FREE DOWNLOAD PICTURE
MORE INFO ABOUT WALLPAPER
Saturday, January 2, 2010

Adakah Krisis Moralitas dalam Kesusastraan Indonesia?

    * Adakah Krisis Moralitas dalam Kesusastraan Indonesia? *

    SELAIN bahasa yang sering disebut-sebut sebagai salah satu biang yang
    mengakibatkan krisis sastra masa kini di Indonesia, moralitas juga sekarang
    menjadi fokus para penulis senior ataupun para akademisi. Saya merasa sangat
    terusik untuk membahas soal krisis moral dalam sastra Indonesia yang konon
    oleh beberapa penulis senior ibarat tubuh yang sudah kehilangan kepala. Yang
    dimaksud penulis-penulis ini tentu saja adalah sastra modern seakan-akan
    sangat terjerumus dalam persoalan eros dan erotisisme ketimbang moralitas.

    Pergunjingan soal moralitas muncul dalam kesusastraan dan kebudayaan pada
    awal agama mulai tersebar luas dalam peradaban. Sebelumnya moralitas dalam
    karya-karya drama ataupun mitos Yunani terasa sangat terbuka dan sifatnya
    tidak mengkhotbah, tetapi lebih sering merupakan sebuah ungkapan dari
    kehidupan, atau lebih tepatnya seperti disebut oleh Nietzsche, The Gay
    Science, yang intinya adalah bahwa moralitas pun merupakan suatu aspek
    ringan atau komedi dalam kehidupan kita. Moralitas menjadi momok yang sering
    dipergunakan oleh para wali keagamaan untuk menindas para pemikir dan
    pekerja kesenian selama berabad-abad. Walaupun demikian, dari masa ke masa,
    dari peralihan zaman pencerahan hingga ke era Victoria hingga masa kini,
    moralitas tidak hentinya digempur oleh para penulis dan seniman di mana pun.

    Adalah suatu pemikiran yang sangat kolot dan antimodernisme untuk meneropong
    sastra Indonesia saat ini bagaikan seorang moralis yang merasa jijik melihat
    kenyataan bahwa dunia yang bajik dan sangat sempurna yang dihuni mereka
    sudah berubah begitu dahsyatnya. Keberatan mereka seharusnya ditujukan pada
    persoalan kehidupan masa kini yang memang sejak perang dunia kedua telah
    usang, daripada menekan para penulis sastra masa kini yang ingin membawakan
    berbagai kompleksitas kehidupan masa kini dalam karya-karya mereka.
    Keberanian dari para penulis ini, menurut saya patut kita puji, karena
    penulis-penulis ini telah beranjak jauh dari zaman di mana sastra masih
    ditindas oleh kekangan masyarakat ataupun agama, seperti pada masa Flaubert,
    yang karyanya Madame Bovary dihujat sebagai amoral, dan zaman DH Lawrence,
    yang karyanya Lady Chatterly's Lover dianggap mesum, dan James Joyce dengan
    karyanya Ulysses yang terpaksa harus diterbitkan di Perancis, karena
    dianggap porno! Tetapi sebelum para penulis berani ini, mereka sudah punya
    kolega yang tidak kalah beraninya: Daniel Dafoe di abad ke-18, dengan karya
    yang berani Moll Flanders tentang pelacuran, di abad ke-16, Rabelais dengan
    karya Gargantua and Pantagruel yang heboh karena keberaniannya mencatat
    kebobrokan manusia dalam detail-detail yang berani, dan Chaucer, di abad
    ke-14 bahkan sebelum Shakespeare, dengan karyanya Canterbury's Tales,
    melukiskan keanekaragaman karakter manusia dari yang munafik hingga yang
    seronok.

    Di masanya, penulis-penulis ini dianggap sangat kontroversial dan sering
    ditindas oleh para wali agama ataupun penguasa, tetapi hari ini mereka kita
    anggap sebagai pahlawan-pahlawan sastra yang karyanya dipelajari oleh
    siswa-siswa di sekolah di segala penjuru dunia.

    Penafsiran pada suatu karya sastra menurut saya menjadi problematika kalau
    tolok ukurnya adalah moralitas. Penulis sastra tidak bertanggung jawab pada
    suatu masyarakat ataupun pembaca akan keabsahan moralitas mereka dalam
    karya-karya yang ditampilkannya. Seorang seniman menciptakan sebuah karya
    tidak berdasarkan suatu konsensus massa ataupun masa, tujuan akhir dari
    sebuah karya bukanlah betapa tingginya nilai moralitas yang dicapai tetapi
    seberapa jauhnya estetika ataupun moralitas yang dianut sekelompok
    masyarakat dapat digeserkan. Karena melalui tiap pergeseran ini, yang
    sebenarnya juga merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri, maka
    terciptalah karya-karya terobosan besar. Persoalan menjadi semakin runyam
    ketika penulis-penulis yang berani menulis karya-karya yang berani dikaitkan
    dengan kebobrokan pribadi mereka. Atau mereka dianggap pengaruh negatif yang
    merusak serat moralitas masyarakat.

    Di sini letak kemunafikan suatu komunitas. Karena di satu sisi para seniman
    diminta untuk melakukan terobosan dengan berani dalam karya-karya mereka, di
    sisi lain mereka juga diberikan batas-batas kelayakan yang dianggap
    merupakan konsensus umum yang perlu dipertahankan. Alasan mereka selalu
    adalah bila tidak pilar-pilar kesusilaan sipil akan roboh. Apakah kehebatan
    suatu masyarakat dan kemandiriannya bisa dirobohkan oleh karya-karya seni?
    Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana suatu karya seni bisa melakukan
    terobosan dengan batas-batas seperti ditetapkan oleh para petinggi moralitas
    itu? Saya kira pertanyaan balasan yang tepat adalah kenapa pula kita perlu
    takut dengan karya-karya berani ini? Kalau kita tidak ingin anak-anak kita
    membaca karya-karya tertentu, atau pemikiran kita bahwa mereka masih belum
    siap membaca karya-karya tertentu, kita bisa melarang mereka untuk tidak
    membaca karya-karya itu. Jadi batas-batas kelayakan pada karya sastra tidak
    perlu kita pergunjingkan sebagai persoalan publik tetapi membataskannya
    menjadi suatu persoalan individu. Seperti juga bagaimana kita menyambut
    dengan gembira buku-buku berbobot moralitas tinggi, kita seharusnya juga
    bisa menyambut dengan toleransi yang tinggi buku-buku yang berani menerobos
    'batas-batas' kelayakan itu. Keberatan kita dan ketakutan kita menerima
    karya-karya tersebut hanya mencerminkan keangkuhan supremasi moralitas kita
    atau memberikan kesan seakan batas zona keamanan pribadi sedang terancam.

    Di sini kita perlu bedakan antara erotisisme dan pornografi, karena kedua
    hal sering disalahtafsirkan, atau menjadi tercampuraduk dalam pembahasan
    soal kelayakan dalam satu karya seni. Eros dan erotisisme oleh Octavio Paz
    digambarkan sebagai kecenderungan yang normal bagi manusia yang punya
    imajinasi dan budi pekerti. Berbeda dengan hewan yang dalam tindakan
    seksualnya hanya untuk mereproduksi, menurut Octavio Paz, manusia mempunyai
    kapasitas untuk merasakan kenikmatan dan punya daya imajinasi yang tinggi
    untuk menambah nilai kenikmatan itu dalam hubungan seksual. Dengan demikian,
    erotisisme adalah bagian yang wajar dari fakultas manusiawi, sedangkan
    pornografi adalah suatu penghasutan indera yang tidak mempunyai nilai
    imajinasi. Repetisi imaji yang ditampilkan untuk menggugah berahi terlihat
    jelas sangat mekanis dan tidak mempunyai nilai-nilai estetika ataupun tujuan
    lain selain menggugah insting-insting purba dalam diri kita.

    Berbicara tentang estetika dan etika, perlu juga kita bahas apakah sebuah
    karya perlu ada sebuah tujuan etika yang konkret. Perlukah sebuah karya
    punya misi moralitas? Inilah antara lain hal yang sering dipersoalkan dalam
    pembahasan krisis moral dalam kesusastraan kita. Persoalan ini menurut saya
    akan sangat sulit diselesaikan karena kalau kita serapkan apa yang ditulis
    oleh Nietzsche dalam karyanya The Genealogy of Morals, maka sangat jelas
    sekali bahwa seharusnya kita menanggapi pergeseran moralitas dalam karya
    seni dengan keringanan jiwa. Karena persoalan moralitas akan sangat relatif.
    Bagaimana seseorang mengukur batas-batas etika yang seharusnya ataupun
    seharusnya tidak dilanggar dalam sebuah karya? Apakah karya-karya seni harus
    merujuk pada suatu pakam moralitas suatu kepercayaan ataupun suatu konsensus
    massa? Bila demikian halnya, saya kira karya-karya yang diciptakan tidak
    lagi bisa dikategorikan sebagai karya seni, tetapi lebih mendekati
    karya-karya hymna bagi suatu kepercayaan.

    Tuntutan pada seorang seniman menjadi seorang panutan moralitas tinggi
    menurut saya adalah penafsiran yang salah pada fungsi seorang seniman.
    Penafsiran ini seakan menempatkan seorang seniman pada posisi seorang
    pengkhotbah ataupun seorang wali terhormat dari suatu masyarakat. Pemikiran
    demikian sangat bertolak belakang dengan kenyataan posisi seorang seniman.
    Seniman di bidang mana pun senantiasa akan tetap merupakan manusia marjinal.
    Posisi mereka, bila bukan karena dalam realitas mereka memang terpojok ke
    pinggiran kehidupan, adalah pilihan mereka sendiri dalam menempatkan diri di
    pinggiran sehingga mereka dapat menyaksikan ataupun meneropong dunia dari
    dekat, yang kemudian, melalui kepedihan hasil pergelutan kehidupan mereka
    dengan dunia ataupun kejeliannya dalam mengupas kehidupan di hadapan mata
    mereka, akan menjelma menjadi keoriginalitas karya-karya seniman itu.

    Lihat dalam sejarah kesusastraan dunia dan Anda akan menemukan nama-nama
    besar seperti Rimbaud, penyair muda yang berhenti menulis syair pada saat
    dia berumur 20 tahun, yang mempunyai metode khusus mengakses keaslian
    jiwanya dengan membius otaknya dengan rangsangan alkohol dalam kuantitas
    yang tinggi. Pelbagai penggunaan obat terlarang juga dilakukan oleh
    penulis-penulis besar, seperti dengan opium oleh Graham Greene, LSD oleh
    semua penulis generasi Beatnik dari Allen Ginsberg hingga Jack Keruac, dan
    di era 80-an, kokain oleh Jay McInnerny, dan alkohol, pilihan Bacchus
    favorit rata-rata semua penulis, dari William Faulkner hingga Dylan Thomas.
    Mereka ini manusia besar dalam kesusastraan yang gagal dalam ketertiban
    kehidupan sehari-hari. Mereka jauh dari manusia sempurna yang didambakan
    banyak orang. Karya-karya mereka diciptakan juga bukan untuk diukur dari
    segi bobot moralitas pribadi mereka, tetapi dari kedalaman jiwa mereka yang
    lahir dari pergesekan mereka dengan dunia.

    Sampai di sini, saya mendengar keluhan sang moralis yang menanyakan, "Jadi
    apa fungsi sastra sebenarnya?" Sastra menurut saya adalah muntahan balik
    dari seorang penulis kepada masyarakatnya. Keberaniannya dan ketulusannya
    dalam berkarya adalah keoriginalitas suaranya. Perkembangan sastra sudah
    lama bergeser dari karya-karya sastra yang gentil. Karya-karya penuh bobot
    moralitas Jane Austen hingga Nathaniel Hawthorn sudah tergeser oleh
    karya-karya pembangkang seperti Flaubert, James Joyce, DH Lawrence,
    Baudelaire, dan pada era modern oleh hampir semua penulis berani dari Jean
    Genet, Allen Ginsberg, Bukowski, John Fante hingga oleh pemenang Nobel tahun
    2004 Elfriede Jelinek. Hampir semua tabu dalam kehidupan sudah dilabrak oleh
    penulis-penulis ini. Adalah sangat egois bagi para petinggi moralitas di
    negara kita menuntut bahwa penulis-penulis kita kembali ke zaman abad
    pertengahan dan mengabadikan karya-karya mereka pada kebesaran moralitas
    dengan huruf M besar, sedangkan perkembangan sastra dunia sudah berlaju
    demikian maju dan sudah lama meninggalkan rambu-rambu moralitas yang masih
    dipersoalkan kita. Karena selain tidak mungkin memutarbalikkan perkembangan
    masa, saya rasa tuntutan para petinggi moralitas ini sangat mengganjal
    perkembangan sastra di negeri ini. Persoalan moralitas seharusnya dibahas
    dalam konteks di luar kesenian seperti dalam forum kebatinan ataupun dalam
    kajian sosiologi. Karena persoalan moralitas sangat berseberangan dengan
    penciptaan karya seni. Seniman tidak kenal rambu-rambu moralitas dalam
    penciptaan mereka. Yang disasarkan dalam setiap karya seni bukan lagi
    capaian moralitas, tetapi capaian originalitas dalam suara, visi ataupun
    estetika. Sastra dunia sudah mencapai titik capaian yang begitu maju
    sehingga ia tidak lagi mencoba mengupas moralitas manusia tetapi lebih pada
    bagaimana menangkap dilema ataupun paradoks manusia dalam sekeping
    kehidupannya. Kadang bahkan tanpa suatu tujuan ataupun subyek yang jelas,
    selain potret-portret kecil suatu kehidupan seperti yang ditampilkan dalam
    cerita-cerita penulis Sicilia Giovanni Verga.

    Menutup penulisan ini saya ingin mengutip Oscar Wilde, juga salah satu
    spirit pembangkang dalam kesusastraan yang ditindas oleh para petinggi
    moralitas masyarakatnya pada masanya. Dia mengatakan bahwa kebenaran tidak
    lagi benar bila ia diterima oleh semua pihak. Semangat setiap pekerja
    kreatif adalah bagaimana berbagi kebenaran individunya dengan dunia di mana
    dia bercokol. Persembahan mereka yang diperoleh dari tetes-tetes darah jiwa
    mereka merupakan ungkapan kecintaan ataupun ketulusan mereka pada dunia.
    Penindasan, penghujatan, pendakwahan negatif pada karya-karya seni sudah
    bukan hal baru lagi bagi mereka, dan tidak pernah berhasil menghalangi
    mereka, bahkan malah mengobarkan semangat mereka, untuk tetap menampilkan
    tiap karya mereka dengan keberanian dan ketulusan yang tidak dapat
    dikompromikan. *Source URL: http://pokbongkoh.blogspot.com/2010/01/adakah-krisis-moralitas-dalam.html
    Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection

0 comments:

Post a Comment