku umum dalamarti luas; (c) dari segi materi muatannya mengandung materi muatan yang mandiri(bukan materi muatan delegasian UU melalui PP); dan (d) dari segi kepentinganmasyarakat hukum, perlu diketahui secara luas oleh rakyat atau masyarakat hukumyang bersangkutan. (lihat Hamid Attamimi, Op cit, hal. 272 – 273)

    [21]Dalam penjelasan UUD 1945 yang lama, Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan telahdihapus dari UUD 1945 (setelah perubahan), Presiden ialah kepala kekuasaaneksekutif dalam negara. Untuk menjalankan undang-undang, ia mempunyai kekuasaanuntuk menetapkan peraturan pemerintah. (pouvoir reglementaire). HamidAttamimi mengartikan bahwa di dalam kekuasaan eksekutif terdapat kekuasaanpengaturan, yaitu pengaturan dengan Keputusan Presiden. (Hamid Attamimi, Opcit, hal. 144).

    Source URL: http://pokbongkoh.blogspot.com/2010/10/pengantar-memahami-undang-undang.html
    Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection

0 comments:

Post a Comment