FREE DOWNLOAD PICTURE
MORE INFO ABOUT WALLPAPER
Thursday, December 16, 2010

Siswa Persoalan atau Siswa Biang Persoalan?

    Siswa Persoalan atau Siswa Biang Persoalan?
    Oleh Redemtus Kono, Mahasiswa STFK Ledalero, Kru KMK

    Tirai Kehidupan: Realitas Pendidikan NTT

    "Mau dibawa ke mana pendidikan kita?" Demikian komentar spontan seorang teman saya ketika membaca berita harian Pos Kupang tentang perilaku minum-minuman keras sejumlah mahasiswa di kampus FKIP Undana, tawuran antarpelajar SMA di Atambua (PK, 3/10/2010) dan beredarnya video mesum siswa SMA Waingapu (PK, 6/10/2010).

    Hemat saya, suara miris tersebut sangat tepat untuk melukiskan potret buram pendidikan NTT saat ini. Keprihatinan itu semakin 'lengkap' jikalau kita menyisir perhelatan UN/US sebagai takaran terhadap kualitas pendidikan di NTT. Masih segar dalam ingatan kita, ketika dalam penetapan standar kelulusan NTT tahun 2008 sebesar 50, 25, NTT 'hanya' mencapai 65 persen untuk tingkat SMA/SMK, 46 persen untuk SMP dan pada tingkat SD 34 persen.

    Berdasarkan data kuantitatif ini, secara nasional, mutu pendidikan NTT menempati urutan paling buncit dari semua provinsi Indonesia. Ironisnya, persentase demikian rupanya tak mampu membuka mata rakyat NTT (terutama pemerintah) untuk segera memperbaikinya. Buktinya, sampai sekarang pendidikan NTT masih 'setia' mendiami urutan terakhir dalam penyelenggaraan UN/US.

    Aneka tindak amoral dan rendahnya mutu akademik di atas menyingkapkan dua kenyataan mencemaskan dalam koridor pendidikan NTT. Pertama: belum mumpuninya kematangan emosional dan spiritual para siswa. Dalam beberapa tahun terakhir, tawuran antarpelajar di NTT menggurita dan sedihnya meminta korban. Para pelajar justru menjadi salah satu aktor utama intimidasi dan kekerasan di NTT. Jelas bahwa integritas psikis para pelajar tidak menjadi prioritas.

    Kedua: masih rapuhnya kecerdasan intelektual para pelajar NTT. Prestasi dan mutu para pelajar NTT masih kalah jauh dari daerah lain. Berdasarkan rangking nilai rata-rata UASBN SD 2008, NTT bahkan telah dilangkahi oleh Propinsi Papua Barat, yang nota bene masih 'propinsi baru'. Demikian pun pada tahun 2009, Bangka Belitung (sebagai propinsi baru) jauh di atas NTT dalam perhitungan obyek yang sama.

    Belum tegaknya kecerdasan emosional, spiritual dan intelektual para siswa turut mengafirmasi keterpurukan pendidikan NTT kini. Pendidikan NTT berada dalam tataran involutif, yang ironisnya tetap bergerak di tempat dalam pesatnya kemajuan pendidikan di daerah lain.

    Keterpurukan pendidikan NTT rupanya merupakan sebuah kenyataan in facto, kenyataan menyejarah. Lebih parah lagi, keterpurukan tersebut bukan saja menyangkut minimnya kemampuan intelektual tetapi juga pada redupnya kematangan emosional dan spiritual. Apalagi jika ditelaah, pendidikan kita justru melangkah mundur karena kecenderungan banyak siswa untuk melaksanakan pelbagai tindak amoral yang massif akhir-akhir ini.

    Pada titik demikian, identitas 'siswa biang persoalan' mau tidak mau harus disematkan kepada para pelajar kita.

    Siswa Biang Persoalan
    Kasus Undana, kasus Video mesum, dan tawuran di Atambua menyebabkan para pelajar 'pantas' disebut siswa biang persoalan. Dalam 'siswa jenis ini', para siswa menjadi salah satu garda terdepan merealitanya kekerasan di NTT. Dengan adanya praduga kultural, semangat primordial, dan identitas 'gang' yang radikal, para siswa menerjemahkan penyelesaian setiap persoalan dalam prosedur yang masokistis.

    Itu berarti bahwa para pelajar bisa saja melakukan kejahatan irasional dengan menghambakan dirinya pada kekuasaan naluri dan kekuatan destruktif yang ada dalam dirinya sendiri. Rasionalitas diskursif sudah tidak diperhatikan lagi. Ruang diskusi sebagai ideal bangunan penyelesaian masalah bukan lagi menjadi prioritas. Hal ini sangat berbahaya karena pengagungan prosedur masokistis hanya akan menghantar para pelajar pada pemakaian mekanisme kekerasan fisik ataupun psikis yang dapat memacu terjadinya konflik (chaos).

    Kecenderungan masokis dalam diri para pelajar pada gilirannya akan menumbuhkan keengganan untuk memecahkan permasalahan tanpa sikap kritis dan diskursif. Segala sesuatu diterima sebagaimana 'apa adanya' tanpa mempertanyakan 'ada apanya' di balik realitas itu. Tidak heran bila dalam penyelesaian masalah sering terjadi 'adu fisik' dari pada ideal 'adu argumen' sebagai kaum terpelajar.

    Dengan demikian, identitas 'siswa biang persoalan' mengetengahkan bahwa keterpurukan pendidikan NTT bukan saja terletak pada kemampuan alamiah pelajar (nature) dan kualitas para pendidik (nurture) yang rendah tetapi juga karena minimnya kesempatan para siswa untuk untuk mengolah, mengaplikasikan dan mengembangkan (culture) pelbagai (ilmu) pengetahuan yang telah diterimanya itu dalam masyarakat.

    Potret buram pendidikan NTT ini mengafirmasi pendapat beberapa pakar pendidikan - baru-baru ini - yang mengatakan bahwa pendidikan NTT sedang 'kehilangan roh'. Apalagi kenyataan siswa biang persoalan itu kerap terjadi tanpa dapat dicegah. Konsekuensinya, pelbagai tindak amoral para pelajar terus mengaktual dalam kancah pendidikan di NTT. Ada beberapa faktor penyebab hadirnya pelbagai tindak para pelajar tersebut.

    Pertama, kecenderungan mengutamakan tujuan (hasil). Dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), aksentuasi pada nilai kuantitatif menyebabkan para pendidik sering meminggirkan pematangan psikis para siswa. Pendidikan ilmu lebih diutamakan daripada pembinaan mental. Artinya bahwa penanaman kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan penggenjotan kecerdasan emosional dan spiritual. Pembentukan kaidah- kaidah moral siswa terabaikan.

    Kedua, pengejawantahan 'siswa diam' dalam kegiatan belajar-mengajar. Spirit 4 D (datang, duduk, dengar, diam) sangat menghambat para siswa untuk mulai belajar mempersoalkan sesuatu. Sikap diam diartikan sebagai tanda setuju atau mengerti yang secara otomatis merupakan sebuah prestasi bagi guru pengampu. Akibatnya, siswa adalah 'bank data' yang tidak terlatih untuk bersikap kritis dalam hidupnya.

    Ketiga, penggunaan cara kekerasan dalam kegiatan pembelajaran. Di ujung rotan, ada emas. Dalam pemeo ini, para pendidik mengartikan cara kekerasan sebagai jalan pintas untuk membentuk ideal siswa yang patuh dan taat pada peraturan. Padahal, kekerasan berupa siksaan fisik (corporal punishment), kekerasan verbal (verbal punishment), dan kekerasan emosional (emotional punishment) akan mengganggu kondisi psikologis para siswa untuk menyerap dan mengamalkan ilmu yang telah diperoleh. Lebih gawat lagi jika para siswa mengimitasi dan mencontohi mekanisme kekerasan itu dalam melaksanakan sesuatu.

    Keempat, problem gizi buruk para siswa karena keterhimpitan ekonomi keluarga. Pendidikan dan pembinaan yang baik hanya akan berjalan dalam perut yang kenyang. Kesehatan para siswa sangat mempengaruhi pencerapan mereka terhadap apa yang dipelajari. Namun, hal ini masih sebatas utopia di NTT. Dalam kenyataan sebagai propinsi miskin, keterhimpitan ekonomi merupakan salah satu penyebab utama rendahnya mutu pendidikan di NTT. Lagi pula, keterhimpitan ini sering menyebabkan para siswa turut mencari pekerjaan tambahan untuk menunjang penghasilan keluarga. Pendidikan dan pembinaan anak bukan prioritas. Akibatnya, proses pengulangan dan penanaman ilmu pada siswa pasti terhambat.

    Beberapa faktor di atas mengamini nada keprihatinan dan pesimisme dari berbagai pihak terhadap masa depan pendidikan NTT. Dengan aneka tindak amoral itu, para pelajar telah 'mengkhianati' tanggung jawab mereka sebagai generasi penerus Flobamora tercinta. Hal ini sangat mengkhawatirkan! Sebab itu, pendidikan NTT perlu membenahi diri. Dan, salah satu jalan keluar untuk mengatasi euforia siswa biang soal adalah pembentukan ideal identitas para pelajar NTT sebagai siswa persoalan.

    Siswa Persoalan
    "Kamu adalah mahasiswa persoalan-persoalan," demikian nasehat bijak Karl Popper, seorang filosof kenamaan Austria, ketika menamai para mahasiswa kecintaannya. Dari penyematan itu, Popper mengidealkan seorang pelajar berkualifikasi kritis, peka, dan tanggap terhadap realitas.

    Menurut saya, ideal Popperian itu sangat tepat untuk ditransposisikan dalam penyelesaian 'trend' siswa biang persoalan di NTT. Para pelajar NTT harus menjadi siswa persoalan! Sebagai siswa persoalan, mereka harus dilatih dan melatih diri untuk selalu mempertanyakan sesuatu tanpa menjadi pembangkang norma-norma kolektif. Di sini, kenyataan tidak diterima seadanya secara picik. Kenyataan itu harus dipersoalkan untuk menemukan kebenaran terdalam sebagai bahan pertimbangan untuk menyelesaikan sesuatu. Dengan demikian, pendidikan yang bermutu di NTT harus beraksentuasi pada kesanggupan untuk menyiapkan dan menciptakan para pelajar NTT sebagai kaum intelektual yang hanya mampu menyelesaikan persoalan dengan 'kepala dingin'.

    Untuk mencapai ideal siswa persoalan di NTT, saya menganjurkan perlunya pengaplikasian filsafat pendidikan, psikologi pendidikan, dan pendidikan spiritual dalam ranah pendidikan NTT. Secara lebih mendetail, filsafat pendidikan berarti pemantangan terhadap mekanisme 'siswa diam' dalam KBM. Seorang siswa harus dilatih untuk bertanya dan bertanya. Setiap jawaban dari 'guru persoalan' oleh siswa persoalan akan menjadi awal dari sebuah pertanyaan baru. Jika demikian, setiap siswa persoalan akan terus menambah perbendaharaan ilmunya serentak terbiasa menggunakan 'adu argumen' ketika menyelesaikan setiap persoalan. Alhasil, kultur akademik akan lahir sehingga mempertajam kecerdasan intelektual para pelajar NTT.


    Psikologi pendidikan beraksentuasi pada pembinaan mental (psikis) siswa. Psikologi ini meniscayakan perbaikan kehidupan ekonomi rakyat NTT dan penggerusan mekanisme kekerasan dalam kegiatan pembelajaran. Meskipun sulit, keduanya mesti diejawantahkan karena pembinaan emosional hanya akan tercapai dalam kondisi emosional siswa yang sehat. Kelak, pembinaan ini bermuara pada terbentuknya kaidah-kaidah moral sehingga terjadi keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional siswa.

    Selanjutnya, pendidikan spiritual mengupayakan penanaman nilai-nilai keagamaan untuk membangun fondasi hati nurani yang kuat dalam diri para siswa. Kekurangan yang ada dalam ranah pendidikan NTT adalah praanggapan bahwa pembinaan spiritual lebih merupakan beban orangtua dan agama. Padahal, sekolah juga harus memikul tanggung jawab terhadap kematangan spiritual seorang siswa persoalan. Melalui kecerdasan spiritualnya itu, setiap siswa diharapkan dapat mengenal dan mencintai kebenaran tanpa terperosok dalam sentimen kelompok yang sempit.

    Akhirnya, pelbagai tindak amoral yang dilakukan oleh para pelajar akhir-akhir ini telah menyodorkan realitas siswa biang persoalan di NTT. 'Trend' tersebut kian mengafirmasi keterpurukan pendidikan NTT. Sebab itu, ke depan kita telah diberikan pembentukan siswa persoalan untuk menghancurkan euforia siswa biang persoalan. Namun, siswa persoalan itu hanya dapat dilaksanakan melalui pengimplementasian filsafat pendidikan, psikologi pendidikan, dan pendidikan spiritualitas. Jika ideal ini tercapai maka penggerusan tindakan amoral para pelajar NTT pasti menjadi kemungkinan terniscaya.*

    sumber:http://www.pos-kupang.com/read/artikel/56161/editorial/opini/2010/12/13/siswa-persoalan-atau-siswa-biang-persoalan
    Source URL: http://pokbongkoh.blogspot.com/2010/12/siswa-persoalan-atau-siswa-biang.html
    Visit Godo Bolet for Daily Updated Hairstyles Collection

0 comments:

Post a Comment