FREE DOWNLOAD PICTURE
MORE INFO ABOUT WALLPAPER
Saturday, December 12, 2009

MORFOFONEMIK BAHASA NIAS


    Oleh Wa’özisökhi Nazara*

    ABSTRACT

    This is a morphophonemic analysis on Nias, an Austronesian language spoken by about 700,000 people. Most of them live on the island of Nias. Morphophonemic processes in the vocalic language occur in nouns and verbs. Morphophonemic processes which occur in nouns are of two types: (1) addition of a certain sound to the beginning of the host and (2) change of the initial sound of the host. The function of the noun/host in the clause subcategorizes for the addition of a certain sound to the beginning of the host and change of the initial sound of the host. The first morphophonemic process occurs to the noun beginning with vowel. The latter occurs to the noun initiating with consonant.

    Morphophonemic process, which occurs to verbs, is nasal assimilation in nature. Nasal assimilation particularly occurs when bound morpheme ma- is attached to a verb beginning with voiced bilabial stop consonant, voiceless labio-dental consonant, both voiceless and voiced alveolar stop consonants, alveolar trill, voiceless velar stop consonant, and voiceless velar fricative consonant. The morphophonemic processes in Nias correlate with place of articulation, manner of articulation, and voicing.

    1. Pendahuluan
    Bahasa Nias, merupakan bahasa vokalik dengan jumlah penutur sekitar 700.000 orang, tergolong bahasa daerah yang yang jumlah penuturnya kurang dari satu juta. Keadaan ini jelas kurang kondusif bagi kelestarian bahasa Nias. Bahasa daerah yang jumlah penuturnya sedikit cenderung merupakan bahasa yang tidak mempunyai tulisan (Lauder 2005). Oleh sebab itu, tulisan ini diharapkan bisa memberi kontribusi terhadap pelestarian bahasa daerah Nias.

    Ada beberapa tulisan mengenai bahasa Nias. Akan tetapi jumlahnya sangat terbatas dan tidak ada yang khusus mengenai morfofonemik. Terbatasnya jumlah tulisan mengenai bahasa Nias tersebut, antara lain, disebabkan oleh kurangnya perhatian para linguis terhadap bahasa Nias. Halawa dkk (1983) menegaskan, “Bahasa Nias adalah salah satu dari sekian banyak bahasa daerah di Indonesia yang kurang mendapat perhatian ahli-ahli bahasa.” Tulisan bertajuk “Morfofonemik Bahasa Nias” ini adalah salah satu wujud perhatian dan kepedulian penulis sebagai linguis dan penutur bahasa Nias untuk mengisi “kelangkaan” tulisan yang khusus mengenai morfofonemik bahasa Nias.

    2. Kerangka Teori
    Ada tiga istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan interaksi antara morfologi dan fonologi. Interaksi antara morfologi dan fonologi tersebut di kalangan para linguis Amerika umumnya disebut morfofonemik. Akan tetapi, para linguis Eropa lebih menggandrungi istilah morfofonologi atau morfonologi (Crystal 1991). Dalam tulisan ini digunakan istilah morfofonemik, sejalan dengan judulnya “Morfofonemik Bahasa Nias”.

    Definisi morfofonemik tidak seragam di kalangan para linguis. Beberapa linguis mendefinisikan morfofonemik secara luas, sebagian lainnya memberi definisi yang lebih sempit. Dalam arti luas, morfofonemik adalah kajian mengenai struktur fonologis morfem, variasi fonemis yang dialami oleh morfem ketika bergabung dengan morfem lain, dan kajian mengenai rangkaian perubahan (McCarthy 1991). Struktur fonologis morfem berkenaan dengan kombinasi fonem yang diperbolehkan dalam suatu bahasa. Variasi fonem menyangkut alomorf. Rangkaian perubahan menyangkut perubahan berulang fonem sebelum afiks tertentu. Perubahan fonem yang dimaksud dalam pengertian ini mencakup perubahan dari satu fonem ke fonem lain, tidak hanya antara alofon.

    Definisi morfofonemik dalam arti luas juga dikemukakan oleh Kridalaksana (1993). Menurut Kridalaksana, morfofonemik atau morfofonologi tidak hanya mengacu pada analisis dan klasifikasi pelbagai ujud atau realisasi yang menggambarkan morfem. Morfofonemik juga mengacu pada struktur bahasa yang menggambarkan pola fonologis dari morfem. Penambahan, pengurangan, penggantian fonem, atau perubahan tekanan yang menentukan bangun morfem termasuk di dalam struktur bahasa yang menggambarkan pola fonologis dimaksud.

    Pengertian morfofonemik tersebut di atas sejalan dengan pengertian morfofonemik menurut Crystal (1991) yang menyatakan bahwa morfofonemik adalah cabang linguistik mengenai pengkajian dan pengklasifikasian faktor-faktor fonologis yang mempengaruhi kemunculan morfem atau faktor-faktor gramatikal yang berperan dalam pemunculan fonem. Dalam pengertian ini, morfofonemik dianggap sebagai tataran tersendiri struktur linguistik antara gramatika dan fonologi.

    Hockett (McCarthy 1991) mengemukakan definisi yang pada prinsipnya sejalan dengan pengertian morfofonemik yang dikemukakan oleh Crystal. Hockett menganggap setiap frase menyangkut bentuk fonemik morfem sebagai kajian morfofonemik. Oleh sebab itu, Hockett menekankan, morfofonemik merupakan inti kajian bahasa.

    Inti kajian terhadap perubahan fonem adalah pemahaman mengenai sandhi. Sandhi berusaha menjelaskan perubahan fonologis bentuk-bentuk yang digabungkan satu sama lain. Ini sejalan dengan pendapat Trask (1993) yang menyatakan bahwa sandhi meliputi aneka fenomena mengenai bentuk kata atau morfem yang dimodifikasi oleh kehadiran kata atau morfem berdampingan. Sandhi, yang menyangkut kata atau morfem itu, bisa dibedakan atas sandhi internal dan sandhi eksternal. Modifikasi internal terjadi dalam kata, sedangkan modifikasi eksternal melintasi batas kata. Fenomen yang ditemukan dalam bahasa Latin reg- ‘raja’ (bentuk dasar) + -s (kasus nominatif) menjadi rex [reks] adalah satu contoh modifikasi internal, sedangkan fenomena bahasa Inggris would + you menjadi ['wudju:] adalah satu contoh modifikasi eksternal.

    Perubahan atau modifikasi adalah kata kunci dalam morfofonemik. Sebagaimana dikemukakan oleh Busenitz dan Busenitz (1991), morfofonemik menguraikan perubahan fonem-fonem dalam morfem tertentu yang terjadi dalam lingkungan fonologis unik. Perubahan terhadap bentuk dasar morfem menghasilkan varian atau alomorf. Dalam penelitian mereka terhadap bahasa Balantak, kedua linguis ini memaparkan morfofonemik yang meliputi perubahan konsonan, perubahan vokal, dan perubahan pronomina persona kedua tunggal. Perubahan konsonan mencakup asimilasi nasal dan pelesapan konsonan. Perubahan vokal meliputi penyesuaian vokal dan penyisipan vokal.

    Dalam pengertian sempit, morfofonemik lebih dibatasi pada kajian mengenai bentuk perubahan yang terjadi pada morfem. Hocket dan Wells (McCarthy 1991), misalnya, lebih memusatkan perhatian pada perbedaan-perbedaan bentuk fonemik alternan-alternan morfem daripada struktur fonemik.

    Proses morfofonemik ditemukan dalam berbagai bahasa. Proses morfofonemik tampak antara lain dalam morfem jamak, morfem lampau, morfem in-, dan morfem persona ketiga tunggal pada verba dalam bahasa Inggris (Finegan dan Besnier 1989). Perubahan bunyi yang terjadi pada masing-masing morfem terikat ini ketika bergabung dengan morfem bebas akan dikemukakan secara ringkas berikut ini.

    Morfem jamak dalam bahasa Inggris memiliki tiga variasi bentuk. Apabila suatu nomina berakhir dengan fonem /s, z, š, ž, č, ĵ/, yaitu bunyi konsonan yang tergolong sibilan, maka mofem jamak pada nomina itu berwujud [әz]. Kata-kata bus → buses, fuse → fuses, bush → bushes, peach → peaches, judge → judges adalah beberapa kata dalam bahasa Inggris yang morfem jamaknya adalah [әz]. Akan tetapi, jika suatu nomina berakhir dengan bunyi konsonan tidak bersuara, selain sibilan, maka morfem jamaknya berwujud [s]. Kata-kata dalam bahasa Inggris book → books, cat → cats, path → paths, tip → tips, whiff → whiffs adalah beberapa di antara kata-kata yang menunjukkan varian morfem jamak [s]. Apabila suatu nomina berakhir dengan bunyi bersuara, selain bunyi sibilan, maka morfem jamaknya berwujud [z]. Kata-kata dalam bahasa Inggris car → cars, pen → pens, day → days, bag → bags adalah beberapa di antara nomina yang menunjukkan varian morfem jamak [z].

    Proses morfofonemik pada morfem lampau tampak jelas pada penggabungan morfem terikat (bound morfem) dengan morfem bebas (free morfem) pada verba beraturan (regular verbs). Morfem lampau pada verba beraturan dalam bahasa Inggris memiliki tiga varian. Ketiga varian itu adalah [t], [d], dan [әd]. Bentuk [d] bisa dianggap sebagai bentuk asal (underlying form). Distribusi bunyi [d] paling lengkap dibandingkan dengan distribusi bunyi [t] dan [әd].

    Varian morfem lampau berwujud [t] apabila morfem lampau tersebut bergabung dengan morfem bebas yang berakhir dengan bunyi konsonan tidak bersuara. Bunyi-bunyi tidak bersuara dimaksud adalah /f/, /k/, /p/, /s/, /š/, dan /č/. Morfem bebas (kata) dalam bahasa Inggris puff → puffed, work → worked, stop → stopped, kiss → kissed, wish → wished, preach → preached adalah beberapa morfem bebas (kata) yang menunjukkan varian morfem lampau [t]. Morfem lampau direalisasikan [әd] apabila morfem bebas yang berakhir dengan bunyi alveolar stop. Dengan kata lain, apabila morfem lampau (past tense morpheme) mengikuti morfem bebas yang berakhir dengan bunyi [t] atau [d] maka morfem lampau itu direalisasikan dengan [∂d].

    Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa proses morfofonemik yang terjadi ketika morfem terikat bertemu dengan morfem bebas mengikuti kaidah tertentu. Hal ini sejalan dengan uraian yang dikemukan oleh Katamba (1993) mengenai morfofonemik. Katamba menyebut empat jenis distribusi alomorf. Pertama, distribusi alomorf yang ditentukan oleh kondisi fonologis (phonological conditioning). Sebagai contoh, apabila morfem jamak bertemu dengan morfem bebas yang berakhir dengan bunyi alveolar atau alveolar sibilant maka morfem jamak itu direalisasikan dengan bunyi [∂z]. Akan tetapi, jika morfem jamak bertemu dengan morfem yang berakhir dengan bunyi konsonan tidak bersuara non-strident maka morfem jamak itu direalisasikan dengan bunyi [-s], sedangkan realisasi [-z] muncul apabila morfem jamak bergabung dengan morfem yang tidak diakhiri dengan bunyi alveolar/alveolar sibilant atau bunyi konsonan tidak bersuara non-strident.

    Kedua, distribusi yang ditentukan oleh kondisi gramatikal (grammatical conditioning). Sebagai contoh, kehadiran morfem lampau menentukan pilihan alomorf /wep/ dan /swep/ dari /wi:p/ dan /swi:p/. Demikian pula dalam pilihan alomorf took dan shook dari take dan shake. Pilihan alomorf took dan shook dari take dan shake ditentukan oleh kehadiran morfem lampau (past tense morpheme).

    Ketiga, distribusi alomorf yang ditentukan oleh kondisi leksikal (lexical conditioning). Distribusi varian ini adalah distribusi alomorf tertentu yang terjadi pada kata tertentu. Ini tampak dalam kata oxen yang merupakan hasil penggabungan morfem jamak (-en) dengan nmorfem bebas (ox).

    Keempat, distribusi alomorf yang disebut suplesi (suppletion). Suplesi, seperti halnya kondisi leksikal, hanya terjadi pada kata tertentu. Dalam bahasa Inggris, misalnya, bentuk good dan better tidak sama. Akan tetapi, good dan better merepresentasikan leksem GOOD. Demikian pula dengan bentuk am, are, dan is. Ketiga bentuk ini jelas berbeda. Akan tetapi, ketiganya merupakan representasi dari lexeme BE.

    Sebagian besar modifikasi bunyi yang terjadi ketika morfem terikat (morfem jamak) bergabung dengan morfem bebas (kata), sebagaimana dikemukakan di atas, tergolong modifikasi (asimilasi) progresif. Asimilasi yang tergolong progresif adalah proses perubahan bunyi menjadi mirip dengan bunyi yang mendahuluinya. Akan tetapi, asimilasi progresif bukan satu-satunya proses perubahan yang terjadi ketika dua morfem bergabung untuk membentuk suatu unit yang lebih besar. Bisa terjadi perubahan bunyi yang arahnya berlawanan dengan asimilasi progresif. Perubahan bunyi ini disebut asimilasi regresif, yakni proses perubahan bunyi menjadi mirip dengan bunyi yang mengikutinya. Selain asimilasi progresif dan asimilasi regresif, ada asimilasi resiprokal. Asimilasi ini merupakan perubahan dua fonem berurutan, yang menyebabkan kedua fonem itu menjadi fonem yang lain dari semula. (Kridalaksana 1993; Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa 1995).

    Perubahan bunyi (asimilasi) yang terjadi ketika suatu morfem bertemu dengan morfem lain terkait dengan tuntutan artikulasi. Pada waktu seseorang berbicara, alat-alat ucapnya tidak meloncat dari satu posisi ke posisi lain. Pergerakan alat-alat ucap merupakan suatu pergerakan berkesinambungan. Bunyi-bunyi berdekatan saling mempengaruhi dalam pergerakan berkesinambungan itu (Schendl 2001). Itulah sebabnya perubahan bunyi yang terjadi ketika dua morfem bergabung umumnya mempertimbangkan tempat artikulasi.

    Perubahan bunyi, termasuk substitusi atau penambahan bunyi nasal, menurut Donohue (1999), sangat umum terjadi dalam bahasa-bahasa di Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Dalam bahasa Tukang Besi, misalnya, prefiks hoN- menunjukkan substitusi nasal dalam konsonan tidak bersuara yang mengikutinya. Sebagai contoh, bunyi [h] digantikan oleh bunyi nasal ketika prefiks hoN- bergabung dengan morfem bebas (kata) ha’o ‘pemukul’. Hasilnya adalah kata homa’o ‘memukul secara sengaja’. Akan tetapi, substitusi nasal tidak terjadi apabila bunyi stop bersuara.

    3. Pembahasan
    Pembahasan mengenai morfofonemik bahasa Nias dalam tulisan ini meliputi proses morfofonemik yang terjadi pada nomina, yang disebut mutasi, dan proses morfofonemik yang yang terjadi pada verba. Proses morfofonemik yang terjadi pada nomina, yang disebut mutasi, disajikan pada bagian 3.1. Proses morfofonemik, yang disebut asimilasi, disajikan pada bagian 3.2.

    3.1 Proses morfofonemik yang terjadi pada nomina
    Proses morfofonemik yang terjadi pada segmen awal nomina disebut mutasi. Mutasi adalah perubahan kualitas bunyi karena pengaruh bunyi dalam morfem atau kata berdampingan (Crystal 1991). Mutasi pada umumnya terjadi pada segmen awal suatu kata. Menurut Brown (2001), mutasi adalah proses morfofonemik yang mempengaruhi segmen awal nomina, pronomina, relatif tanpa inti (headless relatives), dan nomina derivasi (derived nominals).

    Perubahan bunyi (mutasi) dalam bahasa Nias dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok. Pertama, perubahan bunyi pada segmen awal kata (mutasi) dalam bahasa Nias bisa berupa penambahan bunyi. Kedua, mutasi berupa perubahan bunyi dari konsonan takbersuara menjadi konsonan bersuara. Ketiga, mutasi berupa perubahan bunyi konsonan bersuara menjadi bunyi konsonan bersuara lain. Keempat, mutasi berupa Ø.

    3.1.1 Penambahan bunyi konsonan ([n] atau [g])
    Penambahan bunyi, [n] atau [g] terjadi pada nomina yang segmen awalnya adalah vokal, seperti yang terjadi pada kata uli ‘kulit’. Ada beberapa kondisi yang menuntut penambahan bunyi [n] atau [g] sebelum bunyi vokal yang mengawali sebuah nomina. Kondisi-kondisi tersebut disajikan berikut ini.

    3.1.1.1 Penambahan bunyi konsonan [n]
    Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [a] yang diikuti oleh bunyi konsonan [g], [m], [ŋ], [x], [r], [s], [ß], atau [y], maka bunyi konsonan alveolar nasal [n] umumnya ditambahkan sebelum bunyi vokal [a] itu, misalnya ama → nama ‘ayah’.
    Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [e] yang diikuti oleh bunyi konsonan [n] atau [x], maka bunyi konsonan alveolar nasal [n] umumnya ditambahkan sebelum bunyi vokal [e] pada awal kata itu, sebagaimana tampak pada ene → nene ‘pasir’.

    Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [i] yang diikuti oleh bunyi konsonan[f], [x], [n], atau [ß], maka bunyi konsonan alveolar nasal [n] umumnya ditambahkan sebelum bunyi vokal [i] pada awal kata itu, sebagaimana tampak pada ifö → nifö ‘gigi’.

    Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [o] yang diikuti oleh bunyi konsonan [h], [l], [m], [n], [r], [s], atau [ß], maka bunyi konsonan alveolar nasal [n] umumnya ditambahkan sebelum bunyi vokal [o] pada awal kata itu, sebagaimana tampak pada ohi → nohi ‘kelapa’.

    Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [∂] yang diikuti oleh bunyi konsonan [s], maka bunyi konsonan alveolar nasal [n] ditambahkan sebelum bunyi vokal [ə] pada awal kata itu. Penambahan bunyi [n] sebelum bunyi vokal [∂] pada awal kata ösi ([∂si] → n∂si]).

    Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [u] yang diikuti oleh bunyi konsonan [d], [ŋ], atau [ß], maka bunyi konsonan alveolar nasal [n] umumnya ditambahkan sebelum bunyi vokal [u] pada awal kata itu, sebagaimana tampak pada udu → nudu ‘musuh’.

    Nomina yang terdiri atas tiga suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [i] yang diikuti oleh bunyi konsonan alveolar hambat bersuara [d], maka bunyi konsonan alveolar nasal [n] ditambahkan sebelum bunyi vokal [i] pada awal kata itu. Penambahan bunyi [n] sebelum bunyi vokal [i] tersebut terjadi pada segmen awal kata idanö ([idan∂] → [nidan∂]).

    3.1.1.2 Penambahan bunyi konsonan [g]
    Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [a] yang diikuti oleh bunyi konsonan [f], [h], [t], atau [ß], maka bunyi konsonan velar hambat bersuara [g] umumnya ditambahkan sebelum bunyi vokal [a] pada awal kata itu, misalnya afi → gafi ‘sayap’.
    Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [e] yang diikuti oleh bunyi konsonan alveolar aproximan bersuara [l] atau [r], maka bunyi konsonan velar hambat bersuara [g] ditambahkan sebelum bunyi vokal [e] pada awal kata itu, sebagaimana tampak pada eha → geha ‘batuk’.

    Apabila sebuah nomina terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [∂] yang diikuti oleh bunyi konsonan alveolar aproximan bersuara [l], konsonan bilabial nasal [m], atau vokal [∂] maka bunyi konsonan velar hambat bersuara [g] ditambahkan sebelum bunyi vokal [∂] pada awal kata itu, sebagaimana tampak pada ömö → gömö ‘utang’.

    Bunyi konsonan velar hambat bersuara [g] ditambahkan sebelum bunyi vokal [u] pada awal nomina yang terdiri atas dua suku kata dan diawali oleh bunyi vokal [u] yang diikuti oleh bunyi konsonan alveolar aproximan bersuara [l] atau [r], bunyi [ndr], [mb], atau bunyi [t], misalnya uro → guro ‘udang’.

    3.1.2 Perubahan bunyi konsonan (dari tidak bersuara menjadi bersuara)
    Bunyi konsonan alveolar frikatif tidak bersuara [s] yang mengawali nomina yang terdiri atas dua suku kata berubah menjadi bunyi konsonan alveolar frikatif bersuara [z]. Perubahan bunyi [s] menjadi [z] tidak dipengaruhi oleh bunyi vokal yang mengikuti bunyi konsonan [s] di awal kata, misalnya simbi → zimbi ‘rahang’.

    Bunyi konsonan labio-dental frikatif tidak bersuara [f] yang mengawali nomina yang terdiri atas dua suku kata berubah menjadi bunyi konsonan bilabial aproximan bersuara [ß]. Perubahan bunyi [f] menjadi [ß] tidak dipengaruhi oleh bunyi vokal yang mengikuti bunyi konsonan [f] di awal kata. Ini berarti bahwa vokal apa pun yang mengikuti bunyi konsonan [f] di awal kata, bunyi konsonan [f] harus menjadi bunyi konsonan [ß], misalnya feto → weto ‘enau’.

    Bunyi konsonan alveolar hambat tidak bersuara [t] yang mengawali nomina yang terdiri atas dua suku kata berubah menjadi bunyi konsonan alveolar hambat bersuara [d]. Perubahan bunyi [t] di awal nomina menjadi [d] tidak dipengaruhi oleh bunyi vokal yang mengikuti konsonan [t] itu, misalnya talu → dalu ‘perut’.

    Bunyi konsonan velar hambat tidak bersuara [k] yang mengawali nomina yang terdiri atas dua suku kata berubah menjadi bunyi konsonan velar hambat bersuara [g]. Perubahan bunyi [k] di awal nomina menjadi [g] tidak dipengaruhi oleh bunyi vokal yang mengikuti konsonan [k] itu, misalnya kara → gara ‘batu’.

    3.1.3 Perubahan bunyi konsonan bersuara menjadi bunyi konsonan bersuara lain
    Bunyi konsonan alveolar hambat bersuara [d] yang mengawali nomina yang terdiri atas dua suku kata berubah menjadi bunyi konsonan dento-alveolar hambat bersuara [ndr]. Perubahan bunyi [d] di awal nomina menjadi [ndr] tidak dipengaruhi oleh bunyi vokal yang mengikuti konsonan [d] itu, misalnya dege → ndrege ‘batas’.

    Bunyi konsonan bilabial hambat bersuara [b] yang mengawali nomina yang terdiri atas dua suku kata berubah menjadi bunyi konsonan bilabial getar bersuara [mb]. Perubahan bunyi [b] di awal nomina menjadi [mb] tidak dipengaruhi oleh bunyi vokal yang mengikuti konsonan [b] itu, misalnya böbö → mböbö ‘ikat’.

    3.2. Proses morfofonemik yang terjadi pada verba
    Perubahan bunyi pada verba bahasa Nias tergolong asimilasi progresif, yakni perubahan bunyi karena bunyi yang mendahului bunyi itu. Bunyi yang mengalami asimilasi ketika bertemu dengan morfem terikat itu disajikan berikut ini.

    Jika morfem bebas (verba) yang mulai dengan bunyi konsonan bilabial bersuara [b] bergabung dengan morfem terikat (prefiks) ma-, bunyi konsonan bilabial bersuara [b] yang berada di awal verba itu berubah menjadi bunyi konsonan bilabial nasal [m]. Data berikut menunjukkan hal ini.
    ma + badu → mamadu ‘meminum’
    ma + böbö → mamöbö ‘mengikat’

    Jika morfem bebas (verba) yang mulai dengan bunyi konsonan labio-dental tidak bersuara [f] bergabung dengan morfem terikat (prefiks) ma-, bunyi konsonan labio-dental tidak bersuara [f] yang berada di awal verba itu berubah menjadi bunyi konsonan bilabial nasal [m]. Data berikut menunjukkan hal ini.
    ma + femondi → mamemondri ‘memandikan’
    ma + fahö → mamahö ‘menikam’

    Jika morfem bebas (verba) yang mulai dengan bunyi konsonan alveolar hambat tidak bersuara [t] bergabung dengan morfem terikat (prefiks) ma-, bunyi konsonan alveolar hambat tidak bersuara [t] yang berada di awal verba itu berubah menjadi bunyi konsonan alveolar nasal [n]. Proses morfofonemik ini juga terjadi pada verba yang mulai dengan bunyi konsonan alveolar frikatif [s]. Data berikut menunjukkan hal ini.
    ma + sasai → manasai ‘mencuci’
    ma + tutu → manutu ‘menumbuk’

    Jika morfem bebas (verba) yang mulai dengan bunyi konsonan alveolar hambat bersuara [d] bergabung dengan morfem terikat (prefiks) ma-, bunyi konsonan alveolar hambat bersuara [d] yang berada di awal verba itu berubah menjadi bunyi konsonan dento-alveolar getar [ndr], sedangkan bunyi vokal pada prefiks ma- berubah menjadi vokal [o]. Proses morfofonemik ini juga terjadi pada verba yang mulai dengan bunyi konsonan alveolar getar [r]. Data berikut menunjukkan hal ini.
    ma + döni → mondröni ‘menarik’
    ma + rörö → mondrörö ‘menenangkan’

    Jika morfem bebas (verba) yang mulai dengan bunyi konsonan velar hambat tidak bersuara [k] bergabung dengan morfem terikat (prefiks) ma-, bunyi konsonan velar hambat tidak bersuara [k] yang berada di awal verba itu berubah menjadi bunyi konsonan velar hambat bersuara [g], sedangkan bunyi vokal pada prefiks ma- berubah menjadi vokal [o]. Proses morfofonemik ini juga terjadi pada verba yang mulai dengan bunyi konsonan velar frikatif tidak bersuara [kh]. Data berikut menunjukkan hal ini.
    ma + kaoni → mogaoni ‘memanggil’
    ma + khoi → mogoi ‘membedah’

    Simpulan
    Proses morfofonemik dalam bahasa Nias terjadi pada nomina dan verba. Morfofonemik yang terjadi pada nomina terbagi atas dua jenis. Kedua jenis itu adalah perubahan bunyi konsonan dan penambahan bunyi konsonan. Perubahan bunyi konsonan terjadi jika sebuah nomina mulai dengan bunyi konsonan. Perubahan itu ada dua macam: perubahan konsonan tidak bersuara menjadi konsonan bersuara dan perubahan konsonan bersuara menjadi konsonan bersuara lain. Penambahan bunyi konsonan terjadi pada nomina yang mulai dengan bunyi vokal.

    Proses morfofonemik yang terjadi pada verba pada hakikatnya berupa asimilasi nasal. Asimilasi terjadi ketika morfem terikat (prefiks) ma- bergabung dengan morfem bebas (verba) yang mulai dengan bunyi konsonan tertentu. Bunyi konsonan tertentu itu adalah bunyi konsonan bilabial bersuara [b], bunyi konsonan labio-dental tidak bersuara [f], bunyi konsonan alveolar hambat tidak bersuara [t], bunyi konsonan alveolar hambat bersuara [d], bunyi konsonan alveolar getar [r], bunyi konsonan velar hambat tidak bersuara [k], atau bunyi konsonan velar frikatif tidak bersuara [kh].
    Proses morfofonemik, baik mutasi yang terjadi pada nomina maupun asimilasi nasal yang terjadi pada verba, umumnya menunjukkan suatu pola/kaidah yang bisa dipreksi secara logis. Hubungan tempat artikulasi (place of articulation), kesamaan cara artikulasi (manner of articulation), dan kesamaan dalam hal kebersuaraan memegang peranan penting dalam proses morfofonemik dalam bahasa Nias.

    Daftar Pustaka

    Artawa, Ketut. 2005. Tipologi Bahasa dan Komunikasi Lintas Budaya (orasi ilmiah pada upacara pengukuhan jabatan guru besar linguistik di Fakultas Sastra Universitas Udayana, 24 September 2005). Denpasar: UNUD.
    BPS dan BAPPEDA Kabupaten Nias 2006. Nias dalam Angka 2005. Gunungsitoli: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat II Nias dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias.
    Brown, Lea. 2001. A Grammar of Nias Selatan (disertasi). University of Sydney.
    Brown, Lea. 2005a. Nias. Dalam Adelaar, Alexander, dan Himmelmann, Nikolaus P., penyunting. The Austronesian Languages of Asia and Madagascar. London and New York: Routledge. Hal. 562-589.
    Brown, Lea. 2005b. “Ergative Case in Nias” (makalah disajikan pada Association for Linguistic Typology 6th Biennial Meeting, 21—25 Agustus 2005). Padang: Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, UNIKA Atmajaya, UBH.
    Busenitz, Robert L, and Marilyn J. Busenitz. 1991. Balantak Phonology and Morphophonemics. Dalam Sneddon, J.N., editor. Studies in Sulawesi Linguistics: Part II. Jakarta: Lembaga Bahasa Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Hal. 29-47.
    Carstairs-McCarthy, Andrew. 1992. Current Morphology. London and New York: Routledge.
    Comrie, Bernard. 1989. Language Universals and Linguistic Typology (2nd ed.). Chicago: The University of Chicago Press.
    Crystal, David. 1991. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Third Edition. Oxford: Blackwell Publishers.
    Donohue, Mark. 1999. A Grammar of Tukang Besi. Berlin and New York: Mouton de Gruyter.
    Dryer, Matthew. 2005. Languages of Sumatera from Geographical Perspective (makalah kunci disajikan pada Association for Linguistic Typology 6th Biennial Meeting, 21—25 Agustus 2005). Padang: Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Unika Atmajaya,UBH.
    Finegan, Edward dan Niko Besnier. 1989. Language: Its Structure and Use. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
    Grix, Jonathan. 2004. The Foundation of Research. New York: Palgrave Macmillan.
    Halaa, T., A. Harefa, dan M. Silitonga 1983. Struktur Bahasa Nias. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
    Katamba, Francis. 1993. Morphology. London: Macmillan Press Ltd.
    Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik, 3rd Ed. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
    Lauder, Multamia RMT. 2005. Pelacakan Bahasa Minoritas dan Dinamika Multikultural. Jurnal Ilmu-ilmu Budaya Nomor 10, Agustus 2005. Hal. 150-171.
    Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
    McCarthy, Michael J. 1991. Morphology. Dalam Malmkjær, Kirsten and James M. Anderson, editors. The Linguistics Encyclopedia. London and New York: Routledge. Hal. 314-324.
    Matthews, Peter 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford New York: Oxford University Press.
    Nazara, Wa’özisökhi 2005a. Subjek Bahasa Nias. (makalah disajikan pada Kongres Linguistik Nasional XI, 17−21 Juli 2005). Padang: Pusat Bahasa dan MLI.
    Nazara, Wa’özisökhi. 2005b. Nias in Typology Perspective (makalah disajikan pada Association for Linguistic Typology 6th Biennial Meeting, 21—25 Agustus 2005). Padang: Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, UNIKA Atmajaya, UBH.
    Nazara, Wa’özisökhi. 2006. ‘Objek dalam Bahasa Nias’, Jurnal Linguistika, Vol.13 No. 24. Hal. 1-14.
    Schendl, Herbert. 2001. Historical Linguistics. Oxford: Oxford University Press.
    Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Dutawacana University Press.
    Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
    Trask, R. L. 1993. A Dictionary of Grammatical Terms in Linguistics. London dan New York: Routledge.
    Zendrato, Dal., STh, Pdt. 1997. Pengantar Tata Bahasa Daerah Nias Jilid II (untuk Kalangan sendiri). Manuskrip.

    * Drs. Wa’özisökhi Nazara, M.Hum. adalah Dosen/Pembantu Ketua I pada STBA Prayoga Padang. Tulisan ini telah diterbitkan oleh APTISI Wilayah X-A (KOPERTIS Wilayah X) di Jurnal AKADEMIKA Volume 11 No.2: Oktober 2007

    Source URL: http://pokbongkoh.blogspot.com/2009/12/oleh-waozisokhi-nazara-abstract-this-is.html
    Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection

0 comments:

Post a Comment